Kisah Musa dalam tautan benang kasih sayang
Satu refleksi atas Keluaran 2:1-20
Oleh P. Kons Beo, SVD
Dramatis. Itulah kisah tepi sungai Nil di kala itu. Ini semua berawal dari hati penuh gelisah Firaun baru. Penguasa Mesir, yang tak mengenal Yusuf itu, punya sikap tersendiri.
Umat Israel semakin beranak pinak! Jumlah yang membengkak adalah ancaman serius. Ada pengandaian suram di kepala Firaun. Sekiranya Israel bekerja sama dengan musuh-musuh Mesir untuk berperang dan memberontak? Mesir pasti dalam bahaya. Bala derita bakal tak terhindarkan.
Sikap tanggap mesti segera diambil Firaun serta jajaran penguasa. Israel mesti ditindas. Kerja paksa berlaku wajib! Pitom dan Raamses, dua kota logistik itu, menjadi sentrum kerja rodi. Penuh kekejaman. Hidup penuh kepahitan pelan-pelan mesti dirasakan Israel. Kemesraan, kenikmatan, kebebasan serta kejayaan di masa Yusuf telah berlalu. Telah senyap dan berubah. Lain penguasa, lain pula suasananya. Lain pemimpin, lain lagi sikap dan kebijaksanaannya!
Tetapi kasih Yahwe tetap tak berubah. Kata Alkitab, “Tetapi makin ditindas makin bertambah banyak dan berkembang mereka, sehingga orang menjadi takut akan orang Israel itu” (Kel 1:12). Tak ada jalan lain bagi para penguasa Mesir selain perintah kerja paksa itu semakin digaungkan.
Kehidupan semakin terasa pahit. Kekejaman terhadap orang Israel terjadi di seluruh pelosok negeri Mesir.
Ada lagi perintah tak berperikemanusiaan lainnya dari Firaun. Tak cuma terhadap kaum tua-tua dan pemuda. Kini, bayi-bayi lelaki Israel ada di bawah ancaman nyawa. Ingatlah Sifra dan Pua. Kedua bidan itu mendapat titah Firaun,
“Apabila kamu menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu harus memperhatikan waktu anak itu lahir: jika anak laki-laki kamu harus membunuhnya, tetapi jika anak perempuan, bolehlah ia hidup” (Kel 1:6).
Perintah gila itu sungguh tak diindahkan para bidan. Mereka lebih takut pada Allah dari pada harus ikuti naluri kejam dan penuh maut dari penguasa. Semua bayi Israel dibiarkan hidup. Maka semakin bertambah banyaklah jumlah bangsa Israel. Tentu ini membuat hati Firaun semakin gusar. Dan kini, kepanikan itu sungguh tak terkendali lagi.
Ada maklumat seram dari suara Firaun yang mesti dijalankan. Begini bunyinya:
“Lemparkanlah segala anak laki-laki yang lahir bagi orang Ibrani ke dalam sungai Nil; tetapi segala anak perempuan biarkanlah hidup” (Kel 1:22).
Musa tentu ada dalam ancaman maut. Ia adalah bagian inti bayi laki-laki Ibrani yang harus dilemparkan ke sungai Nil. Di situ, jelas sang ibunda ada dalam pertarungan hati nurani. Entah kah ia harus bertahan pada rasa kasih sayang sebagai seorang ibu yang mengandung dan melahirkan? Ataukah ia mesti pasrah pada keganasan titah Firaun?
Kasih sayang dalam persembunyian cuma sebatas tiga bulan! Selebihnya? Ya, peti pandan harus dibuat. Musa harus diselamatkan. Musa ada ada dalam titik kritis nasibnya. Karenanya, ia harus bertahan dalam peti pandan di tepi sungai Nil itu!
Kasih tetap mengalir bagi Musa. Saudarinya tetap menatapnya dari jauh. Tentu sambil berharap akan datang nasib baik bagi sang adik tercinta. Si adik yang masih balita itu. Amat mengharukan. Seorang saudari yang baik pasti tetap setia dan gelisah akan nasib tak menentu saudara-saudaranya. Itulah hidup tampilan relasi kasih sayang saudara-saudari yang bercitra. Saling memandang dalam dan demi hidup.
Garis hidup Musa sungguh ada di lintasan pembebasan. Saat sungai Nil adalah kisah maut, kengerian dan kematian bagi sekian banyak bayi lelaki Ibrani, bagi Musa tepian sungai Nil adalah narasi keselamatan dan kehidupan. Ketika komando Firaun gemakan kebinasaan dan pemusnahan, suara Putrinya, sebaliknya, bernada penuh kelembutan.
Renungkan kata-kata berdaya hidup itu: “Bawalah bayi ini dan susukanlah dia bagiku, maka aku akan memberi upah kepadamu” (Kel 2:9).
Suara Firaun telah pisahkan Musa dari pangkuan ibu dan rumah kediamannya. Namun suara sang Putri telah pulangkan Musa ke dekapan lembut sang Ibu. Tempat Musa bukanlah peti pandan dan tepi sungai Nil itu. Musa mesti dipulangkan kembali ke alam rumah orangtuanya sendiri.
Dan jalan hidup Musa yang telah menanjak dewasa? Alkitab kisahkan sekian haru. Musa dibawa ke tuan Putri Firaun. Tak cuma itu. Oleh sang Putri, Musa diangkat sebagai anaknya. Diberi nama Musa, karena kata sang Putri, “Karena aku telah menariknya dari air” (Kel 2:10).
Hidup itu bergerak dari sekian banyak aksi dan reaksi. Dalam keadaan tak berdaya, nasib siapapun ditentukan oleh sesama. Saat maut sungguh datang mencekam, selalu saja ada kisah keselamatan yang mesti terjadi!
Apa jadinya nasib Musa andaikan ibunya sendiri sekian takut dan harus akhiri hidupnya? Musa tak punya kisah hidup andai Sifra atau pun Pua, bidan-bidan Mesir itu punya ketaatan buta akan titah Firaun.
Indahnya hidup yang benar dan seharusnya mesti juga terlahir dari orang-orang yang ‘berkepala batu’ positif. Itulah orang-orang melawan penguasa yang lalim dan serong. Iya, penguasa yang mematikan kehidupan dan kepentingan orang banyak. Penguasa, yang karena takut akan kuasa dan jabatannya tergoncang, sekian aneh-aneh dalam bertitah. Semua hanya demi kepentingannya sendiri.
Di atas segalanya, nasib Musa terselamatkan oleh Keagungan kasih sayang sang ibu dan saudarinya sendiri! Heroisme Kasih tak sekedar lari dari rasa takut akan perintah maut Firaun. Tetapi bahwa sang ibu mesti berbuat sesuatu agar sang anak hidup dan mampu bertahan hidup selanjutnya.
Seorang ibu yang berkasih sayang tentu tak sekedar hadirkan seorang anak ke atas bumi ini. Tetapi seorang ibu miliki keagungan hati saat ia tahu merawat dan bertarung demi kelanjutan hidup yang anak. Peti pandan bagi musa adalah gambaran bagaimana kehidupannya berjalan aman dan terselamatkan!
Wajah ibu dan saudari Musa adalah gambaran kehidupan dan kelembutan! Kasih ibu dan saudari itu selalu dan sepanjang jalan mengikuti. Itulah kasih tulus yang melawan pengkhianatan. Kasih yang menentang ketidakpedulian. Kasih yang mengatasi ketakutan akan risiko maut. Kasih yang senantiasa kibarkan bendera: Dalam keadaan apapun, apalagi tersulit: ‘Engkau tetaplah anakku; engkau tetaplah saudaraku.’ Maka mulialah hati para ibu dan para saudara-saudari yang senantiasa berjalan bersama anak dan saudaranya sendiri dalam tindakan, doa dan harapan dalam nada keselamatan.
Bila Indonesia melihat diri sendiri ‘sebagai satu ibu negeri serta saudara sebangsa dan setanah air’, maka seluruh tumpah darah Indonesia miliki rasa sehati dan sesuara untuk saling melindungi dan menyelamatkan.
Lihatlah dalam diri si Putri Firaun itu. Sekecil apapun, siapapun kita pasti miliki ‘kuasa batin dan hati untuk menyelamatkan.’ Keagungan kasih itu nampak saat ada rasa gelisah untuk menarik sesama dari air. Iya, dari deru air derita, sakit, kelaparan, kemiskinan, keadaan tanpa rumah dan tak beralamat! Dari serba kemunduran dan keterbelakangan.
Manusia berhati putri Firaun pasti tak nyenyak di tidur malam. Saat ia teringat akan nasib tak menentu anak-anak yang tak jelas nasib dan masa depannya. Ia pasti bertarung untuk satu tindakan pro-life demi anak-anak terlantar dan yatim piatu itu. Demi anak-anak yang tengah meratap hingga tak ada lagi air mata mengalir di pipi.
Manusia bergema kasih pasti singkirkan jauh-jauh segala aksi yang mematikan. Dia sungguh mengutuk tindakan kekerasan dan sikap tidak adil terhadap orang yang tak bersalah.
Tak dijumpai pula dalam aura kasih ‘Putri Firaun’ kecenderungan untuk satu character assasination (pembunuhan karakter) satu terhadap yang lain.
Kita tentu semakin cemas bila badai kurang ber-etika semakin menerjang! Saat tak dibedakan lagi antara mana kritik dan mana kata-kata tak santun penuh hinaan. Pembunuhan lewat kata-kata kian semarak sebagai tanda bahwa kita lagi serius berada di jalur degradasi keberadaban!
Dunia, Indonesia Raya ini tak pernah boleh kehilangan perjuangan untuk saling membangun dan menghidupkan. Tetapi terutama yang kuat lindungi yang lemah, yang berkuasa selamatkan yang dipimpin, yang besar dan banyak mengayomi dan menyejukkan yang kecil dan sedikit. Di situ mesti selalu tersiapkan peti-peti pandan Musa yang menyelamatkan. Dan bukannya ‘peti-peti mati’ untuk menuju kehancuran dan kebinasaan.
Kita pasti ingat kata-kata Somerset Mougham (1874-1965). Sastrawan Inggris itu bilang, “Tragedi terbesar dalam hidup itu bukan ketika manusia itu binasa, tetapi saat manusia berhenti saling mencintai.”
Untuk mencintai jauh seluas samudra, mulailah bertolak dari belajar mencintai yang terdekat. Mereka itulah tetangga, anggota serumah dan siapapun kini yang ada di sekitar. Dalam ketidakpastian dan kekalutan yang dialaminya.
Memang, kita mesti masuk dalam kiat transformasi hati ‘yang lagi jatuh cinta.’ Jatuh cinta akan keadaan sesama dan akan segala ketakjelasan nasib yang tengah dialami. Tentu si filsuf Yunani Plato itu benar, ‘Saat kau jatuh cinta, segala sesuatu yang disentuh segera berubah jadi puisi.’
Keadaan sesama di ujung nasib tak menentu adalah puisi bernada pilu. Kita memang mesti bertolak dari kedalaman hati ‘yang lagi jatuh cinta.’ Sebab dari situlah segera terungkap tindak karitatif. Ketika hati baru yang segera tertentun pada tangan yang bertindak. Semuanya demi pembebasan!
Verbo Dei Amorem Spiranti