“Jalani hidup penuh teduh biar cukup dengan meyakini satu hal, dan bukannya berdebat tentang banyak hal” – Thomas Carlyle, penulis sejarah dan filsuf Skotlandia, 1795-1881.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Kenapa mesti ke Ustaz Abdul Somad?
Daniel Mananta lagi tenar di pekan-pekan belakangan ini. Presenter, figur publik itu, lagi sedot perhatian yang tak kecil dari kebanyakan khalayak tanah air. Perjumpaannya dengan Ustaz Abdul Somad mengundang tanya. Bahkan curiga pula! Ada apa di balik kisah jumpa ini? Sekadar jumpa biasa? Atau?
Yang sekeyakinan dengan Mananta (Katolik) paling sedikit ‘makan hati’. Kok ada untung apanya untuk bersilaturahmi ke Ustaz Somad (UAS)? Orang yang telah jelas-jelas menghina Salib dan Yesus, Tuhan yang tergantung di situ?
Perjalanan Mananta menuju ‘area UAS’ sepertinya ditafsir sebagai ‘sikap menyerah begitu saja pada doktrin UAS tentang jin kafir di salib.’ Mananta sedikit pun tak berbekal peluru-peluru apologetik. Ia juga tak membawa ‘senjata teologi-filsafat’ demi satu diskursus iman berciri silang pendapat nan sengit.
Entahkah Mananta ke Pekanbaru dalam ‘kekosongan?’ Tanpa satu pun alasan serius? “Gue cuma pengin bener-bener ngebangun hubungan sama UAS. Kapan kita terakhir membangun hubungan sama orang tanpa kita kontenin?” begitu pungkas Mananta. Mungkin selebihnya masih terselubung, dan akan tersingkap pelan, namun pasti!
Sungguh bikin tak tenang?
Adakah yang salah dari Mananta jika ia memang ‘pengin bener-bener ngebangun hubungan sama UAS?‘ Tentu, saudara-saudari yang seiman dengan UAS, kaum muslim, bisa saja bersorak-sorai. Pertemuan ini bisa ditangkap sederhana sebagai pintu masuk Mananta untuk segera jadi mualaf.
Tetapi bagi warga beriman Katolik? Adakah satu skandal jika memang Mananta mesti berkarib dengan UAS dalam satu perjumpaan? Selayaknya tetaplah dijaga kebesaran hati dan kekuatan harapan.
“Wah, jangan-jangan Tuhan lagi mengutus Mananta untuk tetap merangkul, bersahabat, dan mengasihi UAS? Pribadi yang sudah ditatap penuh sinis sebagai ‘persona non grata’ karena ceramah-ceramahnya dianggap radikal dan penuh kontroversinya terhadap kekristenan.”
Di titik ini, mari kita salut pada Daniel Mananta. Yang tak ingin melihat UAS jauh dari seberang. Sebagai seorang imam, saya sebenarnya ‘cemburu campur malu hati’ tak berkesempatan kunjungi UAS.
Maka, saya sebatas hadirkan sepotong harapan yang berkobar dalam diri. Mananta telah hadir dengan jiwa-raganya dalam spirit damai dan cinta kasih yang menyapa siapa pun. Iya, termasuk si Ustaz Somad itu!
Perjalanan rohani pribadi?
Tetapi, andaikan ini adalah satu perjalanan spiritual? Ketika Mananta tetap dan masih berziarah bagai seorang spiritual seeds seeker (pencari benih-benih spiritual), maka ini tentu adalah satu bagian inti dari personal experience (pengalaman pribadi) nya.
Siapa pun tentu punya pengalaman pribadi yang unik. Baik yang mencerahkan pun yang penuh kabut dan awan gemawannya. Mananta di sini tetap manusia terbatas yang tetap mau mencari ‘pencerahan’.
Bisakah bahwa jumpa “ngebangun hubungan sama UAS” adalah bagian dari personal spiritual journey-nya? Bahwa Mananta bisa ‘merasa terinjili pula’ secara pribadi dalam ‘jumpa antar iman itu’.
Apakah bagi Mananta, UAS bisa ditemui sebagai ‘via negativa’ yang menantang, demi mendalami imannya? Atau sebaliknya, bahwa Mananta nanti terserap oleh ‘karisma UAS?’ Dan akhirnya ia tak sanggup lagi melihat jalan untuk pulang? Untuk lebih dalami khazanah iman kristiani (Katolik)?
Dan akhirnya? Kini, tampaknya Mananta sudah ada di titik kontroversi. “Unclean spirit” yang ada pada salib dan patung Yesus serta menyembah berhala sudah jadi duri-duri yang menusuk.
Objek pengetahuan pribadi (hasil temu jumpa dengan UAS) berkaitan dengan depostitum fidei (perbendaharaan iman) kristiani (Katolik) sungguh menantang!
Otoritas pribadi (akal personal) Mananta jelas-jelas telah kangkangi kuasa magisterium gereja. Primat yang telah sangat setia ‘menjaga perbendaraan iman kristiani’. Maka, dapat dipahami jika sekian banyak argumen kontra Mananta segera dibangun.
Penghayatan pribadi vs institusi keagamaan?
Agama dan penghayatannya, sekiranya bukan urusan pribadi (apalagi untuk konteks Indonesia) semata. Semuanya telah terawat apik, jelas, serta pasti di dalam satu kelembagaan. Dan lembaga punya tujuan di antaranya demi satu persekutuan iman.
Dapat dibayangkan, andaikan setiap individu beriman dalam agama apa saja, sekian tercecer dalam ‘pikiran dan penghayatannya sendiri?’ Apalagi bila dianggapnya sebagai privacy dan keramat sifatnya? Di sudut inilah, Mananta mesti dipertimbangkan. Ia lagi tak cerdas sosial saja saat memaklumkan apa yang jadi garis pandangan dan isi pikirannya yang baru.
Tampaknya ‘kesepakatannya dengan pemikiran UAS’, sungguh dilihatnya bagai ‘garam dan terang bagi dunia kekatolikan’ yang dianggapnya ‘sungguh gelap selama berabad-abad’.
Mananta lagi mengajarkan, meyakinkan, dan menggurui warga Katolik siapa pun bahwa sungguh ‘unclean spirit dan tindak menyembah berhala’ itu sepatutnya disadari!
Tak cerdas sosio-religius kah?
Suara Mananta memang menyentak. Pikirannya dianggap overlapping. Dinilai melukai dan mengganggu ketenangan isi jiwa batinia iman di dalam Yesus, Tuhan.
Pantaskah menyembah apa yang jadi hasil karya manusia? Pantaskah menggeser Tuhan untuk pusatkan perhatian pada patung-patung? Sungguh, benarkah demikian?
Tetapi, jika harus pula berpendapat, maka mari tetap sejuk di hati. Tak usah beranggapan bahwa segala pernyataan Mananta berakhir dengan tanda seru! Penuh kepastian.
Berimajinasilah in the other side bahwa ‘sebenarnya Mananta lagi bertanya: sungguhkah ada unclean spirit dan tindak sembah berhala pada dan terhadap patung-patung serta salib itu?’
Titik pijak baru memahami Mananta
Maka, tidakkah akhirnya segala penjelasan bermakna dan berbobot kita dapati? Ikuti saja misalnya klarifikasi luar biasa dari Rm Aba Sapy Susanto, MSC, dalam ‘Romo Ndeso’ di channel Youtube. Bukankah penjelasan itu membesarkan harapan? Pun sekian banyak penjelasan lainnya yang teduhkan iman?
Ada kebanggaan bahwa seorang beriman Kristen, Mananta, berjiwa besar untuk menjumpai orang sekelas UAS! Tetapi, tidakkah kita harus berjiwa besar pula untuk ‘mendengar hasil atau titipan apa yang dikirim UAS bagi dunia kekristenan di Indonesia dari perjumpaan itu?’
Di ujung perjumpaan Mananta dan UAS, tidak bisakah kita melihat Mananta tetap sebagai ‘presenter’ untuk satu acara risalah teologi dan kearifan demi kehidupan sosial religius di tanah air?
Mananta adalah TV hidup yang berhasil siarkan ‘silang pendapat, bobot keilmuan, cara serta isi berpikir dari para agamawan.’ Di situ, dapat terenung penuh teduh: Di mana dan bagaimana sesungguhnya bobot dan luas cakupan pemahaman hidup beragama baik dari UAS maupun dari Romo Aba, misalnya, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bertanah air Indonesia.
Tetapi mungkinkah ‘unclean spirit’ itu ada di dalam Mananta?
Tetapi, sekiranya, pada saatnya nanti, Daniel Mananta, segera berhijrah ke agama atau keyakinan apa saja yang jadi keputusan pribadi, maka tetaplah berbesar hati untuk mendoakannya.
Mananta tetaplah manusia peziarah. Yang terus berjalan untuk mencari muara kepastian demi kedamaian. Di lubuk hatinya yang terdalam.
Namun, setidaknya ada harapan bahwa di hari-hari mendatang (jika telah beralih ke keyakinan berikutnya), semoga Daniel Mananta tetap berjalan teguh dalam keyakinan baru itu. Tak usah lagi memandang kiri atau kanan, pun tak lagi menoleh ke belakang bahwa semuanya itu dikuasai unclean spirit.
Jika memang terus-terus ‘menoleh ke belakang’, justru sebenarnya unclean spirit itulah yang masih tetap bersarang aman dalam pikiran dan hati Daniel Mananta sendiri.
Atau, layakkah untuk mengatakan kepada pihak Ustaz Abdul Somad, bahwa jin kafir telah jadi ‘sahabatnya?’ Dan si jin kafir itulah yang membisikkan pada UAS, “aku sekarang ada di salib”.
Akhirnya…
Mari kita renungkan kata-kata Andres Nygren, “Pengkhianatan terhadap agama (bahkan terhadap agama yang diyakini sendiri) terjadi jika tujuannya adalah berbahagia. Sebab, dengan begitu agama kita akan menjadi sungguh-sungguh utilirian dan hanya untuk mencari diri sendiri.”
Dan Hilary Armstrong, seorang Kristen dan pemimpin partai buruh miliki satu keyakinan teguh, “Kita berada di dunia tidak untuk menikmati diri sendiri.”
Maka, bukalah mata lebar-lebar, dan bukalah hati dalam-dalam, bahwa kebahagiaan yang benar selalu didapat saat kita “memandang orang lain tersenyum, tertawa dan ceriah di wajah.” Semuanya dalam ketulusan.
Karenanya, hapuslah segala yang membawa duka dan hanya kebencian! Sebab, kita bukanlah ‘predator agama’, yang demi ‘rasa beriman sendiri yang hedonistik dan narcistik,’ tetap saja bernafsu untuk terus ‘mengoyak dan memangsa’ keyakinan yang berbeda dari sesama-sesama kita!
Bukankah demikian?
Verbo Dei Amorem Spiranti