“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak pernah bertanya: Apa agamamu” – (Gus Dur, 1940 – 2009, Presiden ke IV RI).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Saat hati terjebak wasangka
Memang semula rasa hati ini sedikit was-was. Bahkan bercampur curiga pula. Di hari Idul Fitri ini layak kah ucapan selamat ini ditujukan pada saudara-saudari sebangsa dan setanah air kaum muslim yang merayakannya? Sepertinya aura spontan itu sedikit terbendung. Maklum. Ada tafsiran macam-macam berkecamuk di kepala. Pun terlebih di dada. Wah, jangan-jangan bisa salah dimengerti.
Pada akhir-akhir ini, memang perayaan Natal sudah ditafsir macam-macam. Dan bahkan sungguh menusuk pula. Muncul lagi ajakan ustad-ustad tertentu untuk tak ucapkan selamat Hari Raya Natal. Haram hukumnya untuk ucapkan selamat ‘Hari Kelahiran Putera Tunggal Allah’ kepada siapa pun yang merayakannya.
Ada tafsir seadanya dan sederhana saja. Jika saudara-saudari muslim tak hendak ucapkan selamat Hari Raya Natal, maka itu sama artinya mereka tak berkehendak pula untuk menerima ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri dari siapa pun yang tak seiman. Tetapi, sebegitu ‘kasar dan kerasnya’ tafsiran sedemikian itu? Pasti tidak! Indonesia Raya tak terjebak fatal pada kontroversi soal sepelean seperti ini.
Teringatlah akan satu kisah belasan tahun silam. Saat memimpin perayaan ekaristi di satu Sabtu sore di Gereja Katedral Ende, NTT. Ketika hendak masuk saat konsekrasi, tiba-tiba saja sound system menangkap alunan suara azan magrib. Alunan syahdu itu sungguh memenuhi seluruh isi gereja. Umat pada diam teduh. Saya pun tetap tenang. Cuma Om Domi, koster paroki, yang nampak sedikit ‘huru-hara’ untuk kecilkan volume suara.
Bagaimanapun, di sore itu suara azan magrib -bisa ditafsir bebas saja-, telah jadi ‘tamu istimewa dalam suasana khusyuk perayaan ekaristi di gereja’. Maka, sekiranya tak jadi satu skandal mahaberat untuk ucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri bagi saudara-saudari kaum muslimin-muslimah.
Idul Fitri yang sungguh kembali suci
Sungguh mulia hari kemenangan itu. Idul Fitri adalah citra agung kemanusiaan baru. Citra baru itu bersifat kokoh dan tangguh. Insan beriman yang telah lewati alam lapar dan dahaga serta doa-doa di bulan Ramadhan sungguh tak bisa ditaklukkan oleh imperium hati nan suram. Idul Fitri, sungguh, telah menjadi ungkapan hati nan ceria. Dan di saat itulah damai, sukacita, saling memaafkan dan mengampuni, bersedekah (zakat) serta keterbukaan hati sungguh menjadi tanda dari dinamika ‘kembali suci’.
Hari kemenangan jaya ini telah membuat tak berdaya segala nafsu sesat yang menuntun kepada dendam, amarah, kebencian, irihati, fitnah, kedengkian, serta pelbagai sikap penuh kemaksiatan dan intoleran. Segala hawa nafsu itu telah dilebur dan berujung pada ‘kehancuran serta kekalahan’.
Idul Fitri yang tegaskan hikmah kembali suci (aada-yauudu dan fathoro-yathtiru) tentu menjadi satu peluang baru. Itulah kesempatan untuk melihat alam dalam semangat baru pula dengan ‘mengalahkan diri sendiri’ demi ‘memenangkan dunia dan sesama’. Semuanya demi satu peradaban hidup elegan yang bersendikan spirit amar ma’ruf nahi munkar.
Panggilan kepada alam dan nuansa baru
Sebab itulah hari raya mulia ini adalah sebentuk proklamasi kemerdekaan hati yang luas dan lebar. Sebab dunia dan sesama mesti dirangkul serentak dimenangkan di dalam aura dan aroma hati yang baru, yang suci, yang bersih dari segala dosa, keburukan serta kesalahan.
“Kembali suci” adalah marwah dari akhlak yang lapang dan luas. Demi memandang semesta alam yang kaya, yang majemuk, yang berbeda dengan varian latar belakangnya. Dan di situlah, spirit Idul Fitri sungguh bergelora untuk memupuk semangat persatuan dan kesatuan. Untuk memandang apapun dan siapa pun yang berbeda tetaplah dalam satu mozaik nan indah berseri.
Dengan itu, semerbak Idul Fitri tetap meluas untuk menggapai siapa pun. Demi memberi dan membawa harapan hidup bagi fakir miskin, orang terlantar, kaum tak berpunya, yang tersingkirkan serta yang tak diperhatikan. Tetap menjadi keyakinan bahwa pada hari kemenangan, hari kembali kepada kesucian ini banyak berkah dan pahala berpihak pada kaum beriman yang takwa.
Idul Fitri isyaratkan pula satu momentum perjumpaan penuh rasa kekeluargaan. ‘Tradisi Lebaran – Idul Fitri Indonesia’ tak pernah luput dari arus mudik. Gelora ingin pulang datang merantai hati untuk kembali ke kampung halaman, ke rumah kelahiran, ke alam masa kecil ketika seseorang dibesarkan. Gema Idul Fitri memperjumpakan kembali anggota keluarga dalam sukacita ‘kemenangan bersama’.
Mari mudik hati kepada sesama
Tetapi, bukankah Idul Fitri adalah pula satu jalur ‘mudik hati’ menuju sesama? Iya, terutama sesama yang terluka, tersakiti, serta tersingkirkan oleh segala bawa diri, bawa sikap, bawa tindakan, serta bawa kata yang penuh keseleonya?
Luka-luka menganga telah tercipta. Lebar dan sungguh dalam. Bahaya keretakan tetap mengintip dalam pelbagai kesempatannya. Sungguh dibutuhkan kekuatan diri demi membawa hati baru kepada sesama. Demi tertenunnya kembali wawasan kebangsaan dan berkenegaraan yang amanah.
Idul Fitri adalah aura agung demi singkirkan segala amukan gelora yang tak mengutuhkan, yang memisahkan, serta yang menyingkirkan satu dengan yang lain. Segala yang usang, dalam semangat Idul Fitri, mesti dibuang jauh. Sebab, semuanya mesti kembali bergandengan tangan. Dalam semangat kembali suci bersama.
Akhirnya…
Di titik ini, teringatlah akan kaum keluargaku yang muslim. Para saudara-saudari sepupu, semua ponaan muslimin-muslimah yang sungguh takwa dalam iman. Keyakinan yang berbeda akan Yang Mahapengasih dan penyayang itu tak pernah memisahkan. Tetap ada sapaan penuh ceria dalam semangat kekeluargaan. Agama bukanlah tembok tebal yang memisah. Agama dan keyakinan tetap jadi jembatan ‘segala diri ini’ meniti untuk menggapai langit serentak mengakrabi sesama serta alam semesta.
Di malam takbiran dan di hari Lebaran suasana khas tercipta. Saling berkunjung serta ucapan ‘mohon maaf lahir batin’ adalah tanda kemesraan spiritual yang lalu ditampakkan dalam keseharian. Sungguh! Idul Fitri adalah momentum untuk kembali. Demi sebuah kemenangan harkat dan martabat semesta.
Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk seluruh sahabat, kenalan serta untuk segenap anggota keluargaku yang merayakannya. ‘Kuingin mengulang lagi kenangan masa kecilku. Tak hanya kenangan akan hari Natal yang bahagia itu. Tetapi juga kenangan akan malam takbiran ceria. Malam penuh pesona akan kemenangan serta kembali suci.
Itulah saat ketika Allah mahabesar itu dikumandangkan oleh para saudara-saudariku. Sebab Allah Yang Mahakuasa dan Mahabesar telah memenangkan umat-Nya yang bertakwa.
Verbo Dei Amorem Spiranti