Oleh Baarigh Izzuddin Kholid, Mahasiswa Program Studi BK FKIP di UKSW Salatiga
Bahasa merupakan alat pembentuk dan pengungkap gagasan. Bahasa juga merupakan alat pembentuk dan pengungkap kebudayaan, karena kebudayaan merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui belajar. Prof. Huang (1996) menyatakan bahwa bahasa bukan saja sebagai alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi melainkan juga mencerminkan kebudayaan bangsa.
Dalam tautan makna yang sama, Prof. Liang Liji menyatakan bahwa bahasa bukan saja merupakan unsur budaya, tetapi juga merupakan suatu wahana budaya yang memungkinkan diturunkan atau disebarkannya kebudayaan suatu bangsa dari masa ke masa. Dalam kaitan yang sama Hudson (1982) mengatakan, “The background linguistic (in others word the grammars) of each language is not merely a reproducing instrumental for voicing ideas but rather is itself the shaper of ideas the program and guide for the individual’s mental activity for his analysis of impression, for his synthesis of his mental stock in trade.”
Pandangan di atas menegaskan bahwa gagasan yang dibangun oleh bahasa melalui sistem bahasa dapat mengarahkan perilaku manusia. Pengertian ide dalam konteks ini lebih dipumpunkan (fokus) pada pengetahuan tentang realita yang pernah dilihat atau dialami yang telah terformulasikan secara mapan oleh sistem bahasa yang telah dimiliki, sehingga menjadi pengetahuan yang lekat dengan diri pribadi masing-masing orang. Atas pijakan yang demikian akan dipaparkan pengaruh bahasa (terutama semantik) dan budaya dalam tiga era pemerintahan kita yakni, ORLA, ORBA dan REFORMASI beserta implikasi kekerasan yang terdapat di dalamnya.
Orde Lama
Pada era Orde Lama, bangsa kita masih dibayang-bayangi oleh trauma penjajahan. Sementara pada sisi lain semangat kebangsaan atau nasionalisme yang mestinya secara otomatis berkembang nampaknya belum mengakar pada sanubari masyarakat kita. Bangsa kita pada waktu itu masih trauma dengan situasi sosial politik yang diciptakan penjajah. Dalam kondisi yang demikian muncul kata revolusi sebagai kata yang mahasakti, sebagai simbol eksistensi kita sebagai bangsa yang merdeka.
Semua aktivitas bernegara pada waktu itu ditaja atau dituntun oleh kata revolusi. Semua aktivitas bernegara yang tidak mencerminkan nuansa revolusi diberi predikat anti revolusi. Kata revolusi erat kaitannya dengan Bung Karno. Secara politis apa yang dikatakan Bung Karno tidak akan ada yang membantah. Sebab membantah berarti menentang revolusi. Dan akibatnya tidak sedikit orang yang merasa terpinggirkan oleh hebatnya kata revolusi yang digunakan Bung Karno sebagai jargon politik pada masa itu. Sebut saja Muchtar Lubis, Rosihan Anwar, TB. Simatupang, Prof. Sumitro, Arif Budiman dan lain-lain. Hampir semua koreksi atau perbedaan pendapat pada waktu itu diselesaikan dengan cara kekerasan, baik kekerasan ideologi, sosial maupun kekerasan fisik.
Terbukti bahwa kata revolusi yang digunakan oleh Bung Karno sebagai jargon politik telah berhasil secara efektif memberangus berbagai perbedaan. Bung Karno mengidentifikasikan diri secara semantik sebagai revolusi dan karena itu beliau (Bung Karno) yang kebetulan dikarunia talenta sebagai orator dapat dengan mudah mendiseminasikan berbagai kata lain yang tidak kalah dahsyatnya dengan kata revolusi seperti, anti kapitalis, anti imperalisme, NASAKOM dan sebagainya yang pada akhirnya bermuara pada kekerasan.
Kondisi sosial ekonomi bangsa kita pada masa ORLA amat memprihatinkan. Di sejumlah daerah terjadi gejolak sosial seperti Permesta, dll, terjadi devaluasi, bahkan sanering, inflasi mencapai kurang lebih 600%.
Orde Baru
Pada era Orde Baru kata pembangunan merupakan kata yang mahasakti. Di awal-awal pemerintahan ORBA kondisi ekonomi bangsa kita sangat terpuruk. Pemerintahan ORBA yang di pimpin Pak Harto mewarisi kondisi sosial ekonomi bangsa kita yang morat-marit.
Berangkat dari kondisi riil itulah pemerintahan ORBA mencanangkan pembangunan sebagai jargon. Dan sebagai prasyaratnya kondisi negara harus stabil. Mulailah kita mendengar istilah sequrity approach, yang dibekingi oleh ABRI demi stabilitas. Kata pembangunan bergandengan tangan dengan kata stabilitas. Semua aktivitas yang berbeda dianggap merongrong pembangunan. Berbagai tindakan represif dilakukan secara efektif demi pembangunan.
Secara perlahan tapi pasti akhirnya kehidupan ekonomi bangsa kita berangsur membaik, dimulai dengan booming minyak pada tahun 1970-an. Berkenaan dengan itu pula mulailah berkembang kata-kata lain yang mengatasnamakan pembangunan dengan makna yang kurang jelas, termasuk makna yuridis. Muncul kata-kata salah prosedur, kata pendekatan keamanan, diamankan, adil dalam kemakmuran, makmur dalam keadilan dan sebagainya.
Berbagai aktivitas penangkapan terhadap tokoh masyarakat yang kritis, penculikan sampai penembakan misterius menjadi berita yang biasa. Masyarakat nyaris lumpuh, tidak berdaya menghadapi penguasa. Muncul pula berbagai kekerasan ideologi, kekerasan sosial dan fisik yang amat menyakitkan hati rakyat.
Pak Harto bersama orang sekelilingnya didukung ABRI secara efektif berhasil membungkam berbagai perbedaan, bahkan tidak segan-segan menggunakan kata subversif terhadap anggota masyarakat yang kritis. Kehidupan masyarakat sangat mencekam akibat banyaknya intel yang berseliweran untuk mematai-matai bangsanya sendiri demi suatu penghargaan semu.
Pak Harto dan keluarganya memosisikan diri sebagai figur sentral yang dapat berbuat apa saja atas nama pembangunan dan stabilitas. Namun di akhir masa jabatannya Pak Harto meninggalkan kenangan pahit berupa krisis ekonomi yang sangat parah, kondisi sosial politik yang tidak menentu hingga pada krisis kepercayaan dunia internasional terhadap bangsa Indonesia. Berbagai macam tekanan dilakukan, mulai dari tekanan politik, sosial, budaya hingga tekanan ekonomi.
Era Reformasi
Kata Reformasi menjadi kata yang mahasakti karena mampu melindungi berbagai kelompok yang tertekan, mampu meriasi rumah dan pertokoan dari amukan massa, mampu menyeret mantan pejabat ORBA dan TNI untuk diinterogasi ke Mabes POLRI. Tetapi sekaligus kata reformasi dapat menjadi pedang tajam bagi mereka yang coba-coba menentangnya.
Pada era Reformasi muncul kata-kata yang sangat fulgar cenderung sarkastis seperti seret Pak Harto, pejabat korup, kolusi, pemerintahan bobrok dan sebagainya. Era Reformasi hadir di saat bangsa kita mengalami krisis ekonomi, sosial dan politik yang tak kunjung selesai. Masyarakat menginginkan perubahan cepat dan mendasar terhadap semua sendi kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Kata reformasi kadang dikacaukan dengan kata transformasi (perubahan secara bertahap). Orang berteriak reformasi tetapi kelakuannya sebenarnya lebih mencerminkan transformasi (perubahan bertahap).
Kesimpulan
Jelaslah bahwa ketiga era yang dipaparkan di atas, memiliki jargon sendiri-sendiri yang dibangun lewat bahasa hasil akumulasi kepentingan yang melatarbelakangi peristiwa dimaksud. Ketiga era ini telah menunjukkan bahwa bahasa, dan kekerasan sepertinya saling bergandengan tangan.
Kita perlu waspada agar Reformasi tidak mengingkari hakikatnya sebagai kata kunci dalam pemerintahan. Oleh karena itu dalam mengungkap kata-kata yang pada era ORBA sangat kabur baik makna substansialnya maupun yuridisnya kita perlu menengok etika dalam sistem berbahasa. Sebagai orang timur kita mesti menjunjung tinggi etika dalam berbahasa termasuk sikap dan perilaku, agar tidak mengundang berbagai implikasi kekerasan.