Jelang Natal, sikap tobat kita adalah menggusur bongkahan-bongkahan ketamakan dan keserakahan yang bercokol dalam hati. Jelang Natal kita mesti belajar untuk ‘ringan memberi tangan kepada sesama’.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Saat Hari Natal jelang mendekat
Natal makin mendekat. Natal itu punya suasana khusus. Tentu bagi yang merayakannya. Ia mesti diberi citra. Katakan saja ada bobot tampilan yang extra-ordinary. Tentu marwah kultis-liturgis mesti dijaga. Maksudnya jelas. Agar selebrasi iman berpautan dengan natal tak boleh asal-asalan.
Di basis umat Allah, katakan di level paroki, dibentuk panitia khusus. Ada kumpulan orang yang jadi penggerak (utama) suasana natal. Tentu sesuai tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Punya maksud tertentu. Praktisnya begini, agar kandang natal itu nantinya punya gaya artistik nan unik. Koor mesti disiapkan ‘yang OK punya’. Pasti butuh korban waktu dan tenaga untuk ‘latihan nyanyi’. Dirigen yang punya gaya sedikit ‘lenting-lenting dan ombeng-ombeng’ dan pengiring (organis) yang bertindak tentu bukan dari level abal-abal.
Di atas segalanya, persiapan liturgi Natal itulah yang terutama. Ajuda, pelantun maklumat natal, lektor serta pembawa mazmur tanggapan tentu terseleksi serius. Dan pasti serius pula untuk mempersiapkannya. Tapi, di tahun-tahun belakangan ini, soal keamanan jadi atensi yang tak maen-maen. Agar sebelum dan selama perayaan, suasana aman dipastikan terkendali.
Apa artinya sudah lewati segala persiapan, andaikan nantinya suasana jadi kocar-kacir oleh peristiwa teror? Ini belum lagi bila harus bicara tentang cuaca atau kondisi alam yang tiba-tiba saja bisa sergap beringas. Sebab umat Allah mau rayakan Natal dengan damai penuh keteduhan. Tak boleh ada gangguan sekecil apa pun.
Tanpa disadari, sebenarnya ini terdapat pergeseran suasana batin persiapan jelang Natal. Ancaman kehilangan keceriaan, kepolosan, serta lenyapnya hati berbunga-bunga jelang Natal jadi tak terelakan. Ia jadi susut tersedot oleh karena sering bicara serius soal keamanan dan kenyamanan. Belum lagi saat ancaman gempuran Covid-19 kembali dialarmkan. Dan itu mesti jadi perhatian bersama.
Aman suasana dan aman batin
Alih fokus pada rasa dan suasana nyaman seputar perayaan bisa mengikis atensi seharusnya pada makna Natal. Selalu ditiupkan harapan, “semoga Natal tahun ini aman”. Artinya jelas. Semoga tak ada oknum-oknum penebar ancaman dan gangguan yang bakal kacaukan suasana.
Bukannya faktor keamanan tak penting! Tak juga berarti bahwa prokes Covid-19 tak berarti. Tetapi, kecemasan (berlebihan) tentu tak boleh lumpuhkan makna damai dan sukacita Natal. Artinya, terang Kasih Allah yang sungguh hadir dalam Sang Putra yang lahir, tak boleh sedikit pun disuramkan oleh keremangan hati penuh cemas. Karenanya, pesan Natal mesti jadi kekuatan paling utama.
Liturgi apa pun dalam gereja adalah perayaan kemenangan. Ya, termasuk memenangkan kita dari rasa takut dan penuh kecemasan. Hati kita tetap tak boleh kendur akan rasa sukacita. Betapa Allah sungguh mengasihi kita. Dan batin itu dipersiapkan dan jiwa raga kita senantiasa ‘direntangkan ke depan’ demi menyambut peristiwa keselamatan nan agung.
Hati tak boleh terperangkap
Tetapi, mari bicara pula tentang persiapan lahiriah jelang natal itu. Di hari Natal nanti siapa pun ingin rasa damai, sejuk di hati, dan bahagia. Sebagai manusia, tentu tak cukup hanya sebatas ‘ikut rekoleksi natal, pengakuan dosa, atau setia dalam novena jelang Natal’.
Amat manusiawi dan wajarlah bila kita sudah berancang-ancang ‘nanti menu khusus apa di hari Natal?’ Belum lagi bila harus pikir-pikir seputar model tampilan. Ya, sedikit modislah. Dari ujung rambut sampai model sepatu di kaki pasti sudah ada di benak. Akan seperti apa? Bukankah para anggota koor malam dan hari natal sudah pada omong-omong ‘model seragam apa kita nanti?’ Suara boleh ‘kalah’ tetapi ‘harus menang di tampilan’ terkadang bisa jadi slogan juga.
Tak bermaksud untuk ‘masuk campur urusan tampilan’ yang sebenarnya privacy sifatnya. Tapi ada baiknya jika dipahami pula dengan apa disebut sebagai adaptasi hedonis. Psikologi praktis rumuskan situasinya demikian: ‘kita dapat membeli barang-barang indah dan mungkin mahal, namun setelah beberapa waktu memilikinya barang tersebut menjadi sesuatu yang biasa saja’ (Kompas Cyber Media).
Kepuasan itu ada titik batasnya. Barang mewah dan mahal itu dirasa membawa kepuasan tersendiri saat telah memperolehnya. Tetapi ia bisa dirasa biasa dan kurang berarti lagi di saat sesudahnya. Padahal, harganya sekian melangit untuk mendapatkannya.
Tetapi makna Natal bukan tertahan pada sekadar ‘rasa puas dan senang’ yang sederhana dan sesaat. Nilai Natal nantinya mesti bergema dalam tatanan psiko-spiritual. Karena Natal adalah perayaan solidaritas Allah terhadap nasib manusia, Allah sungguh jadi manusia, maka kebahagiaan Natal akan terjumpakan dalam tindak solider kita terhadap sesama.
Praktisnya, jangan cari rasa puas ‘hanya tertahan untuk diri sendiri’ karena alam adaptasi hedonis itu. Kebahagiaan akan didapat, dirasakan dan dialami serta bertahan saat kita tahu apa artinya bersolider atau berbagi kasih.
Gema sukacita yang membebaskan
Disinyalir, terdapat tiga hal mendasar yang membuat kita merasa bahagia, yakni dharma, memberi dan bersyukur (Kompas Cyber Media). Dharma merujuk pada tujuan yang dilakukan manusia demi mencapai sesuatu yang mulia (nilai). Yang bernilai itu pasti berguna bagi sesama. Ada sekian banyak sikap, tindakan dan perbuatan demi mengusung martabat dan hak-hak (asasi) manusia.
Tak terlalu menggengam apa yang kita punyai (bila tak terlalu dibutuhkan) sementara yang lain amat membutuhkannya. Etika Natal pasti tidak sejalan dengan tindakan menimbun demi diri sendiri. Jelang Natal, sikap tobat kita adalah menggusur bongkahan-bongkahan ketamakan dan keserakahan yang bercokol dalam hati. Jelang natal kita mesti belajar untuk ‘ringan memberi tangan kepada sesama’.
Sungguh mulialah hari Natal yang nanti dirayakan, jika kita sungguh tahu berbagi dengan yang ada di panti asuhan, dengan kaum serba kekurangan dan tak nyaris tak berpunya, pun dengan yang sakit dan menderita.
Tetapi, tak boleh dilupakan, bahwa tahu bersyukur itu bebaskan manusia dari segala gerutuan, comel-comel atau serba ketidakpuasaan sana-sini. ‘Matahari terbit bilangnya terlalu panas; hujan turun juga terasa gawat’. Sepertinya Sang Pemberi matahari dan hujan selalu di posisi ‘serba salah’. Belajar untuk merasa bersyukur mesti jadi satu panggilan spiritual yang tetap bergema.
Penghampaan diri: tetaplah jalan Tuhan
Akhirnya, Natal yang dipersiapkan ini adalah peristiwa iman yang menyelamatkan. Dharma ilahi itu nyata dalam kedatangan Yesus, Sang Juru Selamat. Yesus yang ilahi itu sungguh memberikan diri-Nya. Dan seturut Rasul Paulus “meskipun berwujud Allah, Dia tidak berpegang teguh pada kemuliaan yang setara dengan Allah” (Flp 2:6).
Kenosis, jalan ‘penghampaan diri’ dan menjadi manusia itulah jalan pemberian diri Allah teramat mulia. Pemberian diri Yesus itu sungguh nyata dan sehabis-habisnya. Ia “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8).
Maka, di jelang Natal ini, jauhkanlah segala sesuatu yang mencemaskan. Kebahagiaan harus tetap menjadi milik setiap orang yang diilhami oleh sukacita Natal. Dan tak boleh ada hal apa pun yang menghalangi kita untuk bergembira.
Verbo Dei Amorem Spiranti
(dp)