Produk teknologi negeri itu merambah ke segala penjuru dunia, terutama membanjiri pasar domestik di kawasan Asia dan Asia Tenggara, termasuk ke Tanah Air Indonesia. Sementara itu, reaksi manusia Indonesia di Indonesia sendiri, persis sebaliknya.
detakpasifik.com – Manusia etnis China memang unggul. Karena itu mereka diakui banyak bangsa karena sangat kuat secara ekonomi, cerdas secara intelektual personal, tetapi juga etos kerjanya tangguh dan tinggi. Ikatan sosial masyarakat China di Asia Tenggara sangat kuat.
Di negara lingkup ASEAN bisnis China sangat kencang. Contohnya grup Lippo (Indonesia) dan Kuok (Malaysia) memiliki jaringan bisnis di China, Hongkong, Australia, Makau, Singapura, Filipina, Thailand dan Fiji. Di negeri China sendiri, di bawah kepemimpinan Presiden China, Xi Jinping, dirinya telah berhasil mengeluarkan negeri itu dari lilitan belenggu kemiskinan. Tahun lalu diumumkan, China telah bebas dari kemiskinan.
Produk teknologi negeri itu merambah ke segala penjuru dunia, terutama membanjiri pasar domestik di kawasan Asia dan Asia Tenggara, termasuk ke tanah air Indonesia. Sementara itu, reaksi manusia Indonesia di Indonesia sendiri, persis sebaliknya. Kebanyakan penduduk di tanah air lebih suka protes, ngoceh tak keruan, iri hati tak bertepi, dan kerap bersikap culas, tetapi tidak sanggup berkompetisi dengan etos kerja yang kuat untuk mencapai kemakmuran.
Di Indonesia sendiri telah dikenal dengan sebutan geng Naga Asia, yang menguasai hampir 60 persen ekonomi di tanah air. Orang Indonesia lainnya habis dengan ngobrol politik berkepanjangan tanpa arah jelas, gosip kedengkian tak berujung neraka dan culas berlebihan sehingga over dosis melampaui jenis kebencian yang pernah disebutkan dalam sejarah.
Selalu nomor satu dan sadar
Philips Joeng rekan dari Guangzhou melaporkan, sejak ribuan tahun lalu, GDP (Gross Domestic Product) China selalu nomor satu di dunia. China hanya kalah pada satu rentang masa, yakni sejak tahun 1890 ketika GDP China dikalahkan oleh kelicikan Amerika dan Inggris melalui Perang Candu dan berbagai perdagangan tak adil. Rakyat Cina dipasok narkoba sebanyak-banyaknya oleh Inggris.
Akibatnya, dua generasi China rusak karena jadi pemadat candu. Sejak itu, hampir 100 tahun China menjadi miskin dan tertutup. Seluruh rakyat China menderita dan tidak produktif, serta penuh dengan konflik politik. Kekayaan China disedot habis-habisan oleh Inggris dan sekutunya di depan mata mereka.
Lalu, China sadar. Mereka sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh negara-negara Barat. Nasionalisme China bangkit dan muncul keinginan besar membangun bangsa mereka kembali. Mirip kondisi Indonesia saat ini ketika sedang diadu domba Amerika melalui corong-corong para proksinya, yakni para politikus-politikus busuk berkelakuan tikus dan para radikalis agama konyol yang selalu teriak-teriak “Usir China, Ganyang PKI, Jokowi dan menyebut satu partai politik di Indonesia sebagai antek komunis”.
Lalu, kumpulan manusia yang tak bermanfaat itu, ingin menegakkan khilafah, mengibarkan bendera anti Pancasila dan mengkafirkan semua orang lain. Jika para provokator seperti itu tidak dibasmi, Indonesia akan sulit melangkah menjadi negara maju seperti China. Jokowi terkesan agak lemah menyikapi radikalisme ini.
Tahun 1980-an, Deng Xiao Ping (bacanya: Teng Siao Bing) menggulirkan Pola Satu Negara Dua Sistem. Sistem Politik Komunis dan Sistem Dagang Kapitalis. Sejak itulah China membuka diri dan memodernisasi seluruh industrinya.
Hanya butuh 20-30 tahun. Tahun 2000-an China sudah menggeser Inggris, Jerman dan Jepang menduduki posisi runner up mengejar Amerika. Di tahun 2010-an Amerika mulai tumbang dan dikalahkan China sebagai pemegang rekor GDP terbesar nomor satu di dunia. Kekuatan militernya pun melejit dari tak masuk 30 besar pada periode masa silam, tetapi kini masuk menjadi tiga besar terkuat, bahkan tentara aktif dan non aktif serta paramilitarinya terbesar di dunia.
Halnya berbeda dengan negara-negara Barat yang membentuk kolonialisme dan menjajah bangsa-bangsa pribumi, China adalah negeri yang tak pernah mau menjajah dalam pengertiannya yang paling konvensional. Dalam 5000 tahun sejarah China, tak satu pun China menjajah negara lain.
Tujuannya hanya ingin berdagang dan saling menguntungkan. Tak heran, mulai dari Malaysia hingga Arab Saudi mendekat pada China untuk mensupport ekonomi negeri mereka. Bahkan produk finansial sukuk syariah Saudi Arabia menggunakan mata uang RMB China, bukan Dollar atau Dinar.
Tak heran, hegemoni kekuasaan Amerika selama 100 tahun terakhir mulai runtuh, sehingga Presiden Amerika, Donald Trump terus berkoar berteriak memprovokasi China untuk perang fisik dan mengajak para sekutunya untuk memerangi China. Tapi para negara sekutunya pada menolak. Filipina adalah negara pertama yang menolak pangkalan militernya dipakai untuk perang melawan China.
Jerman dan Prancis bahkan menentang perang dagang maupun fisik AS melawan China yang militernya terkuat nomor tiga di dunia. Rusia juga sudah mengumumkan bahwa mereka siap membantu China dalam perang semesta. Jika sekutu China seperti Rusia, Korut, Vietnam, Iran dan Kuba bergabung, seluruh Amerika dan para sekutunya amburadul.
Walaupun tetap bersiap perang dengan mengintensifkan latihan perangnya di kawasan Asia, dan melatih rakyatnya untuk darurat perang, serta mengarahkan puluhan rudal berhulu ledak nuklirnya ke arah Washington DC. Rudal-rudal tersebut mampu menjangkau dan meluluhlantakkan Amerika dalam waktu singkat. Tetapi China tak menggubris ocehan Donald Duck itu. China diam, tetapi bukannya tak bersiap. Presiden Xi Jinping hanya senyum-senyum saat ditanya soal provokasi Amerika.
Darah orang-orang China itu sejatinya memang pebisnis ulung. Jadi mereka berkeinginan hanya berdagang yang saling menguntungkan, tak mau bermusuhan dan berperang, tetapi membentengi dan meningkatkan kapasitas dirinya dengan menjadi manusia unggul, beretos kerja kuat, tidak malas-malasan dan hanya mengoceh politik yang tidak memiliki moral cukup. Tapi bukan berarti mereka tak menyiapkan pisau di punggungnya untuk bersiaga.
Globalisasi dan ideologisasi
Globalisasi menjadikan dunia kian kecil dan mengecil dalam konteks teknologi informasi. Dunia dapat diakses dalam dan melalui smart phone yang dipegang oleh pedagang siri pinang di Timor, atau disematkan di saku celana pendek oleh petani sayur di Flores dan sekitarnya, atau ditenteng oleh penghalau gembala sapi di Sumba.
Atas nama globalisasi itu ideologi politik mengalir ke pasar dunia. Mulai dari ideologi paling kiri hingga paling kanan, dijual di pasaran negara. Indonesia tidak terkecuali. Krisis relasi di tanah air hanya semata-mata pantulan dari gelombang tarung ideologi itu.
Kaum radikalis sangat kiri berhadapan dengan kaum reaksionis paling kanan yang diwakili negara-negara nyaris kalah dalam tarung ekonomi global. Sementara ideologi liberal, neoliberal, demokrasi dan new democracy, limbung berada di tengah seperti gambaran yang dialami di tanah air. Perihal pindah ibukota ditarik-tarik menjadi soal serius negara bangsa, justru karena anak negeri sendiri terlalu malas berpikir dan bekerja serius.
Globalisasi jenis baru tidak lagi melulu soal agama dan kebudayaan, tetapi berubah menjadi tarung ekonomi dan politik. Dan, tampaknya yang kini sangat siap adalah China, Korea Selatan, Taiwan, Jepang. Pertanyaannya ialah bagaimana negeri-negeri kecil di tepi selatan, atau bagaimana nasib provinsi miskin di ufuk timur dan selatan negeri ini? Bagaimana pula negara kecil di tepi Pasifik, seperti Timor Leste?
Indonesia di kawasan timur akan segera bangkit hanya dengan syarat ketat. Pertama, konsolidasi seluruh potensi dan kekuatan bertabiat triplehelix, tetapi juga bernuansa pembebasan. Kedua, memperbaiki etos kerja, dan mengurangi tabiat nyerocos dengan hanya modal logika sederhana yang diperoleh dari bangku sekolah tak bermutu unggul.
Ketiga, para periset ulung entah ilmu sosial dan ilmu eksakta mendedikasikan dirinya untuk menggumuli realitas ontologis masing-masing daerah, baik untuk Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua dalam semangat panggilan persemakmuran Melanesia. Karena arus globalisme dan tarung ekonomi global sedang mengalir ke arah sini, ke tepi Pasifik Selatan.
(dp/pr)