Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas, yaitu pada kepentingan politik kekuasaan, bukannya kepada publik.
Oleh Ben Senang Galus
Berbagai prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam pemberian pelayanan publik seperti prinsip kesederhanaan. Prinsip ini mempunyai maksud bahwa prosedur atau tata cara pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat, ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di daerah secara struktural. Kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Pilkada yang telah menempatkan birokrasi lebih sebagai instrumen politik kekuasaan dari pada sebagai agen pelayanan publik. Sedangkan secara struktural kondisi tersebut lebih disebabkan akar sejarah kultural feodalistik birokrasi seperti masih diadopsinya budaya priyai yang bersifat paternalistik.
Aktualisasi dari sistem nilai priyai (borjuis) membawa efek psikologis pada aparat birokrasi. Birokrasi beserta aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai pihak yang harus dihormati oleh masyarakat. Birokrasi tidak merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan, akan tetapi justru sebaliknya, masyarakatlah yang harus melayani dan harus mengerti keinginan birokrasi.
Sentralisasi birokrasi telah menyebabkan birokrasi terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang berorientasi vertikal daripada berorientasi pada kepentingan publik. Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi. Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas, yaitu pada kepentingan politik kekuasaan, bukannya kepada publik.
Berbagai kebijakan pembangunan pemerintahan yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi tidak semakin sensitif terhadap nilai, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel, sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsif terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang bersifat spesifik.
Kinerja yang baik harus didukung oleh Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) yang secara ketat memegang tiga prinsip economy, efficient, dan effective dan berorientasi pada outcome. Kinerja pemerintah daerah yang baik diyakini akan menghasilkan sesuatu yang diangap bernilai tinggi oleh masyarakat. Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mencapainya yaitu menjalankan prinsip high performance government (pemerintah yang berkinerja tinggi), dan mengembangkan kapabilitas (capability building).
Prinsip-prinsip high performance government adalah fokus pada klien atau warga negara, berorientasi pada outcome, akuntabel, inovatif dan luwes, bersikap terbuka dan siap bekerja sama dengan siapa saja, penuh perhatian. Kapabilitas yang perlu dikembangkan adalah mencakup: di bidang strategi dan pembuatan kebijakan, organisasi dan desain proses kerja, manajemen kinerja, menjalin kemitraan, kemampuan memasarkan dan menjalin hubungan dengan klien, procurement dan logistic, manajemen human capital, dan manajemen informasi.
Ini menuntut pemerintah daerah senantiasa mengalokasikan anggaran yang memadai untuk memberikan pelatihan yang berkesinambungan guna meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia supaya mampu menjalankan prinsip-prinsip bagi terwujudnya high performance government yang juga berarti public government atau pemerintahan yang amanah.
Inovasi sebagai trobosan
Inovasi sangatlah diperlukan oleh pemda NTT. Dengan kondisi yang saat ini semakin berat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan inovasi sebagai terobosan baru oleh kepala daerah (gubernur). Proses perencanaan juga telah bergerak dengan prinsip money follows program. Selain itu, saat ini digencarkan penggunaan sumber pendanaan yang dibutuhkan untuk menjalankan rencana program dan proyek yang menjadi prioritas daerah, di luar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Pendanaan infrastruktur non-APBN (PINA) berperan dalam mendukung sisi finansial. Di sisi proses bisnis, dalam kerangka reformasi birokrasi perlu diperkuat juga aspek reformasi strukturalnya. Aspek lain yang tidak kalah penting adalah sumber daya manusia sebagai human capital. Kompetensi terus ditingkatkan untuk mendapatkan inovasi dan menjalankannya dengan konsisten untuk kemajuan bangsa. Aparatur Sipil Negara seyogyanya bukanlah semata administrator, tetapi para pengambil kebijakan yang memiliki jiwa pemikir (thinker) dan berlaku sebagai inovator.
Kemajuan setiap daerah, baik provinsi dan terutama kabupaten/kota dapat tercapai melalui implementasi perencanaan yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) maupun daerah (RPJPD). Selain itu, kepemimpinan dan kreativitas kepala daerah (gubernur) serta semangat/spirit dari masyarakat turut mendukung kemajuan tiap-tiap daerah.
Perencanaan dapat mencakup semua hal, baik perencanaan di bidang infrastruktur, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Semua harus direncanakan dengan baik dan terukur. Sebagai contoh, daerah yang ingin menjadi daerah industri maka sistem pendidikan dan sistem vokasionalnya harus dibentuk. Namun, bila suatu daerah yang direncanakan untuk daerah wisata maka sistem perencanaan yang dibangun juga harus disesuaikan.
Setiap daerah harus mengetahui kekuatan, kemampuan, dan tujuan yang akan dicapai. Di Jawa, daerah bisa maju karena industri. Namun, NTT, tentu ada daerah yang maju karena perkebunan, sumber daya alam, pariwisata ataupun investasi dari luar. Dengan demikian, rumusan untuk kemajuan setiap daerah bisa berbeda-beda, bergantung situasi dan kondisi di daerah tersebut.
Salah satu kunci kemajuan NTT adalah kepemimpinan (leadership) dari kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota). Selain dari kepemimpinan kepala daerah, kemajuan suatu daerah juga bergantung dari sumber daya alamnya. Namun, jika suatu daerah memiliki potensi sumber daya alam, tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik, karena lemahnya kepemimpinan kepala daerah, maka daerah tersebut juga sulit untuk maju. Potensi sumber daya alam dapat mengundang/menarik pihak luar untuk berinvestasi sehingga mendorong kemajuan daerah tersebut.
Berbicara soal investasi, tentunya akan terkait dengan iklim politik di daerah. Investasi diperlukan sebagai motor penggerak kemajuan suatu daerah. NTT sangat beruntung karena sebagai daerah yang punya potensi yang besar, tingkat permintaan/konsumsinya pasti tinggi. Hal ini yang menarik para investor.
Namun, sebagai provinsi kepulauan, biaya (cost) yang dibutuhkan tentunya relatif lebih tinggi dibandingkan provinsi daratan. Kabupaten perbatasan seperti Belu berbatasan dengan Timor Leste masih relatif tertinggal, apalagi untuk berkompetisi dengan negara tetangga. Daerah perbatasan harus diberikan insentif khusus karena lokasinya terpencil serta logistiknya tidak mudah dan tidak murah. Kabupaten Belu bisa dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi dengan membuka pasar bersama, membangun infrastruktur yang baik, sehingga dollar dari Leste mengalir ke NTT.
Arah yang perlu ditempuh adalah melalui kreativitas dari sektor pendidikan, teknologi, dan yang tidak kalah penting adalah pandangan visioner dari kepala daerah. Salah satu kreativitas yang dapat dimunculkan oleh seorang kepala daerah adalah kreativitas dari sektor perdagangan.
Untuk memajukan NTT haruslah dihasilkan produk-produk yang mahal, baik untuk produk perikanan maupun perkebunan. Adapun produk pertanian dianggap sulit untuk memajukan suatu daerah karena harganya selalu dikontrol pemerintah. Sektor perdagangan di NTT pun lebih difokuskan untuk produk-produk seperti udang, ikan, cokelat, kopi, dan jagung. Pendapatan daerah juga didapat dari tingginya ekspor dari produk-produk yang dihasilkan daerah tersebut.
Demikian pula pemda NTT mendorong peningkatan kapasitas digital para pemimpin mulai dari desa sampai provinsi, di sektor publik maupun privat melalui program Digital Leadership Academy (DLA)-sebagaimana selalu dicanangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Mendorong peningkatan kapasitas digital selain kapasitas offline, para pemimpin di sektor publik (pemda NTT) maupun privat melalui program Digital Leadership Academy (DLA). DLA ini memang diperuntukkan para pemimpin di sektor publik dan privat mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dan bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam eksosistem digital nasional maupun global. Dengan ciri demikian (inovasi pemerintah) daerah persoalan kemiskinan dan busung lapar di NTT dari tahun ke tahun yang angka prevalensinya tinggi perlahan akan berkurang. Semoga!
Ben Senang Galus, Penulis Buku “Pemikiran Ekonomi dari Klasik sampai Era 4.0”, tinggal di Yogyakarta