Perguruan tinggi yang dapat menghasilkan keluaran bermutu adalah juga perguruan tinggi yang dikelola secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern.
Oleh Umbu Tagela, Pengajar FKIP UKSW Salatiga
Tradisi dunia perguruan tinggi, dasar-dasarnya telah diletakkan oleh orang-orang Yunani Kuno dan diwarisi oleh dunia barat yang kemudian dikembangkan menjadi universitas. Bagi bangsa Indonesia, kehadiran perguruan tinggi baru dikenal di awal abad ke 20 dengan adanya Rechts Hoge School, Genecskunn Hoge School dan Technische Hoge Shool di Jakarta dan di Bandung (Wibisono, 1990:2).
Arti perguruan tinggi dalam fungsi yang sebenarnya baru mulai dicoba sekitar tahun 1960-an pada saat diperkenalkan doktrin Tridarma Perguruan Tinggi, yakni: pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Seiring dengan perjalanan waktu, perguruan tinggi mengalami transformasi seperti dilukiskan oleh Keer (1982:3) bahwa perguruan tinggi pada mulanya merupakan ”a community of master and students“. Kegiatannya dititikberatkan pada pengajaran filsafat moral dan humanisme. Model Yunani Kuno ini menurut Diskey (1987:421) merupakan warisan dari “The Academi of Plato and The Lyceum of Aritoteles”.
Perkembangan selanjutnya oleh Keer (1982:4) dinamakan “modern university” menggunakan model risetnya Abraham Flexner. Bentuk Universitas modern ini mengganti filsafat dengan ilmu, pengajaran dengan riset, generalis dengan spesialis.
Menurut Flexner (Sonhadji, 1990:2) perguruan tinggi adalah “suatu institusi yang secara sadar mengabdi pada pengembangan pengetahuan, pemecahan masalah, aplikasi kritis terhadap prestasi dan pelatihan pada tingkat yang benar-benar tinggi”. Perkembangan ini banyak dipengaruhi oleh perguruan tinggi model Jerman yang berorientasi pada penciptaan pengetahuan baru dan pengembangan mahasiswa untuk lebih mampu menciptakan pengetahuan dari pada ide klasik. Begitu pula ide Jerman “Lehrnfreiheit und Lernfreiheit” (kebebasan dalam mengajar dan kebebasan dalam belajar) mendorong tumbuhnya riset yang kreatif dan bermanfaat.
Dalam perkembangan selanjutnya, perguruan tinggi menjadi multiversitas (suatu institusi yang berisi berbagai masyarakat dan kegiatan). Institusi ini terdiri dari masyarakat mahasiswa, masyarakat humanis, masyarakat ilmuan, masyarakat profesional, masyarakat personal nonakademik dan masyarakat administrator.
Berbagai kegiatan seperti pengajaran, mengerjakan pengetahuan, meningkatkan metode riset yang canggih, memperluas kesadaran intelektual hingga pengabdian pada masyarakat. Perkembangan ini dipacu oleh elective system seperti dirintis oleh Harvard College pada abad ke 19, yaitu semua disiplin diperlakukan sama dalam pengembangannya dan mahasiswa bebas memilih bidang studi yang diminatinya. Begitu pula jiwa dari Land Grant Colleges di Amerika membawa perguruan tinggi lebih memperhatikan program-program pengabdian pada masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ke 20 kiblat dan kiprah perguruan tinggi lebih diarahkan pada pengembangan riset atau penelitian. Berbagai hasil penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mulai diperkenalkan dan disosialisasikan keberbagai penjuru dunia lewat berbagai media hasil produk teknologi. Dalam kerampatan makna yang demikian itulah, abad ke 20 di tandai sebagai era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perguruan tinggi di Indonesia
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia Pasal 16 mengemukakan bahwa ”hakikat perguruan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian”.
Hal senada dikemukakan oleh Barnet (1998:4) bahwa hakikat perguruan tinggi adalah: pertama, perguruan tinggi sebagai penghasil tenaga kerja yang bermutu (qualified man power), kedua perguruan tinggi sebagai lembaga pelatihan bagi karier peneliti, ketiga perguruan tinggi sebagai organisasi pengelola pendidikan yang efisien, dan keempat perguruan tinggi sebagai indikator sukses kelembagaan, yang kesuksesannya terletak pada cepatnya upaya memperluas dan mempertinggi pengkayaan kehidupan, pertumbuhan jumlah mahasiswa dan variasi jenis program yang ditawarkan.
Makna substansial yang terkandung dalam konsep tersebut di atas mengindikasikan peran yang dimainkan oleh perguruan tinggi baik sebagai institusi penyedia pendidikan tinggi bagi lulusan sekolah menengah maupun sebagai institusi penghasil sumber daya manusia berkualitas. Makna tersebut inheren pada kiprah serta kiblat suatu perguruan tinggi yang ditajam oleh visi dan misi yang biasanya tertera pada statuta suatu perguruan tinggi.
Dalam tautan yang sama, Perkins (1966:5) mengemukakan tiga misi pokok perguruan tinggi, yakni: “acquisition, transmition and application”. Pandangan tersebut memaparkan bahwa pengetahuan diperoleh melalui proses penelitian, dan pengetahuan yang diperoleh tersebut harus dialihkan dari generasi yang satu kegenerasi berikutnya. Selanjutnya pengetahuan yang diperoleh dan dialihkan ini harus dapat diaplikasikan agar tidak steril dan lembam.
Dalam konteks pemahaman yang demikian, perguruan tinggi diharapkan memainkan peranannya secara elegan agar makna esensial dari keberadaannya tidak mengalami distorsi.
Sehubungan dengan hal tersebut Rifai (1986:199) mengemukakan enam peranan perguruan tinggi dalam pembangunan nasional Indonesia, yakni: 1) Perguruan tinggi adalah pusat kreatif yang mengantisipasi masa depan dengan sense of purpose, sense of mission dan sense of commitment serta yang menyumbang kepada kemajuan intelektual dan sosial. 2) Perguruan tinggi bukanlah pembela ide-ide usang, pusat komformitas intelektual atau sekelompok gedung tanpa jiwa. 3) Pembangunan adalah pertumbuhan disertai perubahan yang mencakup segi-segi sosial, kultural dan ekonomi dan yang meliputi aspek-aspek kuantitatif dan kualitatif. 4) Proses modernisasi mensyaratkan perubahan-perubahan sosial dan psikologis dengan beberapa perangkat nilai yang lebih sesuai dengan keadaan politik, ekonomi dan struktur sosial yang baru. 5) Perguruan tinggi hendaknya mampu menghasilkan perancang perubahan (change designer) yang berjiwa entrepreneur dan inovator. 6) Dalam proses modernisasi menuju masyarakat teknologis, perguruan tinggi tidak memainkan peranan pasif.
Merujuk pada paparan historis, analisis keberadaan serta landasan yuridis dari kehadiran perguruan tinggi dapat disimak dan dikenali status perguruan tinggi sebagai suatu lembaga elitis yang syarat dengan berbagai kewajiban hasil akumulasi kepentingan berbagai pihak. Karena sifatnya yang elitis itu, perguruan tinggi menjadikan dirinya sebagai simbol pemaknaan sosiokultural pada aras penikmatan merengkuh kesempatan dalam tatanan kehidupan manusia dengan nuansa dan kiblat berpikir yang humanis.
Oleh karena itu perguruan tinggi tidak dapat melepaskan dirinya dari beban substansial dari keberadaanya. Zaman boleh berubah, ekskalasi kepentingan serta orientasi kehidupan boleh berubah, tetapi perguruan tinggi tetap mengakrabi dimensi sosial yang merupakan karakteristik dasarnya.
Para pakar pendidikan, pemerhati pendidikan dan bahkan para penyelenggara dan pelaksana pendidikan tinggi mendaku (klaim) hal yang sama. Penulis berpendapat bahwa kondisi objektif ini merupakan hasil artikulasi yang ambigius bahkan mungkin semu terhadap pemaknaan perguruan tinggi sebagai suatu organisasi. Tidak dapat disangkal bahwa perguruan tinggi merupakan suatu organisasi yang kiprah dan kiblatnya diatur oleh manajemen pendidikan tinggi. Unsur penting dalam manajemen adalah manusia, alat/mesin, uang, materi dan pasar. Dapat dibayangkan betapa sulit dan alotnya suatu organisasi jika unsur-unsur dimaksud tidak dikelola secara profesional.
Keberadaan perguruan tinggi sebagai lembaga sosial merupakan fakta yang mesti disyukuri tetapi sekaligus dengan itu, perguruan tinggi mesti dipahami sebagai organisasi yang harus dimanage secara profesional agar tidak terjadi rumpang (gap) kepentingan yang dapat menjebak para penyelenggara dan pelaksana pada kegalatan dalam mengambil kebijakan.
Sebagai misal (kasus pada perguruan tinggi swasta), pengurus yayasan perguruan tinggi menetapkan kebijakan pengelolaan perguruan tinggi sebagai lembaga sosial dengan menyandarkan diri pada bantuan dari donatur dan lembaga sosial, lembaga keagamaan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sementara usaha ke arah itu kurang dilakukan secara optimal atau sebaliknya pihak donatur, lembaga sosial dan lembaga keagamaan tidak lagi memiliki dana cukup untuk menbagikan bantuannya.
Pada pilahan lain, ada juga pengurus yayasan perguruan tinggi yang kreatif dan secara serius menggalang dana dengan cara “berbisnis”. Apapun upaya pengurus yayasan untuk menggalang dana termasuk berbisnis, menurut penulis sah-sah saja. Fenomena empirik tersebut di atas, menjadi rancu manakala semua fasilitas milik yayasan yang awalnya dirancang untuk menopang kinerja institusi mulai dibisniskan secara internal kepada konsumen domestik yaitu dosen dan karyawan.
Pada sisi lain pimpinan perguruan tinggi ingin lebih realistik dan makul (rational) mengelola perguruan tinggi berdasarkan investasi yang dimiliki dan jumlah mahasiswa, sehingga kadang-kadang terkesan bernuansa sangat ekonomis dan diskriminatif terhadap unit-unit yang secara sentrifugal membangun keberadaan perguruan tinggi tersebut. Bahkan dalam hal-hal tertentu unit-unit tersebut diperlakukan sebagai unit produksi yang kemasan dan kemampuan hasilannya ditentukan oleh pasar. Tidak jarang unit-unit yang kurang produktif dan tidak memiliki segmen pasar yang prospektif, menjalani kehidupannya dengan perasaan khawatir lantaran “diancam” moratorium atau dibubarkan.
Makna visi dan misi perguruan tinggi
Perbincangan tentang visi dan misi perguruan tinggi tidak sepopuler atau segencar dibanding akreditasi, tridarma atau otonomi yang akhir-akhir ini banyak menyita perhatian kalangan perguruan tinggi. Bahkan beberapa orang pimpinan perguruan tinggi mengaku tahu tentang makna visi dan misi tetapi tidak sempat memberi perhatian secara khusus karena harus mencurahkan semua dana dan daya untuk meningkatkan tridarma (Haryono Semangun, 1996:5).
Pada galibnya visi dimaknai sebagai fungsi dan misi dimaknai sebagai tujuan. Dalam lokakarya yang dilakukan LP3-UGM tanggal 2-3 September 1996 disepakati pemaknaan visi dan misi sebagai penciri perguruan tinggi (Haryono Semangun, 1996:4). Dalam konteks berpikir yang demikian visi dan misi ditempatkan sebagai pemandu aktivitas perguruan tinggi yang kelak diharapkan dapat mewarnai sepak terjang para lulusan perguruan tinggi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah kurang terartikulasikannya secara tepat visi dan misi dalam setiap aktivitas perguruan tinggi, sehingga menyebabkan kekaburan makna secara substansial tentang ke-mengapa- an suatu perguruan tinggi. Kondisi objektif ini semakin galat bahkan mungkin rancu lantaran alat ukur yang digunakan untuk menakar, tidak cocok dengan kandungan nilai yang terdapat dalam visi dan misi.
Tolok ukur yang ditakar selama ini dipumpunkan pada indikator empirik yang melekat pada aspek keragaan suatu komponen yang dapat dikuantifikasi. Demikian pun badan akreditasi perguruan tinggi, dalam penilaiannya memunpun pada dimensi mutu, kepenadahan dan kesangkilan dari komponen masukan, proses dan keluaran yang dikuantifikasi dalam bentuk angka persentase.
Penulis berpendapat pada pilahan inilah terletak akar persoalan yang mendera kehidupan perguruan tinggi selama ini. Para penyelenggara dan pelaksana menggunakan standar ganda dalam menakar berbagai keberhasilan yang dicapai. Pada satu sisi digunakan tolok ukur yang berdimensi kuantitatif sesuai tuntutan penguasa, dan pada sisi yang lain digunakan tolok ukur berdimensi kualitatif, yang pedoman serta operasionalisasinya didasarkan pada keyakinan yang bersifat normatif dan sangat subjektif karena tidak diformulasikan. Pada sudut pandang yang demikian terjadi tarik menarik kepentingan antara penguasa dengan para pelaksana atau penyelenggara perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi swasta.
Dalam keadaan yang demikian, para penyelenggara dan pelaksana perguruan tinggi swasta akan berlindung pada kebijakan penguasa manakala dituntut pertanggungjawabannya atas visi dan misi lembaga yang dipimpinnya.
Kecenderungan menerjemahkan perguruan tinggi sebagai lembaga sosial, yang karenanya dianggap lebih membutuhkan visi dan misi perlu dikaji ulang untuk memperoleh hubungan komplementer dengan tuntutan pemerintah. Sebaliknya kecenderungan menerjemahkan perguruan tinggi sebagai lembaga ekonomi perlu disikapi secara makul (rational), realistik dan hati-hati, agar kedua sisi tersebut tidak berbenturan pada titik singgung yang bersifat double. Sebab kalau hal itu sampai terjadi, bukan tidak mungkin kita terjebak pada tataran sikap dan perbuatan yang kamuflatif, ibarat menebar angin dan menuai badai.
Oleh karena itu, penempatan visi dan misi bagi suatu lembaga, tidak perlu secara determinan membuat pembedaan antara lembaga nirlaba dan lembaga profit, karena hanya akan mengorbankan keberadaan perguruan tinggi pada era global saat ini.
Investasi SDM melalui pendidikan
Konsep tentang human capital yang dapat menopang kemampuhasilan nasional, telah dikenal sejak zaman Adam Smith dan para teoritisi klasik lainnya sebelum abad ke 19, yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia. Pada tahun 1960-an, Theodora Schultz (1961), Denison (1962) memperlihatkan bahwa pendidikan memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Temuan ini telah merangsang timbulnya sejumlah penelitian di bidang ekonomi pendidikan.
Pidato Schultz pada tahun 1960 yang berjudul ”Investment in Human Capital” dihadapan The American Economic Assosiation merupakan peletak dasar teori human capital. Pesan pidato tersebut adalah “proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan bentuk konsumsi semata, akan tetapi merupakan suatu investasi (Wardiman dan Suryadi, 1995:69).
Alasan utama dari perubahan pandangan ini ialah adanya perubahan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1966, Bauman mengenalkan suatu konsepsi “revolusi investasi manusia”. Di dalam pemikiran ekonomi, pada awalnya manusia dianggap sebagai cost of production approach, menyebabkan para ekonom tidak merasa berkepentingan untuk membahas apa yang terjadi dalam proses pendidikan. Namun pada akhirnya pandangan ini mengalami perubahan. Artinya manusia tidak lagi sekadar dianggap sebagai cost of production tetapi sebagai sumber inspirasi yang mampu melipatgandakan produksi di luar perhitungan biaya produksi.
Melalui investasi diri sendiri seseorang dapat memperluas kementakan (alternative) untuk memilih profesi, meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Human capital ini dapat dikembangkan melalui berbagai investasi di antaranya pendidikan formal, nonformal, pengalaman kerja, kesehatan dan gaji.
Teori human capital ini menekankan sisi teknologis dari pendidikan di mana aspek mengenai proses pendidikan perlu dikaji. Teori human capital ditentang oleh para pemikir neo marxism seperti Berg, Bowles, Gintis dan Cain yang terkenal dengan teori credentialism atau screening hypothesis dan teori dual labor market hypothesis. Teori credentialism kurang memberi perhatian pada proses pendidikan, yang dipentingkan adalah bagaimana pendidikan sebagai public goods dialokasikan kepada setiap kelompok masyarakat secara adil dan merata, sehingga pendapatan dapat secara adil di distribusikan pada masyarakat.
Sedangkan teori dual labor market hypothesis merupakan sintesa dari sisi teknologis dan sisi politis yang mengungkap bahwa screening memang terjadi dan proses pendidikan adalah alatnya untuk menyeleksi orang-orang yang digolongkan produktif, sehingga terjadi suatu perpindahan status (status mobility) dari kelompok populis ke kelompok elitis.
Para peneliti seperti Denison (1962), Krueger (1968), Becker (1968) ikut melakukan pengujian terhadap teori human capital. Temuan yang dihasilkan mempengaruhi pola pikir pemerintah dan para pendidik dalam merencanakan dan mengembangkan sumber daya manusia.
Ekonomi pendidikan merupakan bagian dari teori ekonomi. Sebagai landasan pijak awal Cohn (Wardiman dan Suryadi, 1995:70) mengemukakan takrif ekonomi pendidikan sebagai berikut: studi tentang bagaimana manusia baik secara perorangan maupun di dalam kelompok masyarakat membuat keputusan dalam mendayagunakan sumber-sumber daya yang terbatas agar dapat menghasilkan berbagai bentuk latihan, pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, buah pikiran sikap dan nilai khususnya melalui pendidikan formal. Dalam perkembangan pada akhirnya mengerucut pada kerangka pikir tentang education as an industry yang meliputi input, output, proses dan outcome pendidikan. Ilmu ekonomi pendidikan tumbuh dan dibesarkan oleh perspektif human capital. Oleh perspektif ini selain menganggap penting kaitan antara pendidikan dan pasar, juga sisi teknologis dari pendidikan yang berlangsung dalam proses pendidikan perlu dikaji. Berdasarkan sudut pandang yang demikian muncullah alat analisis internal efisiensi seperti digunakan saat ini dalam lembaga pendidikan tinggi.
Paparan yang syarat dengan muatan historis di atas menggambarkan besarnya minat para ekonom terhadap pendidikan. Dalam tautan demikian tersirat makna substansial yang menggambarkan perlunya lembaga pendidikan dikelola secara profesional (termasuk aspek ekonomi), karena outputnya menjadi modal untuk pembangunan.
Lembaga pendidikan tinggi sebagai penghasil sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan untuk melipatgandakan kemampuhasilan (produktivitas) dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional pada dirinya, perlu melakukan reformasi secara menyeluruh. Perguruan tinggi yang dapat menghasilkan keluaran bermutu adalah juga perguruan tinggi yang dikelola secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern.
Deming (Ihalauw, 1998:13) mengatakan 94 persen masalah kualitas disebabkan oleh manajemen. Pendapat di atas mengindikasikan bahwa perguruan tinggi mesti dikelola secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern. Hal itu dapat berarti bahwa penggunaan prinsip-prinsip ekonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi adalah merupakan hal yang wajar, asal tidak menggerogoti idealisme berdirinya suatu perguruan tinggi.
Perguruan tinggi sebagai lembaga ekonomi
Seiring dengan berjalannya waktu, pandangan terhadap lembaga pendidikan tinggi yang semata-mata sebagai lembaga sosial penyedia peluang pendidikan tinggi bagi masyarakat mulai mengalami pergeseran makna secara substansial terutama bagi perguruan tinggi swasta.
Penyebab pergeseran itu disebabkan oleh beberapa hal antara lain: pertama, maraknya perguruan tinggi swasta yang tumbuh bagai jamur di musim hujan, di samping makin besarnya volume kebutuhan dakhil, menyebabkan makin menurunnya kekuatan sumber dana seperti lembaga keagamaan dan filantropis domestik dan internasional, yang selama ini menjadi tulang punggung atau penyandang dana operasional. Kedua, perkembangan ekonomi domestik dan global meningkatkan tuntutannya pada penyelenggaraan pendidikan tinggi yang selama ini berkutat hanya pada aras kompetensi yang semakin tinggi dan profesional, untuk memberi perhatian pada mobilitas pengetahuan dan keterampilan yang semakin deras melewati batas-batas negara, bahkan menjurus ke arah maya (virtual). Ketiga, meningkatnya tuntutan kebutuhan dalam bidang pendidikan tinggi; di mana tuntutan itu hanya bisa diperoleh dengan uang, menyebabkan pihak pengelola pendidikan tinggi mesti memperhitungkan secara cermat aspek penerimaan dan pengeluaran.
Fenomena empirik di atas, makin menguatkan cara pandang terhadap lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga yang semakin bersifat ekonomi.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas John Ihalauw (1998:3) mengatakan lembaga pendidikan tinggi merupakan “service indusrty atau “knowledge industry”. Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah lembaga pendidikan tinggi harus bersaing berdasarkan nilai tambah yakni kualitas.
De facto, fenomena-fenomena tersebut di atas telah menghablur dalam upaya lembaga pendidikan tinggi meningkatkan kinerjanya. Tetapi de jure belum ada pengakuan eksplisit terhadap lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga ekonomi. Pada hal fakta menunjukkan lembaga pendidikan tinggi sebagai kowledge idustry telah berlangsung lama, seperti kewajiban membayar pajak badan, pajak penghasilan, keikutsertaan dalam jamsostek/BPJS, membayar pajak sebesar US$ 100 bagi setiap dosen asing yang dipekerjakan, penetapan standar akreditasi profesi.
Hal yang pasti adalah bahwa pemerintah dalam berbagai kebijakannya langsung atau tidak telah memeterai lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga ekonomi. Salah satu kebijakan pemerintah yang mengarah kepada pemaknaan lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga ekonomi adalah kebijakan otonomi perguruan tinggi. Bagi perguruan tinggi swasta kebijakan ini telah dilaksanakan sejak berdirinya perguruan tinggi swasta tersebut, tetapi bagi perguruan tinggi negeri kebijakan ini merupakan hal baru.
Persoalan yang kemudian muncul secara simultan adalah para penyelenggara dan pelaksana lembaga pendidikan tinggi terutama yang berlabel swasta kurang memiliki keberanian moral untuk memanage lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga ekonomi, walaupun kenyataannya menjurus ke arah itu.
Penulis menduga salah satu faktor penyebab adalah para penyelenggara (pembina/pengurus yayasan) dan pelaksana (pimpinan perguruan tinggi swasta) tidak mau terjebak pada dimensi kemampulabaan (profitable) sebagai salah satu karakteristik utama lembaga ekonomi. Pada sisi inilah penulis mengatakan pada bagian awal tulisan ini bahwa penyelenggara dan pelaksana menerapkan pola manajemen yang berdimensi ganda yang selalu mengundang reaksi dan kritikan terutama dari kalangan dakhil.
Mestinya para penyelenggara dan pelaksana menyusun formulasi baru yang lebih akomodatif terhadap konsep lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga sosial dan lembaga pendidikan tinggi sebagai knowledge industry, sehingga semua pihak yang terlibat dan melibatkan diri di dalamnya dapat segera menyesuaikan diri.
Pandangan yang dikemukakan John Ihalauw menurut penulis merupakan pandangan yang realistik, tanpa bermaksud mencederai kandungan nilai yang telah menghablur pada keberadaan perguruan tinggi sebagai lembaga sosial. Dalam kerampatan makna seperti itulah, Ihalauw (1998:11) mengatakan perguruan tinggi pada dirinya sendiri adalah suatu integrated service system.
Pandangan ini mendeskripsikan bahwa integrated service system berintikan program studi, karena program studilah yang diakreditasi pada dimensi mutu, kepenadan, kesangkilan/kemangkusan meliputi komponen masukan, proses, keluaran dan indikator pasar pasokan yaitu mahasiswa baru yang sangat berpengaruh terhadap posisi keuangan perguruan tinggi secara keseluruhan. Karena itu semua unsur dalam lembaga pendidikan tinggi mesti proaktif untuk dapat meluncurkan kepada customer utama layanan yang berkualitas dan senantiasa meningkat dari waktu ke waktu.
Proses pembangunan pendidikan tinggi membawa perubahan-perubahan dengan berbagai dimensi permasalahan, peluang dan ancaman. Karena itu, perubahan bukan untuk perubahan itu sendiri, sebab dapat membawa malapetaka atau menjebak manusia pada suatu kehidupan materialistik. Pada sisi inilah dibutuhkan visi dan misi sebagai pemandu aktivitas civitas academica. Di samping dasar atau landasan pijak berdirinya suatu perguruan tinggi.
Penerapan prinsip-prinsip ekonomi dalam pengelolaan suatu perguruan tinggi saat ini adalah merupakan suatu keharusan dan merupakan hal yang wajar. Tetapi keharusan dan kewajaran dimaksud mesti diletakkan pada bingkai atau roh berdirinya perguruan tinggi tersebut.
Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali arti penting dari “integrity of creation” yang bernuansa keadilan, perdamaian dan kebersamaan baik pada tataran dakhil maupun eksternal, agar sistem yang dibangun tidak mengalami entropi. Mungkin, merupakan pekerjaan rumah kita bersama untuk memikirkan secara serius tentang konsep pendidikan tinggi yang dapat mengakomodasi aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek agama (khusus untuk perguruan tinggi yang berafiliasi keagamaan) dalam bingkai idealisme.
Untuk mengakhiri tulisan ini penulis mengutip pendapat Hilel, seorang Filsuf Yahudi, “If i am not for my self, who will be for me? If i am only for my self, then what am i for? (Kalau aku bukan untuk diriku, lalu untuk siapa aku ini? Kalau aku hanya untuk diriku lalu untuk apa aku ini?).