“Banyak orang kehilangan kebahagiaan, bukan karena mereka tidak pernah menemukannya, tetapi karena mereka melewatinya” – (William Feather, penulis Amerika, 1889 – 1981).
Bible Corner, Pekan II Pra-paskah, Minggu 13 Maret 2022
(Bacalah Injil Lukas 9:28b-36)
Oleh P. Kons Beo, SVD
Dunia kini penuh gemerlap, tetapi…
Tertarik pada keadaan hidup serba “wah”? Itulah yang jadi tantangan serentak kerinduan kita. Tak ada, yang pada dasarnya, ingin merana di perjalanan hidup ini. Dan manusia nyaris punya segalanya untuk berkembang dalam hidup ini. Tinggal bagaimana disikapi dan dijalankan. Penuh perjuangan.
Tetapi, tidakkah di dunia ini bertebaran ranjau-ranjau kehidupan? Itulah ranjau-ranjau dalam bentuk angan-angan. Ada sekian banyak mimpi penuh ilusi. Tersulap oleh khayalan betapa senangnya hidup sesama kita, misalnya, dengan bergelimpangan kekayaan. Mereka nyaris punya segalanya. Dan terkesan betapa mudahnya mereka ‘jadi orang serba punya’ dan terkesan ‘sungguh nikmati hidup ini’.
Bisa terjadi bahwa mereka warisi harta kekayaan melimpah dari para penjasa. Tak dipungkiri pula bahwa ada yang memang lewati perjuangan dalam menggapai semuanya. Saatnya mereka nampaknya menikmati semua jerih lelahnya. Tetapi, itukah yang disebut ‘alangkah bahagianya hidup?’
Zaman tetap berlalu dan selalu berubah
Di zaman yang kini bergelora, dengan segala kemajuan hidup yang telah dicapai, betapa hidup menjadi semakin mudah. Segalanya mudah terakses dan terfasilitasi. Jamak terdengar, “Dunia jadi semakin kecil. Dan memang sudah selebar daun kelor”. Tak seperti di hari-hari lalu, di waktu ‘yang sudah-sudah’.
Sungguh patut dibanggakan dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan kemajuan hidup manusia! Yang dahulu dialami ‘sulit dan bahkan mustahil’ kini telah jadi ‘kisah biasa tanpa terlalu penuh rasa heran’. Tetapi, bagaimanapun, mari kita telisik sisi lain dari citra kehidupan modern yang nyaris sudah serba “wah” ini.
Jati diri manusia terbentuk oleh situasi yang tengah dialami. Setiap generasi manusia ada zamannya, dan demikian pun setiap zaman membentuk pola ‘generasi manusia’. Dengan berbagai ciri khas yang terbentuk. Tentu dengan alam positifnya, yang tetap dibayang-bayangi oleh iklim penuh keredupannya.
Saat segalanya telah mapan
Ciri generasi instan, kini, menjadi topik serius yang digemakan! Zaman telah berubah. Situasi kini, diamati, membawa generasi muda, misalnya, hanya di muara keberhasilan dan prestasi. Eforia keberhasilan dan kejayaan yang overdosis bisa membutakan. Pun melumpuhkan jalan perjuangan dan pengorbanan yang seharusnya disadari dan mesti pula disusuri.
“Serba jadi, serba siap serta cepat saji” menggeser kesadaran akan proses menjadi untuk mencapai hasil. Mungkin tersadari kini akan kenyataan adanya konflik generasi yang samar. Artinya, generasi pendahulu kisahkan betapa di hari-hari silam, di periode tempoe doeloe itu, segalanya serba terbatas dan banyak susahnya. Ada yang bergembira, bahwa apa yang diperjuangkan dulu, membawa dampak untuk saat kini.
Namun, ungkapan kecemasan sering tak terhindarkan. Kaum senja keluhkan generasi kini yang kurang berjuang. Tak tahan banting dalam berusaha. Takut akan risiko dari satu pilihan dan keputusan. Hidup sebagai satu perjuangan, sayangnya, dihadapi dengan ‘cepat lepas tangan dan menyerah’.
Jalan terjal menuju cahaya kemuliaan
Adakah spirit hidup penuh perjuangan yang ditawarkan oleh kisah injil? Kiranya dapat direnungkan dari kisah “Naik ke atas gunung untuk berdoa”. Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus ke sebuah proses pendakian ke puncak gunung.
Di situlah kisah penuh kilau-kemilau terjadi. “Wajah Yesus berubah, dan pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan” (Luk 9:29). Dan tak hanya itu. “Dan tampaklah dua orang berbicara dengan Dia, yaitu Musa dan Elia” (Luk 9:30). Dalam situasi penuh kecemerlangan itu, sebuah tema teramat penting terdengar: “Tujuan kepergian Yesus yang akan digenapiNya di Yerusalem!” (Luk 9:31).
Tetapi, harus kah menuju Yerusalem, di saat suasana pucak keindahan tengah dialami? Petrus, yang sekian terkesima berujar, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Luk 9:33). Sayangnya, Petrus sendiri, seturut catatan penginjil Lukas, “Tidak tahu apa yang dikatakannya”.
Namun, kiranya suara dari dalam awan yang mengelilingi mereka sepantasnya menjadi kunci dari segala kisah kemuliaan di puncak gunung itu, “Inilah Anak yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” (Luk 9:35).
Mari kita maknai kisah kemuliaan di atas gunung demi perjalanan hidup sebagai murid-murid Kristus, sebagai orang yang percaya kepadaNya.
Pertama, sungguh percaya dan penuh penyerahan diri pada Kristus adalah sebuah orientasi kehidupan penuh harapan! Kita tak berziarah dalam kehampaan dan kesia-siaan. Selalu ada keyakinan bahwa kita sungguh berarak menuju kepastian, kecemerlangan, kebahagiaan dan kesempurnaan dalam Kristus sendiri.
Karenanya, sebagai pengikut Kristus, kita tak sekadar berziarah tanpa arah, tanpa spirit, dan tanpa sebuah daya tarik ilahi. “Kemuliaan gunung surgawi menanti segenap kita”. Mestikah kita sia-siakan segala “kemuliaan di masa datang yang sungguh menjanjikan itu?”
Kedua, Petrus sekian terpana akan kesyahduan suasana puncak gunung itu. “Mendirikan tiga kemah” kiranya mesti terjadi agar suasana penuh kemesraan itu janganlah cepat berlalu. Mesti terus dialami. Ada bersama Tuhan selalu melegakan. Membawa keteduhan dan kebebasan. Ada bersama Tuhan dalam suasana puncak gunung adalah alam ‘kemesraan relasi murid-murid bersama Yesus, sang Guru’.
Haruskah suasana penuh mulia ceria itu segera berakhir? Bagaimanapun, suasana mulia itu tetap menjadi kepastian di dalam ‘ada bersama Yesus’ sendiri. Petrus sebatas berikhtiar membangun kemah. Kemah adalah isyarat kesementaraan. Yang pada saatnya kemah itu dibongkar. Dan para murid mesti lanjutkan perjalanan kehidupan ini.
Patutlah kita teringat suara Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, “Akan tiba saatnya jika kemah tempat kediaman kita di dunia ini akan dibongkar, Allah akan menyiapkan suatu tempat kediaman di sorga” (2Kor 5:1). Sungguh! Tak ada yang abadi di dunia. Dalam Yesus, kita bukanlah milik dan penghuni di kesementaraan ini. Sebab hidup kita terarah untuk keabadian nan jaya itu.
Ketiga, jalan menuju kejayaan dan kemuliaan abadi, seturut kisah kemuliaan di puncak gunung, adalah kesetiaan mendengarkan sang Anak. Anak, Yesus, itulah yang diperkenankan oleh suara dari dalam awan. Suara, kata-kata, yang terpatri dalam ajaran sang Anak adalah jalan kehidupan menuju kemuliaan jaya.
Adakah suara-suara, kata-kata, yang membelokkan jalan dan semangat hidup dalam sang Anak? Dalam dunia yang makin bising, kita tentu berhadapan dengan varian suara, kata-kata, yang mendesak kita demi sebuah keputusan serta tindakan yang mesti diambil.
Maka, kita ditarik kembali untuk membuka hati dan seluruh diri kita demi “mendengarkan suara Anak yang diperkenankan itu”. Suara sang Anak itu selalu mengutuhkan, meneguhkan, penuh kepastian, membebaskan, dan kata-kata sang Anak itu sungguh merangkul dan memberi kesejukan.
Keempat, kemuridan dalam Yesus adalah kemuridan dalam derita dan salib. Kita tak pernah bisa terhindar dari jalan pengorbanan dan jalan pemberian diri. Yang dibicarakan Musa dan Elia dalam kisah kemuliaan puncak gunung adalah tujuan kepergian Yesus ke Yerusalem.
Yerusalem adalah kisah pembuktian kasih keselamatan dalam Yesus melalui penderitaan dan wafatNya di salib. Cita-cita dan tujuan kemuliaan hanya tercapai melalui penderitaan dan salib. Petrus, Yakobus dan Yohanes, para lainnya, hingga kita sekarang ini tetap dipenuhi harapan menuju kisah kemuliaan yesus dalam keabadianNya.
Namun kita tak pernah boleh menyangkal bahwa “wajah yang mulia jaya itu pun adalah wajah tak indah oleh derita mengerikan; bahwa tubuh yang diselimuti pakaian putih berkilau-kilauan adalah tubuh yang ditanggalkan pakaianNya dan telah dirampas serta diundi”. Kita tetap ikuti Yesus yang menderita untuk menuju dan tiba pada kemuliaan jaya.
Akhirnya…
Kemesraan bersama Yesus tak akan pernah pudar dan hilang. Kita tak mesti berpaling dari Yesus, Tuhan dan Guru kita. Dialah jalan dan kebenaran dan hidup (cf Yoh 14:6) yang menuntun kita kepada keselamatan. Yang membawa kita kepada kemenangan jaya.
Tak pernah boleh ada kata menyerah demi mengikuti Yesus. Ingatlah akan pewartaan penuh makna dari St Paulus, “Sebab aku yakin bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang bakal dinyatakan kepada kita” (Rom 8:18).
Kita tak pernah serta merta dapatkan anugerah kemuliaan dan rahmat keselamatan tanpa perjuangan. Dan di situlah kemesraan kita bersama Tuhan tak akan berada berlalu dan berakhir. Sebab Dia akan bertahan dalam keabadian.
Dalam Yesus selalu ada kebahagiaan. Tetapi, janganlah kita lewati begitu saja!
Bukankah demikian?
Verbo Dei Amorem Spiranti
Tuhan memberkati