Satu perenungan atas kisah lebam di wajah Ade Armando
“Leluhur dari setiap tindakan adalah pikiran” – Ralph Waldo Emerson 1803-1881, penyair dan filsuf Amerika.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Hari kekalahan yang meneguhkan?
Saat itu memang sungguh kelabu. Semuanya terjadi di Senin, 11 April 2022. Setidaknya bagi Ade Armando. Dosen Ilmu Komunikasi UI dan pegiat media sosial itu alami derita fisik luar biasa. Bulan-bulanan ia digebuk segelintir orang.
Dan kisahnya pun jadi tambah miris. Saat ada usaha pelecehan amat tak beretika. Ade nyaris ditelanjangi. Semuanya terjadi hari itu. Di kawasan Senayan. Tempat kumpul dan kerjanya para wakil rakyat.
Sontak ceceran darah dan lebam di wajah Ade jadi trending topik dengan atensi meroket. Jadinya, Sabang sampai Merauke lupa akan agenda inti tuntutan demo para mahasiswa. Ade, yang hari itu semula ingin jadi ‘pengamat dan pendukung’, lantas seperti merebut alur demo itu. Ia ditakhtakan sebagai protagonista di berbagai media.
Bukankah, itu tadi, Ade dibicarakan seluas dan selebarnya? Tidakkah ia dianalisa, ditafsir, diraba-raba dalam varian pengandaian? Mulai dari pertanyaan penuh sangsi tak percaya hingga pada pelbagai telusuran yang serius.
Masih ada pertanyaan yang tak dimengerti
Kok, bisa ya? Seorang Armando senaif itu? Betapa ia nekat hadir di sebuah area terbuka tanpa beban curiga penuh waspada? Akal sehat sudah bisa pastikan: suasana seperti itu sungguh tak kondusif untuk keselamatan nyawanya. Tidakkah Armando sadar akan sosok dirinya sebagai figur publik penuh kontroversial itu?
Adakah ini sebuah kekhilafan ataukah hanya sebagai satu ‘kesengajaan’ Ade untuk ‘sorong badan agar digebuk?’ Dan diri situ ia gampang mengudeta inti perjuangan para mahasiswa? Ada sementara pendapat berguman: Dia sengaja mau jadi tumbal. Agar inti demo pun jadinya tumbang. Tetapi, sesederhana itu kah yang mau ditangkap?
Kebencian yang mesti terungkap
Darah dan lebam di tubuh Armando nyatanya adalah gemuruh ombak penuh histeria. Kebencian yang mengeras di hati segera mencair. Seakan telah temukan sebuah arena katarsis walau di jalanan sekalipun. Ribuan bahkan jutaan komen ‘sukacita akan kemenangan’ sudah ditakbirkan. Sebuah “momentum kemenangan” telah didapat. Dan gairah kepuasan itu mesti dinikmati.
Refli Harun, misalnya, berusaha tenang dan nampak ‘bijak’ bersuara. Setidaknya rezim pemerintah kini mesti berhati-hati. Amarah rakyat dan “street judging” bisa dipahami terhadap siapa pun yang terkesan untouchable dalam rana hukum. Tetapi, sebenarnya, Refli dan orang-orang senalurinya tak bisa sembunyikan ‘libido kepuasannya’ akan kisah berdarah dan penghinaan jalanan itu.
Logika akal sehat Cokro TV vs logika emosi yang tak tertahankan
Bila harus ditafsir di atas kertas kasar, Ade Armando sepertinya ingin buktikan sendiri adagium logikanya. “Mari terus gunakan akal sehat, karena hanya dengan akal sehat negara ini akan selamat”. Seyakin-yakinnya Ade akan ajakannya itu, pada kenyataannya, ‘akal sehat’ itu tak ditemukan lengkap! Akal sehat tak bisa mengalir jernih. Ia selalu diperkeruh oleh emosi yang timpang.
Dalil akal sehat dengan segala premisnya yang mengusung kebenaran jelas sulit dijumpai di jalanan yang riuh. Sebab, di situ yang dijumpai adalah permainan emosi yang menjurus liar. Tak terkendali.
Ade pasti tahu bahwa mimbar logika akal sehat Cokro TV tentu berbeda dengan raungan seruan menggelegar dari mobil komando di jalanan yang andalkan emosi masif. Ade sepertinya berulang-ulang menyiram bensin dari studio Cokro TV. Dan di jalanan itulah kebakaran amukan sekelompok begal politik berbaju agama itu terjadi. Menimpa dirinya sendiri pula.
Kenapa tak cukup debat narasi?
Kisah Senin, 11 April 2022, telah tebalkan kembali keyakinan akan parade konser gagasan yang tak selamanya harmoni. Diskusi-diskusi yang tersaji di TV sudah terang menderang bentangkan pertarungan narasi sengit. Dari situ coba dibangun satu konsepsi bersama. Pasti di titik ini butuh presenter TV yang OK. Yang pahami dan dalami sungguh substansi dari pertarungan narasi.
Sayangnya, nampak tak cukup mudah untuk mempertemukan dua tiga gagasan yang memang berseberangan. Terbaca jelas mana argumentum dan dictum yang sektarian, yang berkiblat pada kepentingan sepihak. Dan mana wacana yang dipertaruhkan demi kepentingan seluruh tumpah darah Indonesia. Iya, demi kepentingan yang lebih luas.
Logika yang tipis dan timpang mudah terbius untuk mencari kekuatannya dalam emosi yang beringas. Kebencian harus jadi tameng untuk ‘melindungi’ ketaksanggupan dalam bernalar runtut. Kemarahan harus jadi perisai untuk membentengi ‘hati yang sulit teduh dan damai.’
Armando digebuk tidak karena logikanya yang tidak dipahami oleh logika lawan. Tidak! Tetapi lebih karena logikanya membuat hati pembencinya terlanjur sungguh tak nyaman. Logika Armando cs gagal ditangkap lawan dalam counter logika yang proporsional. Tapi ternilai hanya sebatas hanya sudah ‘membuat marah, benci, tersinggung dan bangkitkan rasa permusuhan’.
Alarm street judging: menakutkan?
Kisah digebuknya Ade Armando sudah jadi alarm serius. Betapa rawannya penghakiman jalanan itu. Tak cuma jadi tanda peringatan bagi pemerintah, tapi terlebih juga pada para buzzer sealiran Ade Armando. Setidaknya ada efek jera untuk ‘tertib bicara dan hati-hati berpendapat’.
Namun, suara Ade Armando cs pasti tak terhenti di jalanan. Sebab mereka amat ‘terganggu’ pada isi dan arus berpikir yang nampak mengobok-obok Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Mereka tak sudi melihat pihak pemerintah yang ditilik hanya dari titik-titik suramnya. Mereka bereaksi saat ‘demi mayoritas, demi kepentingan sepihak, dan atas nama agama’ konsepsi kesemestaan Indonesia Raya ada dalam bahaya kehancuran dan tak terselamatkan.
Memanggil kembali tesis manikeisme
Nampaknya perseteruan antar dua kekuatan terus berlangsung. Mungkinkah itu yang disinyalir oleh Imam Mani sebagai perang antara kekuatan putera terang versus putera kegelapan? Nyatanya, Manikeisme punya doktrin tentangnya.
Sebab katanya dunia ini tak diurus oleh kekuatan tunggal. Ada dua kekuatan yang terus-menerus bersitegang. Ingin saling mengalahkan. Prinsip kebaikan yang terungkap dalam terang dan roh versus prinsip keburukan kegelapan dan hal yang fana.
“Yang jahat dan yang baik itu punya kekuatan yang seimbang.” Tetapi pada prinsip keduanya selamanya ‘saling baku ambil dan baku gigit’. Dan itu kah yang setiap kita alami dalam diri sendiri. Saat bergulat pada pilihan akan kebaikan namun keburukan acap kali lebih banyak mengandung umpan?
Di jalanan, di depan gedung DPR, di Senin, 11 April 2022 itu, sepertinya tesis Manikeisme yang berkembang pada abad ke 3 itu dibenarkan. Poros kebaikan dan keburukan tetap bersitegang penuh kekerasan. Setiap pihak mengklaim diri atas nama dalam “kebaikan dan kebenaran”. Dan adapun upaya “pembenaran” agar “dibenarkan”.
Akhirnya
Mestikah seluruh jagat Nusantara direpotkan dan pusing untuk bisa telak membedakan mana yang baik dan manakah yang buruk? Rasanya tidak! Mari ambil saja kisah dari Kahlil Gibran. Alkisah, saat Puteri Keburukan mengambil pakaian Puteri Kebaikan dan mengenakannya. Dan Puteri Kebaikan dibiarkannya telanjang.
Tetapi, kata Kahlil Gibran, sehebat apapun Puteri Keburukan berjuang hiasi diri dengan aksesori pakaian kebaikan, dan Puteri Kebaikan dalam keadaan telanjang, tetap saja ada orang yang jeli dan tepat untuk mengenal: Mana sebenarnya Puteri Kebaikan dan mana Puteri Keburukan?
Hanya Indonesia yang damai, hening, teduh, kontemplatif penuh tapa, yang sanggup memindai mana dharma bakti yang sesungguhnya demi kesatuan jiwa-raga seluruh bangsa, rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Sebab kebenaran dan kedamaian tak pernah terlahir dari ‘keributan penuh kekerasan’.
Verbo Dei Amorem Spiranti