Dunia: Arena Pertandingan Antar Agama?
Nampaknya kita masih tetap sibuk (disibukkan) dalam ‘tarung antar (pemeluk) agama.’ Beban sejarah semisal Perang Salib di abad-abad lalu itu seolah tetap dikemas dan berlanjut dalam warna kekiniannya. Gagasan penaklukan selalu semburkan di baliknya warna kekerasan dalam cara apa saja. Targetnya adalah sebuah ‘kemenangan.’ Konflik antar manusia atas nama agama telah jadi jalan sejarah. Tak terhapuskan. ‘Gold-Glory-Gospel’’ bukanlah satu jalan senyap penuh damai semata. Karena toh, perjumpaan kelompok Kristen dengan kaum Muslim, kapan dan di mana saja, adalah kewajaran dan keharusan untuk bersitegang.
Sulit untuk mengatakan, yang lalu biarlah berlalu. Syukurlah karena tetap ada usaha untuk mengayak nilai di balik sejarah silam. Tetapi itulah tesis-tesis tempoe doeloe yang dibangun dalam konteksnya. Amatlah riskan bila ‘extra religionem meam nulla salus’ (di luar agama-ku tak ada keselamatan) selalu terlekat dalam dada dan lalu terbias dalam setiap perjumpaan dalam kemajemukan. Karena di situ kesombongan agamis tak terhindarkan.
Dunia tetap dirundung duka bila apa yang disebut bendera identitas (sempit) tetap dipaksa untuk berkibar. Indentifikasi diri atau kelompok dengan prinsip negasi terhadap yang lain dengan standar amat minimalis sudah pasti berbau degradatif dan insultif. Ketahuilah, relasi superior-inferior tetaplah berawal dari sindrom penuh gelisah yang tak pernah nyaman dalam keberagaman.
Dunia tetap digelisahkan oleh situasi khaos antar pemeluk agama. Apalagi bila alur agama dengan lebaran pernak-perniknya itu tidak ‘dipersempit’ dalam konteks ruang, tempat dan waktu. Katakan saja, mestikah yang terjadi di Timur Tengah, atau belahan bumi mana saja semuanya bisa ‘diindonesiakan’ atas nama seagama? Bila agama hadir dalam situasi konkrit, maka ia mesti dipahami dalam situasinya di situ. Ya, di tempat itu.
Apakah kita mesti galakan aksi bela Muslim Rohingya, misalnya, sementara kita sendiri tak tahu pasti seperti apa gejolak politik di Myanmar? Dan apakah orang Katolik di NTT pun mulai ogah-ogahan ke Gereja hari Minggu, hanya karena mendengar bahwa banyak Gereja di Eropa atau bahkan di Basilika St Petrus Vatikan sekalipun yang hadir misa bisa dihitung dengan jari? Agama, berkaitan dengan dogma dan segala pendekatan teologisnya, pastilah berkiblat pada konteks locus theologicusnya yang jelas.
Sayangnya, menjadi ribet saat berpikir sehat dan keteduhan batin sungguh menjadi langka. Dunia tetap saja menjadi gelanggang percabulan antar umat beragama. Perseteruan akal yang seolah-olah sehat tak terhindarkan. Dunia benar-benar jadi arena tanding antar (umat) beragama. Inti ajaran agama lantas dijadikan obyek komedian dan barang jualan rombengan. Ini tentu menyedihkan.
Tetapi, amatlah berbahaya bila di ‘pertandingan’ itu ternyata tak ada wasitnya. Karena itu setiap penganut agama ingin sendiri menjadi wasitnya. Atau pun sebenarnya ada wasit, namun ia tidak memberi hukuman bila terjadi pelenggaran. Dan ngerinya lagi bila wasit berberat sepihak dengan alasan kepentingan. Agama telah disusupi dengan berbagai kepentingan yang justru mencederainya.
“Kebenaran Agama” di Jebakan Kuantitatif
Indahnya bila setiap (institusi) agama berurusan dengan masing-masing pemeluknya. Di area itu ditebalkanlah keyakinan bahwa agama yang dianut adalah bagai gunung mahatinggi yang arahkan mata iman tertuju pada langit terbentang. Dari langit itulah diturunkanlah nikmat keselamatan. Atau bahwa agama yang dianut ibarat air sungai yang mengalir teduh, yang memancarkan kehidupan bagi apapun di sekitar. Dan pada akhirnya semuanya bermuara pada samudra kemanusiaan, kebaikan bersama serta kesejahteraan umum.
Agama memang berkaitan dengan ‘kebenaran.’ Tetapi tetap siratkan pertanyaan: kebenaran atas dasar apa? Dan berlaku untuk siapa? Depositum fidei (perbendaraan iman) kekristenan pasti bukanlah kebenaran yang berlaku bagi agama-agama lain. Demikianpun iman islami dengan segala tradisinya, bukanlah kebenaran bagi yang beragama lain. Ini tak ada hubungan dengan aksi-reaksi kesalingan dalam menistakan atau mendangkalkan kebenaran antar (pemeluk) agama.
Bila ‘Bible itu palsu’ menurut Yahya Waloni, ya itulah opininya. Karena Bible sebagai Firman Tuhan bukanlah kebenaran bagi dirinya sebagai pemeluk Islam. “Di salib ada jin kafir” itulah kajian Abdul Somad. Tetapi bagi yang percaya, salib itulah tanda keselamatan. Atau sehebat-hebatnya seorang Kristen atau Hindu yang telah didaulat sebagai ‘ahli islamologi’ dan fasih berbahasa Arab, tetaplah ia jauh dan tak tergolong dalam tesis dan anamnesis Islam imani sebagai jalan kebenaran. Tetapi benarlah, akan menjadi soal, misalkan, bila diframing bahwa persamaan umat Katolik dan Protestan adalah bahwa kedua-duanya pro-setan. Misteri inkarnasi Allah menjadi manusia dalam kekristenan sulitlah dipahami dalam ajaran atau penganut agama lain. Tetapi bertindak penuh kekerasan melawan martabat manusia amat tidak dibenarkan yang berlaku bagi agama apapun.
Fenomena yang jamak terjadi kini sungguh berpautan dengan perangkap kebenaran mayoritas yang cenderung membajak dan menelan kebenaran ilahi dalam agama. Sederhananya bahwa: tidak karena lebih banyak yang ‘amini’ maka sesuatu itu pasti dan harus benar. Sesuatu memang benar hanya bagi yang menyakininya. Tentu ini tak berarti yang lain itu salah dan apalagi dicap sebagai kafir. Kerepotan semakin beranak-pinak ketika diperdengarkan logika geli yang lucunya sungguh dipaksakan. Misalkan, seseorang dengan begitu mudah dipastikan tidak bakal masuk surga hanya karena ia tergolong minoritas dan juga termasuk kelompok kafir. Ibarat orang yang merasa diri cerdas hanya karena diksi dungu telah disematkan pada lawan bicara.
Di sisi lain, ciri-ciri asesorik demi sebuah identitas keagamaan tak jarang sungguh manipulatif aktualisasinya. Secara pribadi saya amat gugup sebenarnya ketika ditanya, “Bagaimana menurut Pater…?” Apalagi bila pertanyaan itu berkenaan dengan salah dan benar, dosa dan rahmat, atau beriman dan kafir, atau masuk surga atau masuk dalam neraka. Adalah kewajiban moril bahwa seorang imam atau pemuka agama untuk mengatakan yang benar. Tetapi mesti tetaplah dihormati kebenaran dalam entitasnya sendiri.
Tentu tidaklah berarti bahwa semua yang dikatakan seorang imam atau pemuka agama itu pasti benar, apalagi benar mutlak. Selalu ada hal yang bisa didiskusikan, menjadi bahan dialog, dan diusung sebagai bahan ditimbang rasa. Tak berarti pasti benarlah tentang kekristenan ‘yang banyak aneh-anehnya’ hanya karena yang berbicara itu adalah ustad-ustad mualaf mantan Kristen. Walau di antaranya ada yang ‘lulusan terbaik S3 Vatikan’ sekalipun; atau yang berkisah adalah ‘mantan biarawati.’ Karena dapat terjadi ada intensi pribadi terselubung di balik ceramah-ceramah tentang kekristenan. Andaikan tak demikian, inilah bahaya dari apa yang disebut regim kebenaran.
Ini sungguh satu jebakan kuantitatif. Wajib diseriusi bahwa kebenaran iman itu tak diakarkan pada standar mayoritas atau minoritas. Demikian pun bahwa satu ajaran agama disebut baik tidak disebabkan karena stempel buruk sudah dilekatkannya pada agama yang lain. Syukurlah ada nilai-nilai kemanusian yang jadi standar pijakan umum.
Mari Kembali Kepada Misteri
Sungguh agunglah Tuhan dan besarlah segala kemuliaanNya. KebesaranNya tak bisa dipaku mati dalam agama. Tuhan itu mahasegala. Tesis-tesis kekristenan rumuskan betapa Tuhan adalah ‘misteri yang tak sepenuhnya terselami.’ Tentang rencana dan pikiran Tuhan, misalnya, pemazmur bersaksi, “Dan bagiku, betapa sulit pikiran-Mu, ya Allah. Betapa besar jumlahnya,” (Mz 139:17).
Dalam agama manusia sujud menyembah Tuhan. Dalam doa, sedekah dan puasa manusia melatih diri untuk senantiasa berkiblat pada Tuhan. Untuk semakin dekat padaNya. Tuhan itu mahakaya untuk begitu gampang dipermiskinan hanya dalam ‘agama yang saya anut.’ Inkarnasi dalam kekristenan adalah misteri Allah yang menjelma menjadi manusia. Dan bagi Allah yang mahakuasa, tiada apapun yang mustahil di hadapanNya.
Umat beragama pasti akan hidup dalam kedamaian bila tiba pada pengakuan bahwa dalam agama-agama lain misteri Allah dapat dinyatakan. Dalam Tuhan yang adalah ‘Misteri dari segala misteri’, manusia pada dasarnya hanyalah sebatas ‘merindukanNya’ dan ‘mengagumiNya.’ Hanya manusia penuh kerinduan lah yang mencari Tuhan dalam doa, puasa, keheningan, serta segala jenis ibadat. Hanya orang yang sungguh mengagumi Tuhan, yang benar-benar sanggup mencintai segala ciptaanNya. Ya, termasuk alam semesta, dan apalagi sesama manusia.
Sepatutnya agama dikembalikan pada khazanah untuk menyelami misteri Tuhan yang senantiasa dirindui dan dikagumi. Karena di situ agama pasti melampaui batas-batas tesis manusiawi yang sering meretakkan dan memisahkan antara manusia. Agama bukanlah penjara untuk menahan laju perjalanan hati orang beriman untuk menggapai sesama dan dunia. Agama bukanlah benteng untuk amankan diri sendiri dari ketakutan untuk berdialog dengan hati sejuk dalam kemajemukan.
“Sebagai orang Kristen, tentu hati saya terkesima di kala telinga pada kananku terdengarlah suara lonceng gereja. Tetapi apakah pantas saya langsung mengutuk dan mengkafirkan telinga kiriku, hanya karena pada saat yang sama ia mendengarkan lantunan syaduh suara panggilan azan?”
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma