Redaksi – Suasana dan situasi kami di redaksi detakpasifik.com belakangan ini, penuh haru. Kabar Covid-19 meruak cepat di Kota Kupang dan sekitarnya, juga kabar serupa di daerah lain di NTT dan juga di Jawa, membuat kami agak ciut.
Sepertinya, kami sedang menyaksikan semua nyawa yang meregang hidup kembali memberi kabar tentang masa silam hidup mereka. Ketika kami kenang semua mereka yang telah dikenal, sepertinya mereka kembali hidup lagi di tengah kami.
Betapa benar kata filsuf Romawi Kuno, Cicero ketika dikatakannya, orang mati tak akan pernah benar hilang dan lenyap selamanya dari kehidupan kita. Mereka akan tetap “hidup” terutama hidup dalam kenangan atau ingatan orang yang mengenal mereka. Mereka mati, dan pergi, tetapi mereka kembali dan hidup dalam kenangan yang sedang hidup dalam ziarah kehidupan.
Begitulah, ketika kabar bahwa Bupati Lembata, Yance Sunur meninggal dunia di Rumah Sakit Siloam Kupang, menyusul tangan jahanam Covid-19 menggenggam nyawanya begitu kuat, serentak redaksi detakpasifik.com merapatkan barisan membuat narasi.
Ketika sahabat lainnya meninggalkan kita pergi jauh ke tempat sunyi di bumi, tak ada lagi yang sanggup memanggil mereka kembali kemari. Tetapi, satu hal telah kian jelas, bahwa pengalaman hidup manusia tidak pernah dan tidak bakal pernah datang kembali, sebagaimana waktu itu sendiri.
Baca juga: Surat dari Dapur Redaksi
Waktu tak pernah berjalan surut. Seolah-olah semua pengalaman masa kini tenggelam lenyap dalam pengalaman masa silam dari mereka yang dikenang. Waktu terus berlalu dan mengalir pergi ke tempat nan pasti yaitu kematian. Maka, mati itu pasti. Yang belum pasti adalah waktu mati, tempat mati dan cara mati.
Merefleksikan kematian sesungguhnya adalah merefleksikan kehidupan. Semua manusia, juga semua makhluk hidup lain selain manusia, terkesan seperti serombongan besar peziarah di padang gurun kehidupan. Kita mencari dengan kerinduan untuk menemukan oase harapan sambil menemukan dengan kerinduan untuk terus mencari lagi. Perihal terus mencari lagi dan menemukan dengan kerinduan sesungguhnya melanjutkan berziarah sampai ajal itu datang ke haribaan panggung kehidupan.
Tim media online detakpasifik.com merefleksikan itu dalam sebuah diskusi filsafat, teologis dan sosiologis di markas besar detakpasifik.com di bilangan Jalan Antarnusa, Liliba, Oebobo, Kupang, tempat dari mana dan di mana kami selalu berhimpun. Pertemuan, tak hanya diwarnai tawa ria, tetapi juga dihujani kritik internal dan semacam metanoia terkait jurnalisme media online itu sendiri.
Baca juga: Surat dari Dapur Redaksi 2
Misalnya, selalu kepada kami dihujani pertanyaan reflektif, apakah keharusan kritik itu disematkan dengan moralitas kebencian dan kedengkian? Apakah kematian kritik itu justru terjadi ketika jurnalis tak lagi sanggup membaca, mencari dan menemukan solusi perbaikan? Bagaimana teks, kata, diksi dan ilmu makna dipakai dalam membentuk wacana, diskursus dan diskursif?
Pemimpin Redaksi detakpasifik.com, Juan Pesau, dalam perannya selalu mendorong tim untuk selalu tanpa lelah melihat gejala sosial. Sedangkan Redaktur Pelaksana, Irfan Budiman, tak henti-henti memeriksa diksi, ketepatan menulis teks dan melihat konteks dengan jelas agar pembaca dilayani dengan berita yang level presisinya tinggi. Christo, dalam perannya sebagai penjaga desk Polkam, selalu melihat implikasi politik dari setiap tulisan, gambar dan cara detakpasifik.com bernarasi.
Sedangkan Andry, Redaktur Design Grafis, tak bosan menggugat tampilan detakpasifik.com dalam skema kekinian yang lebih menarik, mengajak dan menggugah perhatian khalayak. Yulin Kurnia, Redaktur Ekbis, tak pernah jemu berbicara soal nasib bisnis dan ekonomi di masa Covid. Dan, sebagaimana biasa Chelni, Redaktur Pendidikan, mengganggu dengan kritikan cara berbahasa ala detakpasifik.com.
Begitulah, di tengah badai Covid-19, tim detakpasifik.com selalu bergerak dalam keterbatasan bahkan serba terbatas, dan membatasi diri sebelum membatasi pihak lain.
Selamat membaca dan menelusuri lorong-lorong renung detakpasifik.com.