Pembentukan karakter mengambil porsi yang besar dalam pembentukan peserta didik.
Oleh Acep Memori Y. T. Loi
Paradigma pendidikan mengalami perubahan dari tahun ke tahun yang terus menyesuaikan dengan perubahan zaman yang dihadapi. Secara khusus di era society 5.0 yang biasa disebut sebagai “super smart society”, perubahan paradigma pendidikan mengalami loncatan yang tinggi.
Era society 5.0 adalah konsep masyarakat yang diusulkan oleh pemerintah Jepang yang menekankan pada penggabungan teknologi digital dan fisik untuk memecahkan masalah sosial. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan manusia-dihargai dengan menggunakan teknologi terkini, seperti kecerdasan buatan (AI), internet of things (IoT), big data, dan robotika.
Pendidikan di era society 5.0 menuntut setiap orang lebih kreatif, inovatif, produktif, adaptif, dan juga memiliki kemampuan berkompetisi. Menurut Fullan dan Scott (2014) terdapat 6 kompetensi yang menjadi fondasi dalam menghadapi tantangan abad 21, yaitu:
(1) character (karakter) yang berfokus pada kualitas individu yang menjadi dasar menjadi pribadi yang efektif di dalam dunia kompleks termasuk ketabahan, keuletan, ketekunan, ketahanan, keandalan, dan kejujuran, (2) citizenship (kewarganegaraan) yang memiliki pemikiran global, mempertimbangkan masalah global berdasarkan pemahaman pada nilai-nilai keberagaman dengan ketertarikan yang tulus untuk terlibat dengan orang lain dalam memecahkan masalah yang kompleks yang berdampak pada keberadaan manusia dan lingkungan.
(3) collaboration (kolaborasi) berfokus pada kapasitas untuk bekerja secara saling bergantung dan sinergis dalam tim dengan keterampilan interpersonal dan kecakapan yang kuat termasuk manajemen dinamika tim yang efektif, membuat keputusan substantif bersama, belajar dari orang lain, dan berkontribusi untuk orang lain dapat belajar, (4) communication (komunikasi) berfokus pada penguasaan 3 ranah yaitu digital, menulis, dan berbicara yang disesuaikan dengan berbagai audiens.
(5) creativity (kreativitas) berfokus pada kecakapan melihat peluang dalam ekonomi dan sosial, mengajukan pertanyaan yang tepat untuk menghasilkan ide-ide baru, dan menunjukkan kepemimpinan untuk mewujudkan ide-ide tersebut, (6) critical thinking (berpikir kritis) berfokus pada kemampuan mengevaluasi informasi dan argumen, melihat pola dan keterkaitan, membangun pemahaman yang bermakna, dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Keenam kompetensi yang disampaikan oleh Fullan dan Scott, secara tidak langsung “memaksa” setiap orang yang terlibat dalam pendidikan untuk mulai membangun paradigma yang baru yang jauh lebih adaptif dan kontekstual. Kompetensi yang diuraikan tidak akan dapat tercapai apabila sekolah sebagai lembaga pendidikan formal masih dijalankan secara konvensional.
Pendidikan yang bersifat konvensional yang dimaksudkan oleh penulis dalam hal ini adalah pendidikan yang hanya berfokus pada hasil dan seringkali mengabaikan proses. Pendidikan yang konvensional mengukur keberhasilan peserta didik dengan berorientasi pada pencapaian nilai atau prestasi akademik saja. Ini sangat jelas terlihat dari pola yang pernah terjadi dalam pendidikan di Indonesia, salah satunya yang di mana kelulusan masih ditetapkan dari hasil ujian nasional.
Keberhasilan pendidikan diukur dengan sekumpulan soal yang dibuat sama untuk semua anak dari seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Tentunya apabila berkaca ke belakang, ini sangat tidak tepat mengingat setiap anak unik dengan kelebihannya masing-masing, sumber daya pendukung di setiap sekolah berbeda-beda, kebutuhan sekolah yang beragam, dan masih banyak faktor lainnya.
Lebih buruknya adalah, untuk mencapai kelulusan dari ujian nasional tidak sedikit peserta didik bahkan guru dan kepala sekolah pun terlibat dalam kecurangan hanya untuk memastikan setiap peserta didik di sekolah lulus 100 persen dan mendapatkan predikat yang baik. Kejadian ini telah menjadi fakta yang tidak perlu dihindari lagi, melainkan masukan dalam mengoreksi diri.
Hal yang patut disambut baik adalah pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjawab tantangan pendidikan di abad 21 dengan paradigma baru yang dituangkan dalam kurikulum merdeka. Pendidikan tidak hanya dinilai dari hasil saja, melainkan suatu proses yang berkelanjutan.
Selain itu, pembentukan karakter mengambil porsi yang besar dalam pembentukan peserta didik. Dikutip dari website resmi kemdikbud.go.id, kurikulum merdeka bertujuan memberikan keleluasaan kepada pendidik untuk menciptakan pembelajaran berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan belajar peserta didik.
Tujuan ini dirangkum dalam lima prinsip dalam penerapan kurikulum merdeka, yaitu (1) pembelajaran berpusat pada peserta didik artinya pembelajaran harus dirancang dengan mempertimbangkan tahap perkembangan dan tingkat pencapaian peserta didik saat ini, dan sesuai dengan kebutuhan belajar, (2) pembelajaran dirancang untuk membentuk peserta didik menjadi pembelajar sepanjang hayat, (3) keseluruhan pembelajaran mendukung perkembangan kompetensi dan karakter peserta didik secara holistik, (4) pembelajaran yang relevan dengan dirancang sesuai konteks, lingkungan, budaya peserta didik, serta melibatkan orang tua dan komunitas sebagai mitra, dan (5) pembelajaran berfokus pada masa depan yang berkelanjutan.
Prinsip-prinsip di atas diperjelas lagi dalam perubahan yang terjadi dalam struktur dan muatan kurikulum yang mencakup pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Implementasi prinsip-prinsip kurikulum merdeka dapat terlihat dalam salah satu program merdeka belajar melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau biasa disingkat P5.
Salah satu contoh proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) adalah outdoor education. Outdoor education merupakan pembelajaran yang terjadi di luar kelas yang bertujuan mendidik peserta didik mendapatkan pengalaman nyata dari lingkungan secara langsung.
Cakupan dari outdoor education tidak hanya pada satu mata pelajaran tertentu seperti pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga, melainkan dapat menjadi sebuah proyek lintas pelajaran yang menumbuhkan banyak kompetensi dan kemampuan, termasuk karakter di dalamnya. Implementasi proyek outdoor education di masing-masing satuan pendidikan dapat berbeda-beda secara teknis. Bergantung tujuan dan kebutuhan di dalamnya.
Penulis yang merupakan Kepala Sekolah SMA Papua Harapan yang berlokasi di Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, memiliki pengalaman langsung dalam pelaksanaan proyek outdoor education yang terus menerus dilaksanakan setiap tahun hingga saat ini. Outdoor education yang telah dimulai sejak tahun 2018, diikuti oleh seluruh peserta didik di SMA Papua Harapan dengan didampingi oleh beberapa guru yang terpilih. Outdoor education dilakukan selama dua minggu dengan persiapan kurang lebih 2 bulan sebelumnya. Outdoor education telah menjadi program unggulan dalam melatih dan mendidik siswa secara holistis.
Tujuan pelaksanaan outdoor education di SMA Papua Harapan adalah memberikan pengalaman belajar di luar kelas bagi peserta didik sehingga dapat bertumbuh secara spiritual, memiliki wawasan yang luas tentang papua (budaya dan geografis), dan menjadi berkat bagi masyarakat setempat, baik secara spiritual maupun dengan terlibat dalam membantu memenuhi kebutuhan sosial dan fisik masyarakat setempat.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka program ini umumnya dilakukan di wilayah pedalaman di Papua yang memiliki akses pesawat kecil, sekolah, dan juga misionaris di daerah tersebut. Untuk memastikan keamanan seluruh peserta didik dan guru yang terlibat, maka sekolah memastikan mendapatkan dukungan dari misionaris, masyarakat, dan gereja yang ada di daerah tersebut.
Alasan lain dalam pemilihan lokasi di daerah pendalaman yaitu untuk menjauhkan peserta didik dari lingkungan dan tempat tinggalnya, meninggalkan zona nyaman, mengisolasi diri dari perangkat digital, membangun kebiasaan yang baru dengan kemampuan adaptasi yang tinggi, serta mendidik karakter dan sikap dalam merespon situasi dan suasana yang tidak ideal.
Selama dalam masa outdoor education, peserta didik akan melakukan berbagai tugas, kegiatan, dan tanggung jawab sehingga dapat mencapai tujuan dari program ini. Setiap peserta didik memiliki jurnal pribadi yang telah disediakan oleh sekolah untuk diisi setiap harinya. Di dalam jurnal pribadi tersebut, peserta didik akan memberikan gambaran tentang apa yang telah dikerjakan sepanjang hari, apa yang dipelajari secara personal dan kelompok, apa yang dipelajari secara spiritual.
Selanjutnya, peserta didik juga akan diberikan waktu pribadi untuk berdoa dan renungan setiap harinya, ibadah bersama setiap hari (kesaksian, puji-pujian, dan renungan), serta mengikuti ibadah di gereja lokal. Khusus di ibadah gereja lokal, apabila ada kesempatan untuk melayani, peserta didik akan ikut terlibat di dalamnya. Tugas yang lainnya adalah peserta didik akan membuat gambaran secara geografis daerah yang dikunjungi, membuat tulisan antropologi, dan proyek photojournalism.
Proyek yang akan dikerjakan di daerah setempat secara spesifik akan diatur melalui kesepakatan dan komunikasi dengan pihak gereja dan pemimpin setempat. Fokus proyek yang akan dikerjakan adalah bagaimana peserta didik bersama dengan guru dapat menjadi berkat secara spiritual, fisik, dan sosial.
Contoh proyek yang bisa dikerjakan adalah mengajar anak-anak yang tinggal di daerah setempat, belajar cara bertahan hidup dari masyarakat setempat, memandu permainan, olahraga, musik, dan kegiatan bersama lainnya. Selain itu, peserta didik dan guru juga akan ada waktu untuk mengenal masyarakat setempat dengan menghabiskan waktu bersama dengan mereka.
Terakhir, setelah seluruh peserta didik dan guru pulang dari tempat outdoor education, mereka akan mengambil kesempatan untuk berbagi pengalaman dan kesaksian dengan seluruh komunitas sekolah dari TK, SD, dan SMP.
Berdasarkan evaluasi pelaksanaan outdoor education yang telah dilakukan di SMA Papua Harapan sejak tahun 2018 hingga saat ini, dapat disimpulkan bahwa outdoor education mampu memberikan pembelajaran bermakna, holistis, sepanjang hayat, serta membentuk karakter dan sikap yang positif bagi mereka. Karakter berarti tindakan apa yang akan mereka lakukan ketika tidak ada satu orang pun yang melihat mereka, dan sikap berarti respon apa yang akan mereka tunjukkan ketika terjadi hal yang tidak sesuai keinginan dan harapan.
Selain itu, peserta didik akan bertumbuh dalam berkolaborasi, menyampaikan ide dalam memecahkan masalah, berpikir kritis dalam mengevaluasi nilai-nilai, dan belajar berkomunikasi yang baik. Apabila kembali pada prinsip kurikulum merdeka dan juga kompetensi yang diharapkan dalam menghadapi tantangan abad 21, jelas bahwa outdoor education merupakan program yang tepat untuk diimplementasikan di sekolah dengan tujuan pembentukan peserta didik secara holistis.
Dari pengalaman penulis, setiap menyampaikan testimoni setelah pelaksanaan outdoor education, peserta didik semuanya menyampaikan hal yang sama bahwa pengalaman selama pelaksanaan outdoor education adalah pengalaman yang sangat menarik dan berkesan dalam hidup mereka, serta memberikan pengaruh dalam pertumbuhan karakter dan sikap mereka. Program outdoor education di SMA Papua Harapan telah mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan abad 21.