“Janganlah putus asa hanya karena beberapa kegagalan. Dalam hidup, Anda cuma butuh satu keberhasilan” – (Aristoteles, Filsuf Yunani, 384-322 SM)
Oleh P. Kons Beo, SVD
(Dengarkan lagu “Aku Ingin Pulang” by Ebiet G Ade)
Meraba-raba kharakter
Sepantasnya Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far, Ebiet G Ade, tak boleh ditelisik di jalan datar. Ebiet adalah blantika musik mahakaya. Begitu dalam. Menyentuh. Menggugah dan penuh atentif. Di situlah perasaan kita sepertinya larut terpenjara. Tetapi lantas segera bebas mengembara yang tak liar oleh kesegalaan yang lahir dari aura Ebiet.
Kita tidak sedang menimbang kata, apalagi bermain kata-kata tentangnya. Menangkap Ebiet, sejatinya, membiarkan dunia afektif kita sungguh hidup. Lebih dari sekedar endapan emosional melankolik berbau cengeng. Bila mesti kembali ke performa musik, maka Ebiet adalah satu kesederhanaan yang kaya dan subur.
Rangkaian kata demi kata dimusikalisasi penuh rapih. Diorkestrasi sekian piawai dan anggun. Sebuah cantus firmus yang khas dengan tarikan dan lekingan suara, sepertinya bermain-main cantik dengan ayunan nada-nada ornamentik. Alunan vokal Ebiet sepertinya ‘bagai biduk’ menembus keseluruhan gelombang satu lagu ke lagu berikutnya.
Puisi-puisi sarat makna
Tak hanya terciri pada karakter suara yang khas, Ebiet sesungguhnya adalah puisi-puisi keseharian nan indah. Ia sepertinya tegar dan kokoh dalam varian diksi yang elastik dan kaya. Di situ, ia kisahkan segala yang tertangkap oleh pancaindra. Terdapat kisah-kisah biasa pun luar biasa yang terungkap benderang. Jelas dan tegas. Segala gerak keseharian seakan digenggamnya pasti.
Tetapi, bukankah dalam Ebiet terdapat pula khazanah religiositas reflektif mahadalam? Jeritan hati lamentatif tersuarakan. Semesta jagat tersapa. “Angin, gunung dan ngarai,” baginya “bagai orkes symfoni.” Kisah-kisah pilu kaum pinggiran dan tersisi ditangisi. Gairah romantisme dilukiskan. Gejolak sosial politik dicermati. Dan di atas segala, perjumpaan sunyi senyap manusia dengan sang Ilahi pun dikumandangkan.
Mistik yang tersingkap
Dalam Ebiet sungguh jelas bahwa surga dan bumi terpintal. Yang ilahi dan insani saling menyapa dan bahkan berpelukan karib nan mesrah. Dalam nyanyian penuh kasih sayang. Tuhan merindukan anak-anakNya kembali pulang padaNya. Tuhan menantikan kedatangan itu. Agar nantinya bersatu kembali dalam keabadian cinta.
Tak berlebihan bahwa dalam Ebiet terdapat mistik tersembunyi yang samar tersingkap. Dan semuanya hanya bisa tertangkap penuh dalam ruang batin penuh sunyi dan dalam sendirian yang paling syahdu. Dan dalam hingar bingar keramaian hidup ini, Ebiet tetap mampu menyusup masuk untuk menyentak perhatian publik.
Sebab, sejak awal, dari album pertama, Camelia I di tahun 1979, Ebiet perlahan menanjak. Dan ia masih kokoh bertahan di hati kita hingga kini. Ini kah yang disebut tembang balada nan klasik?
Jika kita sungguh terkesima oleh lantunan “Aku Ingin Pulang”, ini pasti bukan karena hanya pada instrumentisasi musiknya yang cerdas nan mempesona. Hasil racikan Purwacaraka dan si saxofonis Embong Rahardjo. Tak hanya itu! Ebiet tengah menuntun kita demi sebuah dinamika internalisasi diri. Dan lalu mengajak kita pulang kepada Sang Kasih Sejati. Dan mari kita merenungkannya.
Di kala retak selalu terbayang
Bayang-bayang suci itu selalu menguntit. Ke mana pun kita pergi dan di mana saja kita berada. Bayang-bayang itu terlalu perkasa untuk menguasai segalanya kita, yang kecil dan sederhana. Itu kah yang seturut Ebiet adalah bayangan ilahi? Saat kita menjadi ‘tak tersembunyi di hadapan sang Khalik?’ Iya, “Ke mana pun aku pergi bayang-bayangMu mengejar. Bersembunyi di mana pun selalu Engkau temukan….”
Di pusaran inilah, teringatlah kita akan lukisan agung sang Pemazmur. “Ke mana aku dapat pergi menjahui roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapanMu?” (Mzm 139:7). Betapa kecil dan tak berdayanya manusia. Sebab “Dari belakang dan dari depan, segalanya aku terkurung oleh kekuasaan Tuhan mahasegala” (cf Mzm 139:5).
Selalu ada yang eror di ziarah hidup kita. Kita sungguh rapuh untuk remuk digilas zaman. Hidup sepertinya tak lagi dituntun oleh perangkat dalil akal sehat. Sementara itu, ruang hati nurani pun telah pengap oleh sesaknya kabut suram. Tak jelas arah. Bila ditarik dari lirik “Menjaring Matahari,” maka hidup ini sungguh “terseret tertati-tati…”
Kini, kepada siapakah mesti ditemukan suatu pengharapan? Di saat “kutanya pada siapa, tak ada yang menjawab”. Dan di situlah, segala peristiwa sepertinya jadi penghuni tetap di rongga dada. Dan di alam Ebiet, itu telah jadi satu “pergulatan yang panjang dalam kesunyian….”
Namun, bagaimanapun “hidup mesti terus diburu, berpacu dengan waktu…” dan “tak ada yang dapat menolong, selain Yang di Sana”. Maka, adakah sebuah jalan untuk pulang? Agar kita bisa kembali menatap Rembulan Cinta dan berjemur Matahari Kasih Sayang?
Kunci yang diterima dari pencipta
Kita memang patut berkontemplasi dalam Ebiet. Di awal penziarahan hidup ini, bagi setiap kita anak manusia, sebuah “anak kunci kehidupan” disematkan sang Pencipta. Tuhan tempatkannya di jiwa kita yang paling dalam.
Mungkinkah itu adalah kunci pikiran? Adakah itu kunci perasaan? Apakah itu kunci hati nurani? Dengan kunci kehidupan itu, jalan-jalan kehidupan ini disusuri. Dalam segala perjuangan dan pertarungan. Dalam sejuta harapan yang ditikungi oleh aneka rintangan. Dalam varian kisah up and down, pun lights and shadows. Iya, dalam sekian banyak narasi penuh cemerlang, yang disambangi pula oleh sumpeknya cerita penuh redup.
Dan, Ebiet tampak atensi untuk berteriak ke langit, “Lihatlah! Aku terkapar dan luka…” Kita bisa jadi manusia tak beruntung. Telah mudah disergap dan diperdayai oleh kelemahan kehendak, pikiran dan rasa. Kita dirantai oleh ketamakan tak bergaris batas. Kita diborgol oleh nafsu untuk menguasai.
Kita diterjang oleh ego-diri yang posesif, yang berswadaya mutlak. Kita terkapar karena ditindas oleh selera overdosis akan harta, uang, serta variasi bentuk hedonistik. Kita terluka karena mudah jadi korban konsumerisme dan oleh serangan aneka komersialisasi tanpa jeda.
Kita bisa pula terobsesi oleh pikiran, khayalan, cita-cita buta yang berujung pada tindakan dan gerakan sepihak. Semuanya hanya berkiblat pada kepentingan sendiri. Yang jauh dari kedaulatan demi kepentingan bersama yang lebih luas.
Bagaimanapun, selalu ada peluang dan harapan untuk kita pulang. Dan memang, kita mesti pulang. Pulang pada sesama, ya kembali pada rumah dan rasa kebersamaan, kembali pada alam raya dan lingkungan, pulang kepada diri sendiri. Dan di atas segalanya kita mesti pulang kepada Tuhan yang maha pengasih!
Tetapi, Ebiet tempatkan satu pertanyaan penuh makna, “Masih mungkinkah pintu-Mu kubuka. Dengan kunci yang pernah kupatahkan?” Iya, “kunci kehidupan” itu tak hanya rusak dan berkarat. Kunci itu malah telah ‘dipatahkan.’ Sepertinya tak punya harapan untuk “kita kembali lagi….” Tetapi….
Pintu kasih Tuhan tetap dan selalu terbuka
Suara rintih Ebiet di akhir tembang Aku Ingin Pulang isyaratkan geloran hati untuk kembali: “Aku ingin pulang; Aku harus pulang….” Iya, kita mesti pulang ke jalan yang seharusnya. Kita memang mesti kembali ke titik tuju yang semestinya.
Puasa dan bermenung adalah momentum kita berziarah balik. Untuk tenunkan kembali segala hasrat hati untuk pulang. Tak pernah ada kata terlambat untuk kembali. Siapa pun tak ingin untuk tetap mati dalam hidup. Saat jiwa nampak bagai terpidana yang tetap terhukum!
Akhirnya…
Jika kunci kehidupan itu telah karatan, retak dan bahkan patah, maka bukankah kita tetap miliki kunci harapan akan keselamatan?
Masa tobat membuat kita tulus tertunduk untuk merendah! Demi kembali bangkit dalam memanggul Salib. Salib adalah kunci keselamatan. Dengannya, pintu Kasih dan kerahiman Allah terbuka. Dan kita kembali karib bersatu dalam kasihNya. Berkarib dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan alam lingkungan! Semuanya adalah ‘pribadi dan tempat’ di mana diri dan hati kita berada. Karenanya, kita memang harus pulang.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma