Fatumonas, detakpasifik.com – Desa Fatumonas, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, bersama Bank NTT kini giat mengembangkan aneka potensi lokal di kawasan itu. Sumber daya yang dikembangkan antara lain madu hutan, kain tenun Timor, lombok cabai rawit, selada air dan kacang-kacangan.
Kerja sama Desa Fatumonas dengan Bank NTT melalui fasilitas kredit merdeka, diakui Enos Keas (53 th) kian membuahkan hasil konkret.
Petani pun bergeliat sejak dua tahun silam. Apalagi infrastruktur 48 km jalan provinsi jalur penghubung Desa Fatumonas dengan lintasan jalan negara trans Timor, telah dikerjakan tuntas oleh pemerintah Provinsi NTT.
Jalan 48 km, diakui masyarakat setempat belum tersentuh pembangunan sejak Indonesia merdeka. Tetapi, ujar Enos Keas, Ketua Kelompok UMKM UTAN ini, Desa Fatumonas kini terbebaskan dari kungkungan penjara jalan raya semenjak NTT dipimpin Viktor-Jos.
Rakyat Amfoang bebas dari penjara jalan raya yang diderita 75 tahun. Akibatnya, aktivitas ekonomi di pedalaman Timor Kabupaten Kupang, berjalan amat sangat pelan. Tetapi intervensi berbagai pihak telah mengantar rakyat Amfoang ke gerbang pembebasan.
Desa Fatumonas dipilih sebagai salah satu Desa Binaan Bank NTT. Akibatnya, petani dan peternak Desa Fatumonas bergeliat bangkit. Hasil pertanian mendapat akses ke pasar.
Desa Fatumonas adalah satu dari lima Desa Binaan Bank NTT di Kabupaten Kupang. Sebagai salah satu Desa Binaan Bank NTT, maka Desa Fatumonas ikut dalam festival yang digelar Bank NTT beberapa pekan belakangan.
Tim juri Bank NTT, Pius Rengka dan Dewa Putra didampingi staf Bank NTT Oelamasi dan Fatuleu, mengunjungi Desa Fatumonas, pekan silam, 27 September 2022. Rombongan dilepas Pimpinan Cabang Bank NTT, Oelamasi, Evi Pello.
Secara topografis, Desa Fatumonas bertanah miring, padang sabana luas dirias lekukan perbukitan tempat kawanan ternak merumput, pemandangan alam sangat eksotik, udara sejuk pegunungan dataran tinggi dirias hutan lindung yang setia memberi oksigen bersih dan segar. Hampir semua tanah di kawasan itu, terdiri dari tanah liat dan bebatuan.
Peta geologi Rosidi HMD (1979) Desa Fatumonas terdiri dari satuan batuan kompleks Bobonaro dan Formasi Aitutu. Tetapi, belakangan dibantah, Desa Fatumonas bukanlah termasuk kelompok Bobonaro, karena mata air di daerah itu berlimpah keluar melalui rekahan batu gamping.
Sedangkan sumber daya alam yang tersedia antara lain lahan pertanian cukup luas dengan lekukan perbukitan yang eksotik, ribuan ternak kuda, sapi dan babi.
Populasi ternak di daerah itu 2.064 sapi, 276 ekor kuda, dan 620 ekor babi. Penduduk di Desa Fatumonas, kata Penjabat Kepala Desa, Zakarias Naijuf (32 th), 1.038 pria 1.032 perempuan. Total kepala keluarga 473.
Sementara itu, keterampilan kelompok yang tergabung dalam UMKM berupa kerajinan tangan tenun ikat Timor khas Amfoang. Produksi tenun ikat diakui Meriana Haenain (57 th) cukup tinggi. Tetapi pemasaran hasil produksi tenun ikat belum menemukan pembeli.
“Jadi kesulitan kami adalah pemasaran,” ujar Meriana Haenain, pemimpin kelompok tenun Nekmese di Fatumonas. Kelompoknya beranggotakan 13 orang. Mereka memproduksi 219 lembar kain tenun saban bulan. Masing-masing anggota kelompok menghasilkan 7 lembar kain tenun per bulan. Tenunan itu dikenal dengan tenunan SOTIS.
Menurut pengakuannya, kain dijual Rp 1 juta – Rp 1,5 juta/lembar tergantung motif dan jenis benang yang dipakai. Selama ini, diakuinya, Bank NTT telah banyak memberi bantuan dengan kredit merdeka dan pembinaan keterampilan lainnya, dan kadangkala Bank NTT membantu memasarkan hasil karya para ibu di Fatumonas itu.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, Desa Fatumonas memiliki sedikitnya 10 kelompok UMKM yang bergerak di bidang tenun ikat, hasil hutan, ternak dan pertanian.
Kecuali itu, Desa Fatumonas pun memiliki lokasi observatorium. Diperkirakan observatorium ini merupakan observatorium terbesar dan terbaik di Asia.
Menyusul pembangunan fasilitas observatorium itu, banyak perubahan yang mungkin akan terjadi di sekitarnya. Misalnya, akan banyak pelancong dari berbagai negara yang datang ke daerah itu, dengan waktu tempuh dari Kupang hanya 1,5 jam.
Apalagi padang sabana dan udara dingin dengan tawaran malam gulita dihujani bintang-bintang di langit merupakan suasana langka yang ditemukan di kota di seluruh NTT dan bahkan Indonesia.
Enos Keas (53)
Enos Keas, salah satu tokoh sangat kritis di Desa Fatumonas. Dia pemimpin kelompok UMKM Kelompok UTAN. Kelompoknya giat bergerak di sektor hasil hutan seperti madu hutan Amfoang dan sekitarnya. Kelompoknya beranggotakan 10 orang, 8 pria 2 perempuan.
Menurut Enos, madu Amfoang diproduksi saban tahun antara bulan Mei hingga Juli. Media sarang lebah bergelantung di kayu putih yang tumbuh sporadik di Kecamatan Amfoang Tengah. Hal itu dibenarkan Jonatah Djumetan (57 th), Kepala Dusun II, Fatumonas.
Keduanya mengakui, madu Amfoang kini laku dijual Rp 100.000/botol yang berukuran setengah liter. Kecuali madu Amfoang sangat terkenal di daratan Timor itu, Desa Fatumonas juga kini bergiat menanam lombok cabai rawit karena harga di pasar cenderung cukup menjanjikan.
Apalagi, ujar Enos Keas, sejak Kredit Merdeka Bank NTT diperkenalkan semangat para petani, kian bergelora. Harga lombok cabai rawit, Rp 5.000/bungkus kecil atau Rp 30.000/kg. Sedangkan untuk ternak sapi rerata dijual Rp 4-5 juta/ekor.
Enos Keas dan para tokoh masyarakat Amfoang, khususnya Desa Fatumonas, sangat berterima kasih kepada pemerintah di bawah kepemimpinan Viktor Jos. Ucapan terima kasih itu beralasan karena menurut Enos Keas, dalam sejarah hidupnya tinggal di Desa Fatumonas, salah satu derita paling mengerikan ialah akses jalan menuju pasar di kota.
Dia berkisah, jauh sebelum jalan provinsi dibangun, mereka jalan kaki sedikitnya 2 hari menuju jalan raya Kupang – So’e. Akses begitu sulit.
Kini kesulitan itu telah tuntas dikerjakan. Kesulitan akses masyarakat Amfoang seluruhnya kini telah selesai dengan waktu tempuh 45 menit perjalanan menuju jalan raya Kupang So’e di bilangan Takari.
“Saya atas nama masyarakat Amfoang dan khususnya Desa Fatumonas, berterima kasih kepada Viktor Jos, atas kerja keras memecahkan problem rakyat di sini,” ujarnya bersungguh-sungguh.
Menurut Enos Keas, kekuatan utama dan terpenting dari kepemimpinan Viktor Jos ialah gaya kepemimpinannya yang tegas, lugas dan terus terang. “Apalagi, beliau terjun langsung ke masyarakat, dan tidur di rumah rakyat. Kami sungguh merasa dekat dengan pemimpin kami. Jadi, saya sangat berterima kasih,” ujarnya terbata-bata.
Desa Fatumonas, memang tampak sangat potensial. Untuk tanaman perkebunan seperti kopi, misalnya, Kecamatan Amfoang khususnya Desa Fatumonas, menyimpan potensi cukup besar untuk kopi jenis robusta.
Camat Amfoang Tengah, Yudin, menyebutkan rerata hasil kopi di Desa Fatumonas 3,6 ton/tahun. Fakta itu karena belum disentuh teknologi dan mekanisasi pemeliharaan yang massif. Tetapi melihat potensi itu, pihaknya sedang mengembangkan kopi robusta di daerah itu.
Bahkan Camat Amfoang Tengah sendiri terlibat langsung dalam penanaman kopi. Hasil panen kopi dijual ke Kupang dengan kemasan modern bekerja sama dengan Cofee Timor di Kupang.
Menyusul geliat ekonomi di Desa Fatumonas itu, kini pendapatan asli desa bertumbuh perlahan. Pendapatan asli desa setelah bekerja sama dengan Bank NTT melalui kredit merdeka ditargetkan mencapai Rp 30-40 juta/tahun. Kondisi riil sekarang masih merangkak di angka Rp 8.126.000/tahun.
Namun, baik Camat Amfoang, Yudin, maupun Kepala Desa dan tokoh masyarakat seperti Enos Keas sangat yakin, kalau pengembangan dan konstruksi observatorium telah tuntas dikerjakan, maka geliat ekonomi Amfoang akan bangkit dan sejahtera.
“Sekarang saja sudah mulai banyak wisatawan dalam negeri yang mulai berdatangan ke sana,” ujar Camat Amfoang, Yudin.
Meski demikian, Desa Fatumonas bukan tanpa masalah dan tantangan. Pendeta Novita Sari Wolantesi yang telah lama bertugas di sana mengakui bahwa masalah kunci yang belum diatasi di Desa Fatumonas adalah air.
“Di sini akses umat dan rakyat terhadap air minum dan untuk kepentingan pertanian masih sangat sulit. Bagus sekali jika masalah ini segera ditangani oleh pemerintah, entahkah itu pemerintah kabupaten, provinsi atau pemerintah pusat,” ujar Pdt Novita.
Diakuinya, 90 persen petani sawah di Desa Fatumonas adalah petani sawah tadah hujan. Karena itu, petani sawah ditentukan oleh belaskasihan alam.
Meski demikian, sumber air di Kecamatan Amfoang sesungguhnya banyak. Tetapi yang dibutuhkan adalah teknologi lebih tinggi untuk menyalurkan air ke kawasan itu.
Diyakininya, jika akses rakyat terhadap air telah tuntas maka masyarakat Desa Fatumonas segera keluar sebagai salah satu desa makmur karena daerahnya sangat potensial.
(dp/pr)