Di balik layar ponsel dan laptop, mereka menyerang para calon bupati dan wali kota yang tidak mereka dukung. Satu-satunya penyakit yang mereka idap adalah “penyakit menyerang.”
Oleh Pius Rengka
Ini bukan tentang kisah di Thessaloniki, Yunani. Bukan pula tentang sebuah kota di utara yang pada Kamis (17/10/2024) dihiasi insiden ganjil.
Seorang pria dari Sindos, hanya 15 kilometer dari Thessaloniki, memiliki kebiasaan yang aneh, bahkan asing. Ia menyusup masuk ke rumah tetangga, bukan untuk mencuri, bukan pula untuk merusak, tetapi sekadar mencium sepatu.
Mungkin bagi sebagian orang, ini hanyalah hal kecil, tetapi bagi sang tetangga, bau sepatu yang tercium itu adalah alarm. Pria itu diduga mengidap gangguan jiwa. Tak ada kekerasan, tak ada kebrutalan, namun aksi itu mengganggu, menakutkan, mengusik kenyamanan rumah tangga. Ia akhirnya harus menjalani terapi sebelum dihukum penjara selama sebulan.
Namun, kisah serupa sering kali kita temui di sekitar kita. Tak di Thessaloniki, tapi di ruang-ruang politik, khususnya menjelang Pilkada. Ada yang tak kasat mata namun terasa, seperti aroma sepatu yang mencuat dari sudut rumah. Mereka tidak mencium sepatu, tapi mencium kebencian, mengendus segala cela untuk menebar fitnah dan hujatan di dunia maya. Di balik layar ponsel dan laptop, mereka menyerang para calon bupati dan wali kota yang tidak mereka dukung. Satu-satunya penyakit yang mereka idap adalah “penyakit menyerang.”
Di setiap sudut media sosial, mereka muncul, melompat-lompat seperti kesetanan, berteriak tanpa alasan jelas, mengibarkan slogan dan tagline yang kosong dari makna. Mereka adalah prajurit yang tak bertopeng, tapi tanpa nalar, memuja tanpa ampun sosok yang mereka bela, seperti melambungkan pujian hingga menyentuh langit. Tanpa rasa malu, tanpa sisa adab, puja-puji itu terlontar, menggema, meski yang dipuja itu penuh noda, penuh kebohongan di masa lalu.
Namun yang dihujat, justru menyimpan keunggulan manusiawi—jujur, pekerja keras. Kata jujur adalah kunci yang merangkai peradaban, kata yang hilang dari kamus mereka yang sakit. Di tengah kebisingan ini, yang dicari rakyat sebenarnya sederhana: apa masalah pokok di kabupaten atau kota, dan apa rencana untuk mengatasinya. Singkat, jelas, padat, tapi dalam. Tapi suara orang-orang “sakit” ini, meledak seperti banjir sampah di kota-kota, bau amis dari sisa-sisa mayat ikan dan ayam yang dibuang sembarangan.
Mereka melambungkan narasi tanpa etika, tanpa moral, bagai pemuda tampan yang tetap saja hanyalah boneka suruhan. Akal sehat tak dibutuhkan, hanya teriakan dan stamina untuk terus mengoceh, sambil memanggul penyakit yang kian parah.
Musim sakit ini semoga cepat berlalu. Selamat datang, November 2024.