Oleh Pius Rengka, Pemimpin Umum detakpasifik.com
Barbara Geddes, 1994, dalam buku Politician’s Dilemma: Building State Capacity in Latin America, mempertanyakan kapan kiranya seseorang menentukan sikap politiknya untuk kepentingan dirinya sendiri dan kapan pula dia ingin mereform kondisi politik demi perbaikan sosial. Dilema inilah menurut Geddes kerap dihadapi oleh setiap politisi di hampir semua negara berkembang, terutama di negara-negara belahan Amerika Latin dan banyak di antaranya negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Konsideransi politik kerap mengemuka, bukan lantaran kepentingan publik yang diutamakan (dalam terang pikir pro bonum commune), melainkan aneka konsideransi itu justru dinodai anasir kepentingan laten individual yang dibungkus masuk ke dalam arena publik terutama dalam arus penerapan kekuasaan politik.
Sementara itu, para ideolog berpikir berbeda. Mereka cenderung bijak (tetapi juga dinamis) mematuhi ideologi (terutama pembangunan) yang berfungsi dan sekaligus bertujuan untuk membebaskan umat manusia (rakyat) dari aneka belenggu sosial. Wujud utama pembebasan sosial, terutama di negara-negara miskin, adalah eksodus rakyat dari keadaan serba miskin terbelakang ke perbaikan nasib hidup manusia.
Peran ideologi (the role of ideology), tidak lain sebagai penunjuk arah perubahan sekaligus sebagai penentu dinamika pembangunan manusia. Mereka pun memperhitungkan berbagai ketegangan para subyek politik di berbagai arena kepentingan, tetapi sekaligus kepentingan di berbagai arena itu harus dikendalikan ideologi yang dipilih bersama.
Ideologi adalah seperangkat kepercayaan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana hal itu dapat dilakukan (ideology is a set of beliefs about what should be done and how it can be done). Maka ideologi mencakup dua hal utama yang menjadi keutamaannya.
Pertama, ideologi berbicara tentang apa yang diyakini sebagai hal yang baik, benar dan penting. Kedua, tentang metode penciptaan atau perwujudan dari apa yang diyakini baik, benar dan penting itu. Dalam implementasi konkret, kedua hal ini, kerap ditaburi aneka onak kesempitan, terutama lantaran hadirnya lapisan kelompok sosial yang ada di seputar kekuasaan.
Dilema muncul ketika pemimpin politik (presiden, gubernur, bupati, walikota, bahkan kepala desa/lurah) dihadapkan pada realitas di mana di lingkaran dalam ada tarung konflik kepentingan. Konflik kepentingan muncul apabila salah satu parameter gradual menumpuk pada salah satu bagian pada para meter nominal. Misalnya, pada konteks sirkulasi elit birokrasi, distribusi pengerjaan proyek dan wujud lain yang amat sangat beragam.
Konflik politik kian tak terhindarkan dan bahkan semakin melebar karena hadirnya peran para suporter dungu (usefull idiot) yang, umumnya, maaf, hanya bermodal amplifikasi teriak sebagaimana umumnya suporter pertandingan sepakbola. Para suporter dungu ini berteriak untuk satu kepentingan yaitu memuliakan kekuasaan tanpa daya kritis memadai. Sebagai bayarannya, biasanya, mereka diberi insentif hiburan upeti. Upeti yang diberikan bukan sesuai kebutuhan isi kepala melainkan seturut naluri daging semata-mata. Bukan roh menguasai daging, tetapi daging menguasai roh. Gejala ini ada di hampir semua lapisan kekuasaan, mulai dari desa hingga istana presiden.
Konflik pun muncul karena perebutan sumber daya kekuasaan, ekonomi antara pejabat lama dan pejabat baru. Celakanya, konflik ini kian meluas, lantaran pemimpin tak memiliki cukup imajinasi mengelola konflik karena dirinya sendiri justru terbuai oleh buaian para suporter dungu. Maka yang dungu sesungguhnya bukan saja para suporter, tetapi juga adalah pemimpin.
Tipologi konflik dapat dibagi menjadi tiga. Konflik dasar (underlying), konflik tertutup (covert), dan konflik terbuka (overt). Pada level tipologi dasar (underlying), biasanya atau umumnya konflik muncul karena terkait dengan hal yang bersifat struktural. Terkait dengan substansi dan cara menyusun kebijakan publik dan pola penentuan prioritas kebijakan publik.
Gejalanya sederhana. Salah satunya tampak melalui pengelolaan hubungan lintas instansi birokrasi dan politik (misalnya cara membangun hubungan dialogis legislatif dan eksekutif, cara membangun relasi dengan kelompok-kelompok sosial di luar lingkaran negara/state. Misalnya, seorang bupati atau wali kota hanya merasa nyaman berada dalam pelukan tim sukses tanpa ikut mempertimbangkan dinamika politik di luarnya. Pemimpin jenis ini, memang berbahaya bukan saja karena dia memotifkan demikian, melainkan karena kapasitasnya sangat terbatas.
Konflik bertipologi tertutup (covert) biasanya terkait dengan imajinasi politik para pejabat lama dengan pejabat baru. Para pejabat lama dengan politik lama biasanya kurang sanggup menerima perubahan, apalagi jika perubahan itu bersifat permanen atau signifikan yang tidak menguntungkan kepentingan posisinya sendiri. Kelompok ini terkonsolidasi dalam jenis penderitaan yang sama. Maka mekanisme sikap yang paling gampang ialah dengan bersikap apatis. Cukup mengurus hal-hal administratif seperlunya tanpa mengembangkan imajinasi kreatif untuk menuntaskan kepentingan publik. Tujuannya jelas. Memacetkan atau menggagalkan visi misi pemimpin.
Tipologi ketiga adalah konflik terbuka (overt). Hal ini terkait dengan kelompok “pendatang” atau tidak. Kaum yang dianggap pendatang, dianggap okupan politik oleh orang “lama” (tim sukses). Kaum lama dianggap pendatang baru sebagai kaum serakah (gread/y).
Nah, menurut Barbara Geddes, politisi akan berusaha merebut posisi, karena hanya dengan perolehan posisi itu dia bisa mengerjakan hal yang lain. Maka jabatan menjadi ukuran utamanya. Jabatan, dalam perspektif yang diperluas, terkait dengan cara menangkap semua jenis distribusi sumber daya yang ditimbulkan dari kekuasaan politik atau kemenangan politik. Kemenangan politik itu mendapatkan kekuatan untuk memobilisasi segala jenis sumberdaya yang dikehendaki. Perspektif ini dapat pula dipakai untuk menganalisa kekuatan distribusi insentif para suporter.
Suporter dungu
Format peta politik selalu berputar sekitar lapisan berikut. Pertama, kelompok inti (the core/elite). The core senantiasa berusaha merawat dan menjaga posisi kekuatan inti (tim politik dan atau kebijakan politiknya). Caranya? Dia selalu merawat kepentingan politiknya melalui aneka jenis kebijakan publik dan placement/penempatan aktor-aktor mumpuni. Para aktor harus sanggup mengimplementasikan visi, misi dan program kegiatan untuk menyelesaikan kepentingan terbesar politik (pro bonum commune). Pemimpin the core adalah presiden, gubernur, bupati/walikota, kepala desa.
Kedua, lapisan calon pengganti. Siapa mereka itu? Mereka adalah kelompok yang karena kemampuan politik dan juga jangkauan pemikirannya sangat luas (umumnya kaum intelektual). Mereka berpolitik sesuai dengan visi misi pemimpin the core, karena visi misi dan program the core sensitif dengan kepentingan rakyat. Pertanyaan paling sering muncul pada kelompok ini, seberapa mampukah elit lapisan kedua ini memberi pengaruh politik kepada masyarakat luas, terutama melalui kelompok masyarakat sipil? Banyak kalangan menjawab dengan menggunakan konsep structuring incentive.
Konsep ini mengarahkan tindakan politik lapisan kedua untuk menginisiasi elit (the core) agar tindakan politiknya aksesibel atau sensitif dengan kepentingan masyarakat atau warga. Maka dalam demokrasi procedural/liberal (one vote one value), pertanyaan kuncinya diubah menjadi bagaimana pemimpin politik menjadi pemimpin negara. Dengan kata lain bagaimana kiranya agar presiden, gubernur, bupati/walikota, kepala desa, benar-benar menjadi pemimpin (warga) negara. Dengan menyebut “pemimpin negara”, maka tindakan politik pemimpin haruslah berorientasi kepada semua kepentingan terbesar lapisan sosial yang dipimpinnya.
Karena itu, tabiat politik hariannya adalah politik tanpa sekat, politik minus urusan dengan tim sukses atau tim yang disukseskan dengan tim bukan tim sukses. Maka, tindakan “penyekatan” diri pemimpin, bukan saja dinilai sebagai kelakuan amat sangat bodoh, tetapi juga tindakan jenis ini dapat dianggap sebagai sejenis pelanggaran hak-hak asasi rakyat.
Ketiga, lapisan suporter. Suporter terdiri dari dua jenis suporter. Yaitu suporter kritis dan suporter dungu. Suporter kritis selalu mencermati tindakan politik pemimpin dan kebijakan politiknya. Mereka biasanya menyuarakan kritiknya melalui saluran-saluran formal tanpa kehilangan roh imajinasi dukungan signifikan.
Berbeda dengan suporter jenis kedua yang kerap disebut suporter dungu (usefull idiot). Mereka ini biasanya hidup dalam ruang lamunan indah. Mereka selalu menutup diri dari masukan kritis. Termasuk menutup rapat-rapat masukkan dari kelompok inti sendiri. Bagi mereka, insentif politik terpenting hanyalah hidup dalam bayangan pemimpin. Harga senyum pemimpin berbanding lurus dengan distribusi keuntungan. Kelompok usefull idiot ini tidak mungkin dimintai pikiran kritisnya, karena kaum ini hanya penyumbang jumlah kepala tetapi minus isi kepala.
Bagi mereka, demokrasi hanyalah soal dukungan jumlah kepala, bukan soal sumbangsih isi kepala. Karena itu, jika saja ada perbedaan pendapat yang terasa menyerang kepentingan tuannya, maka mereka ini bakal merusak seperti babi liar dan berkeliaran dengan mekanisme antara lain menciptakan akun palsu. Akun palsu diperlukan karena mereka tidak memiliki keberanian memadai untuk bertarung kritis dan dinamis demokratis, melainkan gemar tarung naif karena krisis kejiwaan.
Maka kaum ini gampang terjebak dalam sakit jiwa atau sejenis phobia kehilangan. Dinamika politik bagi mereka tidak lebih dari sejenis kesibukan menciptakan hoaks. Padahal hoaks di mana-mana telah merusak jalannya peta demokrasi. Bahkan kadangkala kaum usefull idiot ini membangun benteng permusuhan dengan kaum kritis. Celakanya, kaum ini justru tidak menyumbangkan nilai-nilai demokrasi bahkan tidak sanggup menyumbangkan nilai demokrasi bermakna. Kepentingan pemimpin politik malah rusak karena secara sangat tak sadar kaum usefull idiot ini justru menyumbangkan penumbangan politik pada siapa yang dibelanya.
Di negara-negara baru post-kolonial gejala ini memang lazim. Bahkan dalam era reformasi awal, selalu tampak dua gejala. Pertama lahirnya politisi serakah dan kedua munculnya partai politik tamak.
Politisi serakah ialah politisi yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan cara yang mengabdi pada kepentingannya. Korupsi adalah satu gejala inti dari politisi jenis ini. Kita lihat banyak korupsi dana bantuan sosial dan korupsi vaksin corona. Sementara partai politik tamak, adalah partai yang menggunakan mesin partai untuk kepentingan memenangkan elektoral.
Akhirnya, saya mencatat beberapa nilai yang termaktub dalam beberapa pepatah yang mungkin kita perlukan di zaman ini. Siapa tahu pepatah ini sanggup menyiram kearifan dalam darah yang didih tak tentu arah.
Pertama, pepatah yang menyatakan, tidak pernah ada waktu yang salah untuk mengerjakan hal yang benar. Kedua, pepatah yang lahir dari permenungan Roy Diseney. Dia menyatakan: Tidak sulit untuk mengambil keputusan jika Anda tahu apa saja nilai-nilai yang Anda anut. Roy Disney adalah pengusaha pendiri ‘The Walt Disney Company.’
Salam.