Oleh: Kristiani Ragat, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Unika Widya Mandira Kupang.
Tidak ada hari yang bebas dan istimewa bagi kami kaum perempuan Indonesia tanpa dirimu. Sepenggal kalimat ini cukup mewakili isi hati dalam merayakan Hari Kartini sebagai awal perjuangan kesetaraan gender di Indonesia masa kini. Seperti yang kita tahu sejatinya Kartini selalu diperingati setiap tanggal 21 April. Bukan awal dan juga bukan akhir, tapi angka spesial yang mewakili dua untuk jenis kelamin dan satu untuk kesetaraan. Bahwasannya sekalipun jenis kelamin kita berbeda baik pria maupun wanita, tetapi kita seharusnya mendapatkan satu perlakuan yang sama, setara, dan sederajat.
Sehingga pada dasarnya jika kita dihadapkan dalam tugas dan tanggung jawab yang sama di ruang publik maupun domestik, tak perlu ada pembedaan hanya karena jenis kelamin. Namun tetap menyesuaikan dengan kondisi fisik dan psikis masing-masing orang, bukan? Sehingga seorang perempuan juga bisa menjadi bagian dari partai oposisi maupun pemerintah, seorang perempuan juga bisa menjadi wanita karir tanpa perlu takut dicaci maki karena terlampau tinggi, seorang perempuan bisa menjadi CEO atas dedikasi dan kerja kerasnya. Seorang laki-laki juga bisa mencuci piring, seorang laki-laki juga bisa memasak nasi, seorang laki-laki juga bisa menyapu rumah karena hal itu bisa dilakukan oleh siapa saja.
Pembagian tugas dan keseimbangan antara pria dan wanita perlu dibicarakan oleh masing-masing pihak sehingga terciptanya kenyamanan dan keadilan berbasis gender. Maka perlu pemahaman mendalam tentang perbedaan jenis kelamin dan gender. Mengingat perempuan melahirkan dan tak mungkin dilakukan oleh laki-laki sehingga dikategorikan sebagai jenis kelamin, sesuatu yang membedakan antara pria dan wanita berdasakan reproduksi seksual. Sedangkan tugas dan tanggung jawab yang bisa dan mampu dilakukan oleh pria dan wanita secara bersama-sama disebut gender sebagai sifat dan perilaku yang dilekatkan pada pria maupun wanita yang dibentuk secara sosial atau budaya.
Berbagai capaian-capaian emansipasi perempuan di Indonesia telah diberikan untuk memajukan kualitas hidup yang adil gender. Dari Kongres Perempuan Pertama Indonesia 1928 hingga Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dll. Bahkan pergerakkan ini terus dijalankan dengan saksama dalam menciptakan ruang aman bagi kaum perempuan, kesetaraan, dan kehidupan adil gender baik personal maupun komunitas. Pada dasarnya kita sebagai kaum perempuan masih berada di era yang butuh tenaga ekstra untuk menciptakan perjuangan feminisme, sebuah paradigma, sebuah pemahaman komprehensif tentang keadilan berbasis gender yang bisa menjadi pijakan untuk pemikiran, gerakan, maupun kebijakan (Nadya, 2019: 9).
Jika kita kembali kepada perayaan besar hari ini, merayakan Hari Kartini selalu dihiasi dengan semerbak kata mutiara dan perlakuan lainnya. Misalnya menggunakan kebaya sebagai bentuk apresiasi terhadap keanggunan dan kebijakasanaan Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Namun, apakah dengan menggunakan kebaya, kita tahu betul makna dari perjuangan itu? Jika kita menelisik kembali ke tahun 1940-an saat Presiden Soekarno menetapkan kebaya sebagai kostum nasional karena sangat erat dengan lambang emansipasi perempuan Indonesia, yakni RA Kartini. Maka, inilah yang membuat kebaya memiliki arti yang begitu mendalam bagi kaum perempuan. Terlepas dari kostum nasional, sudahkan perempuan saat ini menjiwai perjuangan itu?
Pertama, kebaya bukan sekadar kostum perayaan. Dengan keanggunan dan kehormatan yang dilambangkan, seorang perempuan masa kini baik yang memilih menjadi ibu rumah tangga maupun wanita karir perlu saling mendukung satu sama lain sebagai bentuk penghormatan. Mengolok seorang perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga bukan cerminan dari RA Kartini. Kerap kali kita mencibir seorang perempuan yang memilih menjadi IRT daripada wanita karir, atau sebaliknya, kadang kita mencibir wanita karir yang bekerja demi mencukupi keluarga. “Kasihan anak-anaknya ditelantarkan, ih saya nggak mau sama wanita karir, saya malu, jangan terlalu tinggi pendidikannya ya nanti tidak ada yang mau.” Kerap kali kita mendengar cibiran itu bahkan dari sesama perempuan karena kita selalu memegang teguh persepsi bahwa perempuan sudah seharusnya mengurus hal-hal domestik seperti dapur, kasur, dan sumur. Padahal hal itu bisa diurus oleh pria maupun wanita dalam bentuk kolaborasi atau kerja sama.
Kedua, kebaya bukan sekadar hiasan untuk mempercantik unggahan di sosial media. Sebaliknya kaum perempuan saat ini perlu mempercantik diri sendiri baik dari dalam maupun dari luar. Standar kecantikan yang dibangun masa kini bahwa putih, berisi, dan mulus selalu dikategorikan cantik sedangkan hitam selalu dikategorikan jelek wajib dihilangkan. Karena warna kulit tidak perlu distandarisasi. Maka, saling dukung adalah pilihan yang tepat. Atau dalam hal lainnya, mempercantik bagian dalam diri dengan edukasi. Banyak perempuan di Indonesia saat ini malu untuk maju dan berkarya karena takut dikatai, dikomentari, atau bahkan ditolak.
Padahal jika ada kemauan pasti ada jalan walaupun harus jatuh bangun terlebih dahulu. Sebagai perempuan Indonesia masa kini kita masih merasa rendah diri jika dibandingkan dengan laki-laki karena kurang percaya diri dan terlena dengan sistem patriarki. Padahal keberanian yang ditinggalkan RA Kartini harus kita lanjutkan mulai dari diri sendiri. Bermimpi untuk mendapatkan edukasi setinggi-tingginya tidak salah dan bukan dosa berat, bermimpi untuk menjadi seorang penulis tak juga salah, bahkan bermimpi menjadi seorang presiden tak akan pernah salah. Karena semua manusia punya kesempatan yang sama dan setara. Pernah di satu desa kecil, ketika mengikuti kegiatan pengabdian, timbul pertanyaan kepada seorang anak kecil perempuan, “kamu ingin jadi apa?” Jawaban yang diberikan adalah mengelilingi dunia. Mimpi itu perlu didukung, mimpi itu perlu diapresiasi, dan kita perlu memberi ruang untuk mimpi-mimpi itu. Bukan sebaliknya menyanggahnya dengan berkata, “mimpi kamu terlalu tinggi, jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga kembali ke dapur.” Bukannya kita telah membunuh keadilan sejak dini?
Ketiga, kebaya bukan sekadar kostum nasional. Namun lebih daripada itu dia dijiwai oleh para pemakainya. Misogini yang merupakan kebencian terhadap wanita perlu dihilangkan dari dalam diri sendiri. Seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan tidak boleh dihina, namun hina para pelakunya. Seorang perempuan yang dituduh perebut laki orang atau sering disebut pelakor perlu dicari tahu faktanya. Kemarahan sebaiknya dilampiaskan kepada para pelaku yang sadar melakukannya. Seorang perempuan yang menggunakan baju terbuka atau tidak sesuai dengan norma sosial, tidak perlu dicaci maki, karena kenyamanan berpakaian kembali kepada diri masing-masing orang. Salahkan pelaku yang melakukan kekerasan seksual hanya karena gaya pakaian perempuan. Ruang publik dan privat yang aman bagi perempuan perlu tercipta. Bukan saja perempuan tapi juga laki-laki. Di mana pun dan kapan pun itu.
Selamat Hari Kartini, semoga sehat dan setara, Indonesia.
Referensi: Melati, Nadya. 2019. Membicarakan Feminisme. Yogyakarta: EA Books.