“Kita sering meminjam dari hari esok kita untuk membayar utang kita ke masa lalu” – (Kahlil Gibran, penulis-penyair-seniman, Lebanon 1882 – New York 1931).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Perjalanan tanpa kompas?
Sepertinya kita mesti pulang ke alam silam. Demi melihat kembali tapak-tapak hidup yang pernah kita lalui. Sekadar mundur untuk kembali masuk pada apa yang telah lama kita tinggalkan. Saat kita masuk dalam keheningan, ternyata bukan hal-hal baru yang bakal muncul. Bukanlah aneka gagasan indah tentang hari esok. Bukan pula cita-cita selangit yang bakal tercapai.
Terkadang ada godaan berat untuk terjerat dalam orientasi ke masa depan berdaya pikat namun palsu. Kita bisa larut dalam hari-hari esok yang ‘masih mentah dalam bayang.’ Namun, ini sama sekali tak berarti bahwa hidup itu bebas visi dan bebas arah. Tidaklah demikian! Sebab, hidup tanpa visi justru teribarat bagai satu perjalanan gulita nan kosong. Tanpa kepastian untuk satu titik tuju. Mengambang. Penuh lanturan.
Perjalanan ini terlampau pahit?
Tetapi, dengan pulang ke kisah lama dan hari-hari silam, kita sebenarnya ingin kembali mempersiapkan diri demi sekian banyak ‘kejutan penuh rahmat’ yang tak terduga dalam hidup. “Di kala masuk dalam keheningan,” kata si bijak, “Kita ingin mendengar lagi hal-hal lama yang sudah kita lupakan. Area-area indah dalam kerohanian kita tapi terabaikan jadi muncul kembali.”
Sering ada mimpi dan kerinduan mendalam untuk menjadi ‘besar dan bahkan terbesar.’ Tetapi sayangnya, ada godaan untuk lewati segala silam yang berantakan. Tanpa usaha untuk menatanya kembali. Dalam rana praktis, ada sekian banyak lukisan yang menantang agar kita sepantasnya ‘pulang’. Setidaknya ‘pulang untuk memeluk diri kita sendiri.’ Dan pada waktunya, jadi modal ceria menuju sesama. Penuh spontan dan tulus.
Tak boleh sebatas bermimpi bagaimana meraih ‘posisi jenderal penuh yang gagah dalam akhlak’ jika tak pernah pulang ke rasa hormat pada ‘tingkat brigadir yang jauh di bawah jarak anak tangganya.’ Cinta akan rasa damai penuh kekeluargaan bakal tetap mengawang, jika kita tak arif untuk pulang pada diri sendiri. Bahwasanya ‘aku masih najis bibir dan tajam lidah’ terhadap dan tentang sesama.
Yakub dan Si Bungsu di satu jalan pulang
Di kisah hidup Yakub, ada satu ‘jalan pulang’ yang mesti ia ambil. Demi berdamai kembali dengan sang kakak. Perjalanan pulang kembali menjumpai Esau, sang kakaknya itu, adalah sebuah retret bagi Yakub sekeluarga’ (cf Kej 32:1-21). Sebab, apa artinya menjadi pribadi yang terberkati bagi Yakub jika hati Esau masih terasa terluka dan menganga?
Terdapat pula ajaran Yesus, Tuhan, yang juga sungguh menantang! “Jalan pulang” mesti disusuri di saat mempersembahkan korban. Ketika teringat bahwa ada yang sakit hati dan terluka oleh karena ulah kita. Berdamai dengan sesama dalam maaf dan pengampunan adalah syarat untuk bersimpuh di hadirat Tuhan dalam damai (cf Mat 5:23-24).
Sungguh! “Jalan Pulang” mesti kita lalui. Itulah tanda kerendahan hati yang paling dalam. Kita bukanlah siapa-siapa yang bebas dari segala kekurangan, keterbatasan serta kelemahan. Kita pun tak pernah boleh menanjak hanya karena sebuah ambisi dan kepentingan yang mencederai orang lain.
Adakah sesuatu yang sekian istimewa dari kisah anak hilang dari perumpamaan Yesus (Luk 15:11-32)? Tak terlalu luar biasalah jika si bungsu itu menuntut apa yang menjadi haknya. Tak perlu terlalu diributgaduhkan sebagai fokus saat ia begitu larut dalam ‘gemerlap dan nikmatnya gairah dunia.’
Tetapi, yang jadi istimewa adalah saat ia mesti menata kembali ‘puing-puing keruntuhan kasih yang pernah dialami di rumah bapanya.’ Ketika si bungsu itu mesti menetapkan kehendak hatinya, “Aku akan bangkit dan pergi ke bapaku, dan berkata kepadanya: aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa” (Luk 15:18).
Mari pulang kepada kekariban
Di satu “jalan pulang” itu yang serius ditata kembali adalah segala citra kekariban, keakraban, harmoni, persekutuan dan sinar wajah penuh kekeluargaan. Semuanya telah kusam dan tercedera oleh naluri kesombongan dan rasa ingat diri yang mengental. Tak mudah memang untuk sebuah “jalan pulang” yang menuntut satu kenosis, penghampaan diri yang sehat. Tapi, apakah selamanya tak mungkin? Dan bahkan di dalam Kasih Tuhan sendiri?
Godaan besar tetap selalu ada! Rumusan seperti apa hidup itu terkadang terlalu dipaksakan sesuai kehendak diri sendiri. Kita ‘menggeser’ Tuhan untuk tempatkan segala ilusi diri. Kita keramatkan pula segala ambisi manusiawi. Padahal seturut keyakinan sang bijak, “Tuhan melampaui segala kata kita. Kita hanya dapat mengintip sedikit apa artinya menjadi manusia sekarang.”
Kita sepantasnya renungkan satu keyakinan berikut, “Jika kita diciptakan untuk mendapatkan kepenuhan dalam Tuhan, hal itu juga berarti kita tidak dapat mengetahui sepenuhnya siapa kita ini.” Di dalam Tuhan, selalu ada variasi kemungkinan bahwa siapa pun dapat berkembang dalam apa yang tak terbayangkan.
Tak boleh terjebak lukisan kata
Lukisan ziarah hidup itu terlalu luas untuk diorkestrasi hanya dalam keterbatasan makna kata. Tentang siapa pun, tak bisa hanya pada tangkapan pancaindra sesaat pun melalui ‘lirikan sekilas sekadar saja.’ Kisah dan jalan hidup setiap anak manusia terlampau dalam dan jauh untuk diraih oleh terbatasnya jangkauan tangan.
Tetaplah menderang keyakinan St Thomas Aquino, bahwa segala yang tercipta tak boleh tertatap hanya oleh batas kesanggupan biji mata manusiawi. Dalam Tuhan selalu ada kisah yang tak pernah berhenti oleh rahmat dan belas kasih Tuhan sendiri. Manusia dan segala ciptaan tetap terbuka untuk “menjadi siapa dan menuju apa di lintasan perjalanan waktu.”
Akhirnya….
Bagaimanapun, semuanya tak sekadar satu lintasan perjalanan waktu. Tetapi, ia sepatutnya jadi satu perjalanan waktu sarat makna. Jika terlalu optimis penuh mimpi bermandikan ilusi, ada bagusnya dijedakan sejenak untuk masuk pada ‘yang nyata.’
Jika memang terlalu melejit ke masa depan tak terukur, maka kuatkan hati untuk segera ‘berbalik demi satu jalan pulang.’ Sebab siapa pun tak pernah ingin bahwa isi jiwa ini tetap terpidana. Tetapi, sepertinya “jalan pulang” itu membuat siapa pun yang melewatinya mesti ‘rasa terluka dan pahit di dada.’
Namun, “jalan pulang” itu tetap dan selalu ada. Di dalam kelimpahan Kasih Tuhan tak bersyarat namun membebaskan. Tinggal bagaimana setiap kita berani untuk ‘berbalik arah’ dan adanya keberanian kita pula untuk memanggil satu sama lain untuk pulang dari pengasingan.
Mestinya kita tetap tertegun pada Timothy Radcliffe. Tulisnya, “Di mana pun kita berada, bagaimanapun bingung dan berantakannya diri kita, di situlah titik tolak kita untuk melakukan perjalanan pulang.”
Dan kita memang harus pulang….
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma