Mestinya isu pemenuhan hak-hak dasar warga, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, kebutuhan pangan dan kebutuhan lain yang kita edarkan di ranah diskursus publik agar bisa menjadi rekomendasi kepada pemimpin yang nantinya dipilih. Juga demi melahirkan pemimpin yang benar-benar berkualitas.
Oleh Boni Jehadin
Kemarin, saya membaca sebuah artikel soal Pilgub NTT 2024 yang dikirim teman. Artikel itu ternyata ditulis oleh Juan Pesau, juga teman saya sendiri.
Sebetulnya artikel itu datang di waktu yang kurang tepat. Pasalnya, akhir-akhir ini saya malas baca, apalagi membuka link berita. Saya mengikuti perkembangan politik terkini lewat media sosial.
Karena yang saya rasa, rata-rata substansi yang dipersoalkan sama. Apa yang dirangkum media massa terutama yang berbasis online, hampir tak jauh dari apa yang diedarkan di media sosial.
Kembali soal artikel tadi. Sejak tahu artikel itu ditulis Juan, mood saya untuk membaca sekilas sirna. Sebabnya sederhana, Juan sedang menjadi pengurus partai politik dan simpatisan salah satu paslon Pilgub NTT akan datang.
Jadi, di awal saya sudah membayangkan artikel itu penuh dengan konflik kepentingan. Argumentasi yang dibangun jelas tidak objektif, cenderung diada-ada dan pasti menguntungkan salah satu paslon seturut dukungan Juan.
Namun demi menghargai teman yang kirim, berikut terjebak judul yang sepintas terlihat keren, “Pilgub NTT 2024: Menggugat Keseimbangan Representasi” jadilah saya membaca artikel yang dipublish Detak Pasifik itu hingga tuntas.
Ada dua kesan saya tentang Juan yang digambarkan dalam artikel itu. Pertama, Juan seorang pemberani. Karena dia terang-terangan mempersoalkan identitas primordial seseorang sekaligus meniadakan keberadaan suatu entitas tertentu.
Sesuatu yang menurut saya sangat sensitif dan berpotensi membunuh karakter orang lain dan entitas tertentu. Hal semacam ini mestinya haram untuk dipersoalkan dalam alam demokrasi. Tetapi Juan bisa lakukan itu.
Kedua, Juan bermasalah dengan sistem berpikirnya, hal itu terlihat dari kekacauan dan ketidakkonsistenannya dalam bernalar. Sehingga apa yang diucapkan dalam artikel tersebut cenderung kontradiktif, dangkal dan berbahaya.
Berbahaya untuk siapa? Bisa berbahaya untuk Juan sendiri, juga bisa berbahaya untuk demokrasi. Sebab apa yang dia ucapkan sangat menghambat laju pertumbuhan demokrasi di NTT yang sedang membaik. Berikut, berpotensi merusak keharmonisan di NTT.
Saat membaca judul artikel itu, saya memang sedikit berekspektasi bahwa keseimbangan representasi yang dimaksudkan Juan, terkait hal-hal substantif dalam demokrasi.
Misalnya, menyinggung rekam jejak, seperti latar belakang profesi, kiprah dan prestasi para kontestan sebagai bekal membangun NTT lima tahun ke depan.
Sayangnya, setelah membaca isinya, saya kaget bukan main. Yang dipersoalkan Juan sangat jauh dari apa yang saya bayangkan. Dia tampak seperti sedang mengalami guncangan emosional yang membuatnya terkesan punya dendam pribadi terhadap paslon tertentu.
Ekspektasi saya di awal saat melihat judul, runtuh. Mengapa berekspektasi pada tulisan yang sejak awal jelas-jelas sudah tahu tidak objektif?
Saya sedikit berekspektasi, sebab terlepas dari status Juan sebagai pengurus partai politik dan simpatisan paslon tertentu, saya tahu, sehari-hari Juan juga berfungsi sebagai jurnalis.
Dari sini, bisa dibayangkan bahwa Juan akan menulis hal-hal yang sedikit lebih bermutu dengan cara pandang yang sedikit lebih terbuka dan maju sebagai seorang “karyawan” pilar keempat demokrasi.
Tetapi mungkin karena Juan telah menjelma menjadi tim sukses yang mungkin juga ditugaskan untuk memproduksi isu dan opini di media sosial untuk mendiskreditkan paslon tertentu, sehingga kapasitasnya sebagai jurnalis ditanggal.
Saya menduga begitu, karena dari artikel itu sama sekali tak menampakkan Juan sebagai jurnalis. Bahasanya sangat provokatif dengan serangan liar plus penuh emosional.
Seperti dikatakan di awal, dia seperti orang yang sedang mengalami degradasi nalar. Karena tidak ada alas argumentasi yang kuat untuk mendukung amukannya. Ya, dia terkesan tidak bicara dalam tulisan itu tetapi mengamuk.
Sampai-sampai dia tidak bisa lagi untuk sedikit berpikir jernih tentang dampak buruk dari apa yang diucapkannya. Bahwa apa yang dia tulis sudah menyangkut hal privat dan latar primordial seseorang, yang tentu saja tidak sehat untuk diedarkan sebagai bahan diskursus publik.
Selain hal semacam itu, memang tidak bisa dipersoalkan dalam demokrasi. Demokrasi mungkinkan semua orang menggunakan haknya untuk dipilih dan memilih selagi yang bersangkutan merupakan warga negara.
Mungkin Juan sendiri atau di internal di mana Juan meletakan dukungannya saat ini, merasa apa yang diucapkan Juan dalam tulisan itu merupakan hal yang wajar dan biasa saja.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya apa yang dipersoalkan Juan merupakan hal yang sangat sensitif. Karena menyinggung hal yang sesungguhnya dilarang diucapkan dalam demokrasi. Apalagi dengan status Juan sebagai orang partai dan jurnalis.
Di sana dia mempersoalkan paslon Melki Laka Lena-Johni Asadoma dan paslon Ansy Lema-Jane Suryanto. Di saat yang sama dia justru terkesan sedang membanggakan paslon Simon Petrus Kamlasi dan Andry Garu.
Entah dari mana asalnya, Juan mengklaim Melki dan Johni berasal dari wilayah dan suku yang sama, yakni Flores. Dia bermain dengan pikirannya sendiri yang super liar seperti sedang berhalusinasi.
Bahkan membabi buta menyebut jika provinsi ini akan dikuasai oleh orang Flores. Seolah-olah Melki dan Johni sudah menjadi gubernur dan wakil gubernur terpilih yang sudah bekerja.
Sulit rasanya membayangkan pernyataan bernada provokasi seperti ini ducapkan jurnalis plus kader partai politik sebagai ujung tombak dalam merawat demokrasi.
Sebagai pengurus partai, mestinya Juan paham betul bahwa para kontestan itu diproses melalui partai politik sebelum dibawa ke KPU. Dan sebagaimana diketahui, Demokrat sebagai partainya Juan merupakan salah satu pengusung Melki-Johni.
Sebagai jurnalis, harusnya haram bagi Juan untuk beropini apalagi yang bernada menyerang orang atau kelompok tertentu hanya karena asumsi liar yang bergentayangan di kepalanya sendiri.
Saya di sini tidak sedang mengikuti cara berpikir Juan untuk membawa diskusi soal Pilgub NTT ke ranah yang sempit dan berbasis primordialisme, sebab hal itu dilarang diucapkan dalam demokrasi.
Tetapi saya sekadar mengingatkan Juan bahwa mestinya dia harus paham kalau Flores itu bukan suku. Flores itu pulau yang dihuni oleh 8 (delapan) kabupaten dan terdapat beberapa suku besar maupun kecil. Dia sama halnya Timor, Sabu, Rote, Sumba yang tentu saja di dalamnya terdiri dari banyak suku. Demikian tentunya Alor.
Selain menyerang paslon Melki-Johni. Juan juga mempersoalkan status calon wakil gubernur lainnya, Jane Suryanto yang menyebutnya bukan perempuan asli NTT.
Inikan bukan materi diskursus kader partai politik. Sebab yang dibicarakan dalam partai politik sebagai lembaga yang berotoritas dalam merekrut calon pemimpin di negeri ini, ialah seputar rekam jejak, visi misi dan program kerja para calon.
Setelah itu, tentu didukung oleh popularitas dan potensi elektoral yang ditakar melalui survei, sebagai kunci seseorang layak didorong ke arena kontestasi elektoral apa tidak.
Kekacauan Bernalar Dimulai dari Sini
Setelah beberapa pernyataan yang cenderung emosional dan menyerang latar primordial Melki-Johni dan Ansy-Jane di awal tulisannya, selanjutnya Juan semakin memperlihatkan sentimen pada paslon Melki-Johni.
Tanpa berpikir panjang akan dampak dari ucapannya, Juan menuding Melki dan Johni sebagai orang yang merusak tradisi dan norma politik yang ada di NTT selama ini.
Entah apa yang dia maksudkan dengan tradisi politik di NTT, tetapi yang pasti tradisi yang dia maksudkan ialah kalau cagubnya dari Flores, maka wakilnya harus dari Timor, Sabu, Rote, Sumba atau sebaliknya.
Kalau hanya itu dasarnya, lantas, apakah Alor tidak mempunyai hak yang sama dengan beberapa entitas yang dia sebutkan itu? Apakah Juan tidak mengakui Alor sebagai entitas politik yang otonom dan berdiri sendiri sebagaimana dia mengakui Timor, Rote, Sabu, Sumba, Flores dan Lembata.
Harusnya dia tahu bahwa Alor adalah Alor itu sendiri. Alor bukan Flores pun Flores bukan Alor. Alor sama seperti yang lain, yang berdiri otonom dan berhak dalam menentukan nasibnya sendiri. Alor tidak bisa diwakili oleh siapa pun selain oleh dirinya sendiri.
Kembali soal tradisi dan norma. Sebagai pengurus partai politik dan juga pekerja pers, Juan rupanya gagal memahami demokrasi. Demokrasi tidak mengenal tradisi politik yang berbasis sektarian.
Satu-satunya tradisi dalam berpolitik ialah berpikir menggunakan akal sehat. Itulah mengapa politik selalu disebut sebagai arena pertarungan gagasan yang kemudian berwujud visi misi dan program plus strategi.
Jadi, di sana bukan arena adu kuat antar-suku atau antar-pulau. Soal merekrut pasangan calon siapa dan dari mana, itu hanya strategi. Dan mungkin itu yang dimaksudkan Juan, hanya dia kurang paham.
Tetapi harus disadari bahwa yang dibutuhkan pemimpin itu ialah gagasannya. Itu yang diandalkan dalam merancang, merencanakan akan seperti apa pembangunan di daerah ini di waktu mendatang, bukan kebiasaan atau tradisi yang berlaku pada suku tertentu atau kebiasaan di dalam keluarga dari gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Demikian juga soal norma. Norma yang digunakan dalam demokrasi ialah tunduk dan taat pada etika politik dan demokrasi serta aturan yang sudah digariskan konstitusi.
Etika di dalam demokrasi itu sederhana saja, boleh mempertentangkan cara seseorang bernalar, posisinya sebagai publik figur tetapi tidak boleh mempersoalkan bentuk tubuhnya, juga tidak boleh mempersoalkan identitas privat atau unsur SARA yang melekat pada tubuh orang itu.
Pilgub itu hajatan demokrasi, bukan hajatan budaya. Karena itu dia tidak terikat oleh tradisi atau kebiasaan dari suku mana pun. Dia terlepas dari urusan suku, ras, agama dan antar-golongan (SARA).
Jadi, jelas Melki-Johni tidak melanggar tradisi dan norma apa pun dalam Pilgub NTT. Juan saja yang melanggar cara berpikir kader partai dan jurnalisme yang melekat di badannya.
Soal Melki memilih Johni, pun Johni memilih Melki tentu didasari kesamaan visi misi, konsep dan gagasan dalam membangun daerah ini lima tahun ke depan. Mungkin juga kecocokan pada hal tertentu yang Melki tidak temukan di orang lain selain Johni. Pun sebaliknya.
Saya kira hal ini juga yang dipertimbangkan Simon Petrus Kamlasi saat memilih Andry Garu sebagai wakilnya. Bukan karena Andry orang Manggarai atau Flores. Sebab keduanya tidak bisa mengklaim sebagai utusan Timor dan Manggarai atau Flores.
Di Flores, pun di daerah lain di NTT tentu masih ada yang setara atau bahkan lebih baik dari Andry, tetapi SPK mungkin merasa dia lebih pas dipasangkan dengan Andry.
Melki-Johni Inklusif Sejak dari dalam Pikiran
Itu kekacauan bernalar Juan yang pertama. Kekacauan kedua sekaligus yang cukup parah ialah, Juan meminta agar Melki-Johni berpikir inklusif. Ini permintaan yang aneh memang karena di awal dia menyinggung identitas primordial dari Melki-Johni meskipun jelas di sana dia salah kaprah.
Melki-Johni tentu sangat inklusif di dalam berpikir dan bertindak. Bukti mereka inklusif, sampai sejauh ini mereka tidak pernah membawa identitas tertentu di dalam politik selain gagasan mereka dalam membangun NTT ke depan sebagai putra terbaik NTT.
Dan itulah sebenarnya esensi sekaligus identitas demokrasi. Melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Sebab demokrasi menembus batas SARA.
Bukti lain untuk mendeteksi kadar inklusif yang mengalir di nadi Melki sangat sederhana, dia diterima dengan baik oleh masyarakat di Timor, Rote, Sabu, Sumba. Selama dua kali Pemilu dua kali terpilih menjadi anggota DPR RI.
Bukti kedua Melki inklusif ialah, saat menjabat DPR RI, Melki tidak hanya memperjuangkan kesejahteraan masyarakat di dapilnya, yakni Timor, Rote, Sabu, dan Sumba.
Melki juga pasang badan untuk masyarakat di Dapil NTT I. Buktinya, beberapa Rumah Sakit Pratama dibangun di daratan Flores, hasil dari perjuangan Melki di DPR RI.
Terakhir, RSUP Ben Mboi yang telah menjadi salah satu ikon pembangunan NTT saat ini, merupakan hasil perjuangann Melki demi memenuhi kebutuhan layanan kesehatan masyarakat seluruh NTT.
Kalau Melki eksklusif atau tidak inklusif, untuk apa Melki repot-repot melakukan semua itu. Dia juga tidak mungkin akan terpilih menjadi DPR RI dua kali di dapil yang menurut Juan bukan kampung halamannya.
Tidak mungkin juga Melki berjuang untuk pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan masyarakat di Dapil NTT I yang bukan merupakan dapilnya.
Yang lebih membanggakan dan patut diteladani seluruh pemimpin di Indonesia ialah, kalau Juan nonton video yang viral di medsos beberapa pekan lalu bersamaan dengan kunjungan Bapa Suci Paus Fransiskus ke Indonesia, ada seorang pemuda muslim yang mengaku menempuh studi di Vatikan atas bantuan Melki Laka Lena.
Apakah Melki bantu membiayai studi dari pemuda itu? Bukan. Melki mengunakan jaringan luas yang dimilikinya. Dan tentu itu semua nantinya dapat diandalkan untuk membangun daerah ini.
Itu soal Melki, berikut Johni Asadoma. Saya kira sangat keliru kalau Juan menggugat inklusivitas Johni Asadoma. Johni ditempa dan dibesarkan di lembaga Polri yang saya hakulyakin, inklusif menjadi kata kunci dari semua doktrin yang ada di Polri.
Johni pernah diutus jadi pasukan perdamaian dunia, pernah mengabdi di berbagai kota dan provinsi di Indonesia. Pernah menduduki jabatan yang berkaitan dengan urusan internasional di Polri. Terakhir jadi Kapolda NTT. Ini semua jelas menyiratkan sosok Johni yang terbuka.
Jadi, inklusif menjadi kata dasar untuk mendefinisikan sosok seorang Melki Laka Lena dan Johni Asadoma.
Masih ada bukti lain? Tentu saja. Apa itu? Juan tinggal cek saja berapa banyak partai besar, menengah dan pendatang baru yang masuk dalam koalisi Melki-Johni. Bahkan partainya Juan menjadi salah satu ujung tombak di sana.
Jadi, jelas bukan Melki-Johni yang tidak inklusif. Hanya Juan saja yang cara pandangnya belum terbuka. Atau mungkin juga Juan salah memahami kata inklusif itu?
Pindah ke Diskursus Politik Gagasan
Terlepas dari Juan sedang menjadi tim sukses dari paslon tertentu, sebagai teman, saya menyarankan agar Juan sedikit rasional dalam melihat demokrasi di NTT. Segeralah menggeser kebiasaan berpikir sempit ke yang lebih luas dan terbuka.
Persoalan NTT yang menumpuk akhir-akhir ini, disebabkan karena pemimpin kita dan kita semua tidak terbuka dalam hal berpikir dan tidak berani untuk lepas dari ikatan-ikatan primordial kita, seperti yang ditampilkan Juan dalam artikelnya.
Apa yang diucapkan Juan dalam artikel itu, sangat sempit dan menghambat kemajuan. Kita tidak akan bisa ke mana-mana kalau masih dibebani ikatan-ikatan primordial yang melekat pada tubuh kita. Mimpi kita untuk terbang tinggi akan duduk di tempat.
Jadi, saatnya kita menanggalkan ikatan-ikatan primordial yang membebankan kita dalam berpikir yang lebih luas dan maju. Sebab yang kita dambakan sekarang ialah perubahan dan kemajuan.
Kalau ada sedikit waktu, sambil mengurus paslon yang dijagokan, coba Juan ikuti perkembangan survei-survei terbaru tentang indeks pembangunan demokrasi di Indonesia beberapa tahun terakhir, termasuk di NTT.
Di sana akan ditemukan betapa indeks demokrasi kita terus anjlok, salah satu faktornya ialah cara berpikir seperti Juan yang tidak terbuka, yang melihat hajatan demokrasi sebagai kompetisi antar-suku.
Tentu saja masih banyak faktor lain yang berkontribusi pada anjloknya indeks pembangunan demokrasi kita, seperti kebebasan warga yang mestinya otonom dalam menentukan pilihan tetapi diambil alih oleh orang atau kelompok lain menggunakan kekuasaan yang melekat pada tubuh orang tersebut.
Selain menggunakan kekuasaan yang dimiliki, juga faktor transaksional yang sangat kuat dalam mempengaruhi cara pandang orang dalam memilih. Dan itu semua dasarnya ialah cara berpikir yang tidak terbuka dan cenderung terkungkung feodalisme.
Jadi secara substansi, demokrasi kita masih diam di tempat karena orang-orang tidak merdeka dalam berpikir dan menentukan nasibnya sendiri. Kebebasannya direnggut oleh mereka yang punya kuasa.
Hasil survei kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat di muka umum yang terus dikendalikan. Kebebasan pers dalam membuka fakta-fakta yang terus disembunyikan juga terus terancam.
Pemenuhan akan hak-hak dasar warga, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, kebutuhan pangan dan kebutuhan lain yang menunjang kesejahteraan dan hidup layak yang belum terwujud secara merata.
Mestinya isu-isu ini yang kita edarkan di ranah diskursus publik agar bisa menjadi rekomendasi kepada pemimpin yang nantinya dipilih. Juga demi melahirkan pemimpin yang benar-benar berkualitas.
Untuk menyelesaikan persoalan mendasar yang mengakar di NTT, kita butuh pemimpin yang terbuka dan mempunyai jaringan yang luas. Yang mempunyai kemampuan lobi tingkat tinggi, juga didukung posisi tawar yang mumpuni di pusat bahkan tingkat dunia.
Karena itu, kita harus melampaui cara berpikir yang feodal, cara berpikir harus satu suku, agama, ras dan golongan. Ini semua merusak demokrasi, menghambat perubahan.
SARA Tidak Berlaku dalam Demokrasi NTT
Sebagai kuli berita, Juan tentu tahu, NTT selalu menjadi provinsi dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia karena keharmonisan antar-suku dan agamanya sangat baik. Realitas keharmonisan ini bahkan menjadi rujukan untuk daerah lain di Indonesia.
Dan itu juga nampak dalam hajatan politik kita. Catatan hasil Pemilu dan Pilkada satu dekade terakhir, jelas menunjukkan kemajuan cara berpikir masyarakat NTT yang terus membaik. Sebagai pengurus partai plus jurnalis, Juan mestinya tahu itu.
Pius Lustrilanang lahir dan besar Sumatra. Tidak tahu NTT, tetapi dua kali terpilih sebagai DPR RI dari Dapil NTT I. Di Dapil NTT II ada Setya Novanto dan anaknya yang juga terpilih setiap kali Pemilu.
Atau Melki Laka Lena sendiri Juan sebut sebagai orang Flores tetapi terpilih dua kali sebagai anggota DPR RI mewakili Dapil NTT II: Timor, Rote, Sabu dan Sumba.
Pilgub lima tahun lalu, Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi menang telak di beberapa kabupaten yang didominasi warga yang berbeda keyakinan dengannya. Adapun di tempat lain dia kalah tetapi selisihnya tipis saja.
Jadi, isu SARA tidak lagi dapat digunakan untuk mempengaruhi masyarakat kita. Cara berpikir masyarakat kita sudah jauh, melampaui apa yang dipikirkan Juan. Mereka melihat calon pemimpin itu dari gagasan, visi misi, program plus rekam jejaknya selama mengabdi di dunia kerjanya masing-masing.
Karena itu, sebaiknya paradigma yang dipakai dalam diskursus publik segera bergeser ke hal-hal substantif. Jangan lagi menarik cara berpikir rakyat NTT yang sudah maju ini ke belakang, dengan cara berpikir kerdil yang justru mendegradasi kualitas demokrasi yang sudah tumbuh membaik ini.
Tambahan penulis: Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyudutkan Juan Pesau secara pribadi. Kami berteman sangat baik. Tulisan ini murni menentang cara berpikir Juan. Karena menurut penulis, Juan bisa berpikir jauh lebih maju dari apa yang diucapkan di dalam artikel tersebut.