Pendidikan multikultural ini berfokus pada pendekatan yang mengakui dan menghargai keberagaman budaya yang ada dalam masyarakat.
Oleh Valensius Ngardi, Mahasiswa Pascasarjana Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam rangka kegiatan In House Traning (IHT) tahun ajaran semester genap (2024/2025) para pendidik SMA Santo Paulus Pontianak mengundang penulis untuk berbagi tema keberagaman di tingkat pendidikan menengah, Selasa (7/1/2025). Para pendidik dan tenaga kependidikan (PTKP) dengan penuh antusias mengikuti materi ini dengan pendekatan diskusi bersama/sharing praksis dalam relasi keseharian dengan agama berbeda di lingkungan sekolah tersebut. Peserta yang hadir kurang lebih 60 guru merupakan para pendidik yang mengajar di SMA Santo Paulus di bawah naungan Yayasan Pendidikan Sekolah Bruder (YPSB) Kota Pontianak.
Penulis merasa bahwa saatnya para pendidik untuk menambah nutrisi nilai keberagaman saat ini, yang walaupun mereka merasa topik-topik yang bercitarasa sama sudah dimasukkan dalam pendidikan karakter, PKN, Sosiologi, Agama, BK dan lain sebagainya. Selain itu, berbagai kajian teori dari para ahli lainnya dapat memperluas wawasan para pahlawan pendidikan, mendorong mereka untuk terus berjuang di tengah persaingan membangun karakter guru yang berwawasan keberagaman di Indonesia.
Merawat Keberagaman
Menurut penulis, keberagaman budaya dan agama di Indonesia, termasuk di lingkungan sekolah, memberikan tantangan dan peluang untuk menumbuhkan inklusivitas dan toleransi. Topik ini sangat menarik untuk mengidentifikasi cara-cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan inklusivitas dan toleransi di SMA Santo Paulus Kota Pontianak dalam menghadapi keberagaman yang ada. Melalui program-program seperti kegiatan keagamaan bersama, diskusi tentang nilai-nilai keberagaman, dan pengembangan sikap saling menghargai, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang inklusif.
Selain itu, peran pendidik dan siswa dalam membangun komunikasi yang terbuka dan menghormati perbedaan juga sangat penting dalam mewujudkan toleransi. Beragama kegiatan baik bersifat pluralitas maupun multikultural memberikan kontribusi pada pemahaman pentingnya membangun budaya inklusif yang dapat memfasilitasi pembentukan sikap toleransi di kalangan siswa di sekolah-sekolah multikultural.
“Saya tidak pernah gelisah masuk di sekolah ini, sebab sejak kecil saya sudah mengenyam pendidikan bernuansa Katolik hingga di tingkat Perguruan Tinggi (PT). Namun justru di luar sana, merasa heran mengapa saya bisa berkerja di lingkungan Katolik, pada hal saya Muslim,’’ kata salah satu guru bahasa Inggris saat mengungkapkan pandangan tentang keberagaman di sekolah tersebut dengan penuh semangat. Mom Ika sapaan dari para muridnya. Dia kaget ketika mengikuti acara pengajian di lingkungan dengan bahasa satire dari guru pengajian menjadi daya bagi dia untuk menyuarakan bahwa di sekolah Katolik tidak pernah mengajarkan intolerasi satu dengan yang lain.
Suara pendidik tersebut membuka wawasan bagi kita bahwa, Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, suku, agama, dan bahasa, justru kurang disyukuri sebagai hadiah terindah dari Sang Pencipta. Bagi dia keberagaman ini tidak hanya tercermin dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga di lingkungan sekolah.
Sekolah, sebagai tempat pendidikan dan pembentukan karakter, memegang peran penting dalam menumbuhkan sikap inklusif dan toleransi di kalangan siswa. SMA Santo Paulus Kota Pontianak, sebagai salah satu lembaga pendidikan di wilayah yang memiliki beragam latar belakang budaya dan agama, menghadapi tantangan sekaligus peluang untuk memfasilitasi terciptanya lingkungan yang harmonis dan saling menghargai antar siswa dengan latar belakang yang berbeda.
Dalam konteks pendidikan, inklusivitas mengacu pada penerimaan terhadap setiap individu tanpa memandang latar belakang, baik itu agama, budaya, atau ras. Sementara itu, toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Kedua nilai ini sangat penting untuk dibangun sejak dini, mengingat pentingnya menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan siswa, baik secara akademik maupun sosial.
Hal ini juga mendukung pengalaman Pak Iksan, seorang guru Muslim, bahwa di sekolah tempatnya mengajar saat ini masih ada ruang dan waktu untuk salat di tengah kesibukannya sebagai guru olahraga. Pengalamannya juga diakui oleh Pak Ramli, seorang beretnis Madura-Muslim bahwa meskipun tergolong guru muda justru dia banyak mendapat pengalaman dari ketakutan terhadap orang lain yang menjadi kekuatan dalam beriman dan beramal dalam pengetahuan.
Meskipun demikian, baik Mom Ika, Pak Iksan dan Pak Ramli tetap dengan nada kritis mengungkapkan bahwa di tengah keberagaman ini, tidak jarang muncul tantangan berupa kesenjangan antar kelompok, kesalahpahaman, atau bahkan konflik. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk mengimplementasikan program-program yang mendukung penanaman nilai inklusivitas dan toleransi agar para siswa dapat tumbuh menjadi individu yang memiliki rasa empati, saling menghargai, dan dapat bekerja sama meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.
Tidak hanya itu, para guru yang beragama -Katolik, Protestan, dan Buddha di sekolah tersebut, menciptakan SMA Santo Paulus Kota Pontianak sebagai bagian dari komunitas pendidikan yang multikultural memiliki kesempatan untuk menjadi contoh dalam membentuk lingkungan yang inklusif dan toleran bagi sekolah lainnya.
Ingatan Kolektif (Kasus)
Jangan kita melupakan sejarah kelam masa lalu sebagai terminal pertama untuk menarasikan apa yang terjadi pada orang tua atau generasi sebelum kita berada. Salah satu yang kita deskripsikan sebagai ingatan kolektif saat ini adalah kasus-kasus yang menjadi bagian dalam histori saat ini.
Pertama, kasus-kasus pada zaman Soeharto tidak terluput dari kekerasan sosial yang bisa retak dalam relasi sesama sebagai warga negara Indonesia. Misalnya, kasus pembakaran gereja di Situbondo (1980an). Peristiwa yang memilukan ini adalah kasus intoleransi agama di Situbondo, Jawa Timur, yang melibatkan pembakaran gereja oleh kelompok Muslim.
Kejadian ini dipicu oleh ketegangan antara umat Kristen dan Muslim setempat, yang berawal dari isu perbedaan agama dan kecurigaan terhadap kegiatan penyebaran agama di wilayah tersebut. Pembakaran gereja ini mencerminkan ketegangan antara agama di bawah pemerintahan Orde Baru yang lebih menekankan stabilitas politik dan sosial daripada keberagaman agama. Penyebabnya adalah ketegangan antar umat beragama, terutama dalam hal perbedaan keyakinan dan pengaruh politik yang mendukung dominasi agama mayoritas.
Kedua, kasus intoleransi terhadap orang Tionghoa (1965-1970an). Tentang kasus warga Tionghoa di Indonesia, yang walaupun lebih terkait dengan tahun 1965, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia berlangsung hingga dekade 1970an di bawah pemerintahan Soeharto. Setelah peristiwa G30S/PKI, pemerintah Orde Baru memperketat kebijakan terhadap etnis Tionghoa, yang dipandang mencurigakan akibat keterkaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kebijakan ini menyebabkan pembatasan terhadap kegiatan budaya, agama, dan pendidikan Tionghoa. Faktor penyebab dari konflik ini adalah pengaruh politik pasca-G30S/PKI yang menghubungkan etnis Tionghoa dengan komunisme, serta kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengekang keberagaman budaya dan agama.
Selain itu, kasus intoleransi pada masa Reformasi sangat mengganggu kohesi sosial dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, kerusuhan di Ambon (1999-2000). Kasus ini salah satu contoh intoleransi yang terjadi pada masa Reformasi yang melibatkan pertempuran antara umat Muslim dan Kristen. Ketegangan etnis dan agama yang sudah ada sejak lama diperburuk oleh faktor ekonomi, politik, dan kebijakan pemerintah yang tidak tegas dalam mengatasi ketidakadilan sosial. Ketika konflik ini pecah, ribuan orang tewas dan banyak yang terlantar. Faktor penyebabnya adalah ketegangan antar agama (Islam vs Kristen), kesenjangan sosial-ekonomi, serta pengaruh dari politik identitas pasca-Reformasi.
Masih nuansa yang sama adalah kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah (1998-2000). Kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah, antara umat Islam dan Kristen meletus pada akhir 1990-an dan terus berlangsung hingga awal 2000-an. Konflik ini memiliki akar sejarah panjang yang melibatkan perbedaan agama dan persaingan sosial-ekonomi, tetapi pecah pada saat Reformasi, ketika struktur politik di Indonesia mulai berubah.
Ketegangan ini semakin memuncak dengan pertempuran fisik yang menewaskan banyak orang dan menyebabkan ribuan orang mengungsi. Faktor penyebabnya adalah ketegangan agama yang memuncak, ketidakpuasan sosial, serta pengaruh politik lokal yang memanfaatkan perbedaan agama untuk meraih kekuasaan.
Kemudian kita masih ingat kasus intolerasi pasca-Reformasi di mana masyarakat dan agama minoritas menjadi sasaran dari agama mayoritas. Serangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (2011). Pada 6 Februari 2011, sekelompok massa menyerang jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Kasus ini mendapat sorotan internasional, karena terjadi di negara dengan mayoritas Muslim yang seharusnya menjunjung tinggi toleransi beragama.
Kasus penutupan rumah ibadah di sejumlah daerah (2010-an) di Indonesia (termasuk Jakarta, Bekasi, dan Yogyakarta) sejumlah rumah ibadah non-Muslim, seperti gereja dan rumah ibadah Kristen lainnya, mengalami penutupan oleh pihak berwenang atau kelompok intoleran. Salah satu contoh paling terkenal adalah penutupan gereja di Bekasi (2010) dan pengusiran jemaat di beberapa kota besar di Indonesia.
Menelisik Kasus di Kalimantan
Pada zaman Orde Baru kasus etnis dan agama terjadi antara Dayak-Madura di Kalimantan Tengah (1996). Konflik ini dipicu oleh ketegangan sosial dan ekonomi antara suku Dayak, yang merupakan penduduk asli Kalimantan, dan pendatang dari suku Madura yang datang untuk bekerja di sektor perkebunan. Ketegangan ini membesar karena adanya perbedaan budaya, dan etnis yang memicu perasaan ketidakpuasan sosial.
Konflik ini berakhir dengan banyaknya korban jiwa dan pengungsian warga Madura yang terlantar. Pemerintah Soeharto saat itu cenderung mengabaikan isu ini sebagai masalah etnis dan lebih fokus pada stabilitas politik. Konflik antara suku Dayak dan etnis Jawa (1980-an) di Kalimantan Barat, yang merupakan pendatang transmigrasi yang didorong oleh pemerintah Soeharto. Ketegangan ini terutama terjadi di Kalimantan Barat, di mana para transmigran Jawa sering kali mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian dan perkebunan.
Suku Dayak merasa terpinggirkan dan terancam dengan kedatangan para transmigran ini, yang akhirnya menyebabkan gesekan sosial. Kebijakan transmigrasi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan sosial dan budaya masyarakat lokal, serta dominasi etnis Jawa dalam sektor ekonomi.
Peristiwa-peristiwa tersebut di atas, menggambarkan bagaimana ketegangan etnis dan agama di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan pada khususnya, sering kali dipicu oleh ketidakpuasan sosial dan kebijakan yang tidak mempertimbangkan keberagaman budaya dan agama.
Permasalahan Utama Konflik
Menurut penulis, ada beberapa faktor riak-riak intoleransi di masyarakat kita antara lain.
Pertama, kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaman. Di lingkungan sekolah yang multikultural, siswa sering kali belum sepenuhnya memahami dan menghargai perbedaan budaya, agama, dan latar belakang lainnya. Hal ini dapat memunculkan ketegangan atau konflik antar individu atau kelompok di sekolah.
Kedua, tantangan dalam membangun lingkungan yang inklusif dan toleran. Meskipun sekolah memiliki beragam potensi untuk mengembangkan nilai inklusivitas dan toleransi, terkadang masih terdapat hambatan dalam pelaksanaan program-program yang mendukung hal ini, seperti kurangnya dukungan dari semua pihak (guru, siswa, dan orangtua) serta ketidaksiapan beberapa siswa untuk beradaptasi dengan perbedaan.
Maka kegiatan model IHT dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inklusivitas dan toleransi di lingkungan SMA Santo Paulus. Para guru dan stakeholdernya bisa menemukan strategi dan program yang efektif dalam meningkatkan inklusivitas dan toleransi.
Warga sekolah dapat menemukan dan merumuskan strategi atau program yang dapat diterapkan di SMA Santo Paulus untuk menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif dan toleran terhadap perbedaan agama, budaya, dan latar belakang lainnya. Akhirnya bisa memberikan rekomendasi bagi pihak penyelenggara sekolah (Yayasan) dalam meningkatkan sikap toleransi dan inklusivitas di kalangan Siswa.
Hal ini dapat memberikan rekomendasi praktis kepada pihak sekolah, guru, dan siswa mengenai cara-cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas dalam kehidupan sehari-hari di sekolah tersebut. Salah satunya adalah melalui wacana pendidikan multikultural dan pluralisme.
Pendidikan multikultural ini berfokus pada pendekatan yang mengakui dan menghargai keberagaman budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks sekolah, mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap keberagaman dan mengintegrasikan elemen-elemen keberagaman dalam pembelajaran dan kebijakan sekolah.
Menurut Banks (2001), pendidikan multikultural tidak hanya tentang mengenalkan siswa pada perbedaan budaya, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang adil dan setara bagi semua siswa, terlepas dari latar belakang mereka. Sekolah dapat menerapkan kurikulum yang inklusif yang mengedepankan penghargaan terhadap budaya dan agama yang berbeda, serta mengajarkan siswa tentang pentingnya saling menghargai dan bekerja sama dalam masyarakat yang beragam.
Bersamaan dengan itu pendekatan dalam pendidikan yang memastikan bahwa semua siswa, tanpa terkecuali, mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam lingkungan yang mendukung keberagaman. Mereka menekankan bahwa inklusivitas tidak hanya tentang penerimaan fisik siswa dari berbagai latar belakang, tetapi juga tentang menciptakan atmosfer sosial yang memungkinkan siswa merasa dihargai dan diterima tanpa diskriminasi.
Kebijakan anti-diskriminasi, dukungan untuk siswa dengan kebutuhan khusus, dan upaya untuk mengurangi kesenjangan antarsiswa dengan latar belakang sosial atau agama yang berbeda menjadi dasariah dalam memanusiakan satu sama lain (Booth, T., & Ainscow, M. 2002).
Hal lain yang harus diperhatikan adalah menekankan pentingnya pendidikan karakter yang mencakup nilai-nilai seperti penghormatan, kejujuran, tanggung jawab, dan toleransi. Toleransi di sini didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghormati dan menerima perbedaan, baik itu perbedaan agama, budaya, atau pandangan hidup (Lickona 1991).
Lickona berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah bagian integral dari proses pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan siswa untuk berprestasi akademik, tetapi juga untuk hidup bersama secara harmonis dalam masyarakat yang plural. Penerapannya di sekolah: sekolah dapat mengintegrasikan nilai-nilai toleransi dalam program pembelajaran serta aktivitas sosial dan ekstrakurikuler yang melibatkan siswa dari berbagai latar belakang.
Semoga guru-guru di SMA Santo Paulus memainkan peran penting dalam menciptakan iklim inklusif dan toleran. Mereka tidak hanya bertindak sebagai pendidik, tetapi juga sebagai contoh teladan dalam mengelola perbedaan, memberikan ruang bagi siswa untuk saling berbicara, dan menyelesaikan konflik dengan pendekatan yang adil di Kota Pontianak Kalimantan Barat.
“Sekali Santo Paulus Tetap Santo Paulus”