Kita mesti berpaling dan pergi ke jendela, tanpa tujuan dan memelas seperti seekor burung yang untuk pertama kalinya dikurung dalam sangkar yang dibuat kita sendiri.
Oleh Pius Rengka
Tahun 1999. Hamzah Haz, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPP. Dalam “Peringatan Hari Lahir ke-26 PPP” di Jakarta, Selasa, 5 Januari 1999 (vide: DR edisi No.22/XXX/11-16 Januari 1999), dia amat tajam berkata: “Reformasi politik yang dilakukan setengah hati akan mengancam pelaksanaan pemilihan umum yang jujur dan adil. Tanda-tanda reformasi politik setengah hati itu antara lain tampak dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilihan umum dan rancangan undang-undang politik”. Nafas makna kata Haz, sepertinya masih basah hingga hari ini.
Hamzah Haz, benar, telah tiada. Dia telah pergi ke sana ke haribaan rumah Sang Khalik maha pengada, tempat di mana dan dari mana dia berawal. Selalu saja ada tokoh di setiap masa meninggalkan kata. Begitu juga setiap tokoh ada masanya pantas dikenang lantaran dia meninggalkan pesan untuk tetap dikenang anak sejarah.
Seperti halnya Soekarno-Hatta. Kedua tokoh serangkai ini dihajar ancaman para pemuda di Rengasdengklok. Soekarno Hatta didesak segera mengumumkan kemerdekaan tanah Indonesia.
Maka tepat di hari pekat, 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Satu di antara pengibar bendera di tengah terik Jakarta, adalah orang Sabu, nama lengkapnya kulupa. Salah satu peran Latief Hendraningrat dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah menjadi pengibar bendera Merah Putih bersama S. Suhud. Bagi mereka, perjalanan nasib adalah politik, dan politik di masa itu adalah sejarah di hari ini.
Mungkin saja, para pelaku sejarah tak punya waktu untuk bercinta. Bahkan untuk sekadar berkisah tentang cinta dan dengki pun tak patut dirajut. Bagi mereka, cinta cukup tiba di singgasana pikiran lalu menguap pergi ke medan laga perjuangan.
Sesungguhnyalah kita semua, dan juga mereka, sedang memikir-mikir tentang cinta yang baginya berarti suatu hiburan yang menyenangkan kalaupun tidak kekal, juga tentang perkawinan yang dikenalnya sebagai keadaan tetap, kalaupun kadang-kadang menjemukan.
Bagi mereka, terutama kaum perempuan, perkawinan berarti hati-hati bertingkah laku, sopan santun di depan umum, dan memelihara karier suami dengan kasih sayang seorang nyonya rumah tangga. Ini artinya menyerahkan kebebasan, mengulurkan kemesraan yang, mungkin saja, jarang dirasakan, menuntut kepada sang tubuh yang gairahnya tak pernah bisa dibangkitkan.
Bagi pejuang, memberati jiwa sendiri yang terlalu keras kepala dan terlalu lincah untuk serasi dengan watak suami yang pemurung, iba derita dan luka dan, mungkin juga bimbang di alat timbang antara perjuangan dan melankolisme cinta yang terlalu dekaden.
Cinta adalah obat penawar kebosanan. Bahkan, suatu penegasan tentang kebebasan. Bahkan mungkin juga suatu lelucon mewah yang bisa dinikmati bersama seorang ayah yang penuh pengertian. Suatu sengatan untuk merangsang suami yang terlalu muda dalam perjuangan, bahkan terlalu muda agar sampai pada kondisi seorang lelaki yang sebenarnya.
Begitulah hari itu, di masa itu, di 17 Agustus 1945. Para pejuang mengarahkan tonggak perjuangan pada satu fokus merdeka. Sekarang atau nanti. Berkanjang mayat atau lapuk pandir oleh usia sia-sia.
Kini hari ini, menjelang hari ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus 2023. Bagaimana kita? Apakah keadaan kita di sini dan kini? Entahkah kita masih satu barisan dalam perjuangan ataukah kita telah tercabik-cabik oleh derunya hasrat ingin berkuasa? Mungkinkah kita menarik diri dari keriuhan sampah yang disebarkan para buzzer penyokong politisi, yang tidak selalu menarik untuk ukuran makna.
Tampak jelas dalam banyak selang saluran gagasan. Ide seolah jernih, tetapi menuding? Atau gemar menuding sambil meluruskan ide demi naungan perkauman.
Kaum penyuka buzzer, bergloria di atas kolam dengki dan benci. Indonesia, lapangan tarung terbuka adu kebencian. Indonesia adalah kawasan perang gagasan yang dinodai keberpihakan membabi buta, seperti babi buta sungguhan. Indonesia semacam negeri maya tempat dari mana semua ujaran kebencian dibolehkan atas nama demokrasi.
Berbeda pandangan dan penglihatan itu wajar di ladang demokrasi. Tetapi, di taman demokrasi, ditaburi kematangan gagasan, menyemai bunga-bunga kemuliaan saling mengasihi dan menghormati satu dengan lain, karena kita semua adalah peziarah asing di negeri penuh bunga. Semai kedengkian adalah penyubur hama busuk perusak demokrasi.
Saya membaca. Ya, membaca teks, sambil merajut silaturahmi politik tanpa seketul kebencian. Karena dengki, apalagi benci, tak hanya melukai pihak lain, tetapi terlebih dan terutama menggerus diri sendiri. Mungkin saja, para penyorak ria, terutama para suporter debil, memeriahkan kegembiraan karena di urat nadi tubuhnya telah lama bersemi naluri ganas manusia sebagai keturunan kera ganas.
Yang dituntut ialah suatu komplotan baru: mencumbu rayu figur andalan yang (mungkin saja) telah acuh tak acuh lantaran sikap tak peduli pada kepentingan rakyat yang dibelanya. Bagi mereka, musuh adalah sesuatu yang maya, tetapi juga ada dalam fakta demi pertemanan.
Distinguo ergo sum = saya ada karena saya punya musuh. Saya akan berteman dengan Anda karena Anda memusuhi musuh saya. Dan, Anda adalah musuh saya jika Anda mencintai musuh saya. Karena itu politik adalah permusuhan. Apa atau siapa yang begitu diinginkan oleh seseorang sehingga keinginannya itu menjadi duri siksaan di dalam daging sanubari sendiri.
Tak ada cinta di baliknya kecuali epikuris murni atas nama kebencian. Saya kira ini terlalu banyak untuk sesuatu yang terlalu sedikit. Bagi saya, sedikit tipuan pun terlalu banyak untuk disiram dalam kenangan peringatan 17 Agustus 2023.
Jalan bersama yang dipilih sepertinya berjalan di kelokan yang sama. Meski mungkin kita memilih orang berbeda. Teriak seperti pengidap psikopat, hanya mengurangi aliran nafas, dan merusak tenggorokan.
Kini, kita semua seperti tawanan. Tawanan selimut sejarah jalan. Jalan ditempuh sekian jauh dan lama sejak 1945 bahkan nun jauh sebelumnya ketika Sriwijaya dan Majapahit.
Sejarah jazirah Nusantara berkelana aneka keunikan kata para suku, alam, lingkungan nan elok, tarian gemulai dan sontak penari para perjaka di lataran belantara. Laut berbuih pasir nan putih halus bersih bagai tepung terigu diayak sang kekasih hati. Kita seolah terantuk pada tonggak-tonggak kehidupan yang dikiranya telah lewat dan terlupa.
Kita mesti berpaling dan pergi ke jendela, tanpa tujuan dan memelas seperti seekor burung yang untuk pertama kalinya dikurung dalam sangkar yang dibuat kita sendiri.
Kini, kita seperti gugup dan gagap dalam sejarah jalan yang kita buat sendiri tanpa mengerti menemukan jalan. Jika tak ada jalan, maka jalan saja di jalan yang dilangkah karena tiap kita membuat jalan-jalan sendiri. Tetapi, bukankah itu jalan sesat tanpa rahib penuntun?
Tanggal 17 Agustus 2023, adalah jalan peringatan sejarah. Jalan sejarah yang dibuat para anak muda gagah berani. Mereka mengambil sikap untuk menggertak sejarah agar segera berbelok ke jalan yang benar. Dan, benarlah sudah, waktu telah dihitung telah berlalu. Kita semua disapa kesetiaan, meski kita, ya masing-masing kita hanya begitu sedikit punya kesetiaan. Mengapa kita begitu harapkan dari tuan-tuan yang terhormat itu untuk mengukir sejarah kita sendiri?
Camkan. Siapa pun dia atau mereka, kita di sini dan kini. Masing-masing kita setia pada jalan hidup yang, kadang berlainan dan masing-masing tercekam oleh akibat dari sepenggal sejarah yang kita alami dari sejarah yang dialami bersama. Pengalaman kita telah dijamah oleh bibir dan lidah para buzzer pemimpi, yang sesungguhnya telah terjamah oleh kekecewaan dan gelapnya misteri. Kita pun terbimbing. Aneh.