Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh Yosephira Gabriele Kristwardhani
Pendidikan pra-sekolah atau lebih dikenal dengan pendidikan anak usia dini pada tahun 1990-an tidak banyak perbedaan dengan sekarang, selalu menarik perhatian para orang tua, masyarakat, maupun pemerintah sebagai pengambil keputusan. Mereka menyadari bahwa kualitas masa awal anak (early childhood) termasuk masa prasekolah merupakan cermin kualitas bangsa di masa yang akan datang, khususnya orang tua yang menyadari pentingnya hubungan orang tua anak juga akan mewarnai hubungan anak dengan lingkungannya (Patmonodewo, 2003).
Pemberian pendidikan pada anak usia dini adalah hal yang menurut banyak ahli wajib dilakukan. Pendidikan anak usia dini menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Suyadi, 2010).
Tahun 2010 tepatnya pada 29 April 2010 merupakan sejarah bagi pembaca rubrik Suara Merdeka, di mana Suara Merdeka memuat sebuah surat berjudul “Dilema Masuk TK”. Inti dari surat yang ditulis oleh Joko Suprayoga adalah kegalauan beliau tentang sistem pendidikan TK. Kegalauan ini muncul karena putranya akan memasuki pendidikan prasekolah. Sepengetahuan Joko Suprayoga bahwa anak TK dilarang untuk diberikan materi membaca, menulis, dan berhitung di tingkat pendidikan prasekolah atau TK. Padahal sepengetahuan beliau juga bahwa untuk memasuki SD anak dituntut untuk bisa membaca, menulis dan berhitung. Beliau merasa dilema untuk memasukan putranya ke pendidikan prasekolah atau tidak (https://www.suaramerdeka.com).
Dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Nomor: 1839/C.C2/TU/2009 tanggal 25 April 2009 perihal Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, disebutkan bahwa sebutan “Taman” pada Taman Kanak-kanak mengandung makna “tempat yang aman dan nyaman (safe and comfortable) untuk bermain” sehingga pelaksanaan pendidikan di TK harus mampu menciptakan lingkungan bermain yang aman dan nyaman sebagai wahana tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan tahap tumbuh kembang anak didik, kesesuaian dan keamanan alat dan sarana bermain, serta metode yang digunakan dengan mempertimbangkan waktu, tempat, serta teman bermain.
Jasa (2009) mengatakan bahwa dunia anak prasekolah merupakan dunia bermain. Dunia di mana anak mengalami proses pertumbuhan dan penyempurnaan secara fisik maupun psikis. Mereka belum memiliki kemandirian yang cukup untuk mengurus dirinya sendiri. Inilah sebabnya mengapa mengelola lembaga pendidikan anak usia dini atau PAUD dan taman kanak-kanak lebih sulit jika dibandingkan dengan sekolah formal lainnya.
Namun pada saat ini pembelajaran di PAUD atau pendidikan prasekolah mengajarkan tentang membaca, menulis, menghitung atau biasanya disingkat dengan CALISTUNG. Karena CALISTUNG itu tadi diterapkan maka anak-anak PAUD yang harusnya hanya bermain dengan bebas harus mengikuti pembelajaran CALISTUNG yang diajarkan gurunya.
Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini
Kurikulum adalah hal yang mendasari atau program yang dikembangkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pembelajaran yang baik dan benar. Kurikulum yang ada di pendidikan prasekolah dalam Chourman, Imam (2011) mengatakan bahwa ada tiga kurikulum yaitu: (1) program yang menekankan perkembangan keterampilan, (2) program yang mengutamakan pertumbuhan kognitif, dan (3) program mengutamakan perkembangan sikap (afektif). Penjelasan dari ketiga kurikulum tersebut menyatakan bahwa:
- Tujuan-tujuan Kurikulum
Tujuan-tujuan kurikulum ini luas daripada hanya sekadar pernyataan-pernyataan tujuan-tujuan pembelajaran. Kesemuanya ini adalah harapan-harapan jangka panjang untuk perkembangan keterampilan dan perilaku anak. Agar perencanaan pembelajaran terwujud, maka tujuan-tujuan ini harus dibatasi pada lingkup tujuan-tujuan yang tidak langsung dan hasil-hasil pembelajaran khusus. Contoh-contoh pembatasan ini akan kami berikan pada bagian berikutnya yang membahas perencanaan belajar.
Perkembangan Kognitif (Kecerdasan)
- Anak-anak akan merekam/mengungkapkan bahasa-bahasa tertulis
- Anak-anak akan mengembangkan konsep-konsep angka
- Anak-anak akan mengembangkan kemampuan untuk memecahkan soal-soal berhitung
Perkembangan Berbahasa
- Anak-anak akan berbicara dengan benar dalam bahasa Inggris (di sini bahasa Indonesia: penyadur) yang standar
- Anak-anak akan menggunakan konsep-konsep “lawan kata-kata” dan yang berkaitan
- Anak-anak akan mengikuti petunjuk-petunjuk yang kompleks
Perkembangan Sikap
- Anak-anak akan menunjukkan sikap positif terhadap sekolah dan kegiatan belajarnya
- Anak-anak akan mengembangkan konsep diri yang positif dengan mengalami sendiri keberhasilan-keberhasilan akademiknya
- Anak-anak akan berinteraksi dengan efektif terhadap orang-orang dewasa dan akan-anak lainnya
Tujuan-tujuan di atas adalah pernyataan-pernyataan yang berorientasi pada produk, sebagai kebalikan dari pernyataan-pernyataan yang berorientasi pada proses. Tujuan-tujuan yang berorientasi pada produk, lebih terfokus pada hasil-hasil spesifik yang dapat diamati, yakni produk-produk akhir dan sama sekali bukan proses, bagaimana dan mengapa sesuatu itu diperoleh atau dicapai.
- Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran adalah program pengembangan keterampilan sebagai bagian dari proses mendiagnosis resep proses. Proses ini mencakup:
- Pernyataan hasrat pencapaian hasil belajar dari sesuatu aktivitas belajar
- Penilaian tingkat masukan (input) perilaku
- Susunan situasi belajar yang diinginkan
- Langsung mengajarkan keterampilan-keterampilan baru
- Menyampaikan umpan balik dan penguatan ulang (reinforcement)
- Menilai hasil perilaku, dan
- Mengajarkan ulang jika memang diperlukan
Ketiga langkah pertama itu dalam proses ini adalah bagian dari peran guru dalam perencanaan program pengembangan sesuatu keterampilan.
Hasil-hasil yang diinginkan dari aktivitas belajar dinyatakan dalam tujuan terminal (antara). Tujuan-tujuan ini termasuk hal-hal sebagai berikut:
- Uraian hasil sesuatu kegiatan belajar yang diharapkan dicapai oleh pembelajaran (anak-anak)
- Lingkungan atau situasi dalam mana pembelajaran (anak-anak) diharapkan melakukan perilaku yang diharapkan
- Pernyataan tentang kinerja atau kriteria yang akan menentukan tuntasnya tingkat pencapaian tujuan belajar
Hal-hal ini akan memungkinkan guru-guru untuk menentukan, bila terjadi perilaku dan sampai mana tingkat keterampilannya.
Menstrukturkan situasi-situasi belajar yang diinginkan merujuk pada acara di mana lingkungan belajar diatur. Lingkungan belajar seperti lingkungan fisik (ruang kelas), perilaku guru, bahan-bahan pembelajaran, disusun secara maksimal akan kemungkinan timbul perilaku yang diharapkan dan memperkecil kemungkinan terjadinya perilaku anak yang tidak diharapkan. Ruang kelas diatur dalam lingkup desain yang jelas dan nyata di mana tiap unsur mengandung tujuan-tujuan yang spesifik berbeda.
- Peran Pembelajaran Guru dan Siswa
Guru dalam program pengembangan keterampilan melaksanakan “teknik-teknik pembelajaran langsung” dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas utamanya. Hal ini dipandang sebagai model pembelajaran yang paling efisien dan efektif. Berdasarkan perencanaan belajar yang telah dikembangkan, maka guru secara tipikal bekerja dengan kelompok-kelompok anak yang homogen (sama), dalam format pembelajaran langsung. Guru-guru secara tipikal juga melakukan langkah-langkah berikut dalam melaksanakan aktivitas mengajarnya:
- Memotivasi minat anak dalam aktivitas isi/program pembelajaran
- Nyatakan hasil belajar yang diinginkan kepada kelompok-kelompok anak dengan menggunakan istilah-istilah yang dimengerti oleh anak-anak
- Lakukan model perilaku yang sesuai
- Langsung laksanakan mengajar sebagaimana yang telah dinyatakan dalam tujuan belajar
- Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang langsung mengungkapkan ingatan (memori anak-anak: penyadur)
- Perkuat dengan pengulangan keterlibatan anak dalam perilaku yang diharapkan.
- Berikan umpan balik hasil belajar kepada anak-anak/siswa
- Laksanakan “acara penutupan” kegiatan
Pengelolaan kelas dalam program yang berorientasi pada pengembangan keterampilan meliputi juga penggunaan teknik-teknik “perubahan perilaku”. Efektivitas pengelolaan ruang kelas tergantung pada perencanaan lingkungan belajar yang kondusif untuk belajar, penguatan perilaku yang diharapkan secara positif: jangan peduli/hirau pada perilaku-perilaku siswa yang tidak sesuai, perkuat dan batasi perilaku-perilaku siswa yang menyimpang dari tujuan belajar, dan secara menyeluruh selalu konsisten dalam interaksi dengan anak-anak.
Dasar-dasar Psikologi dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
The Golden Ages
Periode emas adalah masa di mana otak anak mengalami perkembangan paling cepat sepanjang sejarah kehidupannya. Periode ini hanya berlangsung pada saat anak dalam kandungan hingga usia dini, yaitu 0-6 tahun. Namun, masa bayi dalam kandungan hingga lahir, sampai usia 4 (empat) tahun adalah masa-masa yang paling menentukan. Periode ini pula yang disebut-sebut sebagai periode emas, atau yang lebih dikenal sebagai the golden ages, Suyadi (2010).
Oleh karena itu, kunci pembentukan kecerdasan otak anak adalah pada usia dini atau periode emas ini. Berkaitan dengan periode emas sebagai kunci pembentukan kecerdasan anak tersebut, Deborah Stipek, dalam Suyadi (2010), menyatakan bahwa anak usia dini menaruh harapan yang tinggi untuk berhasil dalam mempelajari segala hal, meskipun dalam praktiknya selalu buruk. Artinya, pada usia ini, anak dapat dididik untuk melakukan apa saja (segala hal) dan mereka mempunyai kepercayaan diri yang tinggi untuk berhasil, meskipun dalam praktiknya sangat buruk, bahkan terkesan mustahil.
Bisa dikatakan bahwa dalam belajar memang anak-anak jauh lebih banyak berhasilnya dari pada gagal. Karena memang anak pada fase pertumbuhan dan memang harus banyak mengenal hal tanpa dipaksakan dalam hal belajar. Namun, belajar tanpa paksaan ini juga memiliki banyak manfaatnya. Misal, anak dapat mengembangkan skill dalam gerakan akrobatik, melukis, bernyanyi. Hal ini juga tidak lepas dari pandangan orang atau guru prasekolah bahwa mereka menganggap anak harus juga bisa CALISTUNG, padahal proses belajar anak-anak tidak boleh dipaksakan.
Lalu salah satu cara memanfaatkan periode ini adalah memberikan berbagai stimulasi. Dari sekian banyak stimulasi yang ada, permainan adalah bentuk stumulasi yang terbaik. Pada bagian akhir buku ini dapat disimak berbagai jenis permainan yang dapat digunakan untuk menstimulasi anak agar menjadi cerdas.
Teori Kecerdasan Anak Usia Dini
Orang tua dan guru pada zaman sekarang seringkali memberi predikat cerdas atau pintar kepada anak yang memiliki prestasi akademik. Sementara jika anak yang memiliki prestasi akademik yang rendah maka akan dinilai orang tua dan guru kurang cerdas. Artinya jika anak yang memiliki nilai baik atau dengan kategori A maka itu dapat dinilai oleh orang tua dan guru bahwa anak itu cerdas. Contoh pada tahun 2009, pemerintah mencanangkan tiga mata pelajaran sebagai standar kelulusan. Tiga mata pelajaran tersebut adalah bahasa Indonesia, bahasa lnggris, dan matematika. Peserta didik akan dinyatakan lulus sekolah jika mencapai nilai standar minimum Ujian Nasional (UN) sebesar 5,5. Nilai standar minimum tersebut berlaku untuk ketiga mata pelajaran di atas, jika tidak memenuhi standar maka anak tidak lulus.
Selama ini anak dikatakan cerdas dan pintar jika nilai ketiga mata pelajaran tersebut di atas standar nimimum yang ditetapkan. Anak-anak yang nilai rapornya di bawah standar minimum akan dikatakan kurang cerdas bahkan tidak cerdas. Dengan kata lain, kecerdasan selama ini dipersepsikan dengan angka atau nilai pada rapor. Tidak lebih dari itu, di sisi lain, banyak anak yang sangat lihai bermain musik dan olah raga tetapi tidak mendapat apresiasi dari sekolahnya. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang diharumkan namanya oleh mereka. Sayangnya, mereka harus tidak lulus karena tidak cerdas. Pasalnya, nilai matematika anak tersebut kurang dari standar minimum yang ditetapkan.
Jika kita bertanya kepada pemerintah, guru, dan pendidik yang mempunyai pemikiran lama, maka mereka akan menjawab sama, yakni peserta didik yang mempunyai nilai rapor di atas rata-rata adalah anak yang cerdas. Dan, peserta didik yang nilai rapornya di bawah standar adalah peserta didik yang tidak cerdas. Pendek kata, cerdas dan tidaknya peserta didik ditentukan oleh nilai yang mereka peroleh ketika ujian sekolah atau UN. Akan tetapi, jika kita bertanya kepada salah seorang pakar kecerdasan yang sangat terkemuka saat ini, yakni Howard Gardner dalam Suyadi (2010), menemukan konsep kecerdasan sebagai berikut:
- Kemampuan untuk memecahkan suatu masalah.
- Kemampuan untuk mendapatkan suatu masalah baru untuk dipecahkan.
- Kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu pelayanan yang berharga dalam suatu kebudayaan.
Dari penemuan konsep kecerdasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang disebut kecerdasan itu tidak diukur dengan angka atau nilai rapor, tetapi dengan kemampuan untuk memecahkan masalah atau menawarkan solusi alternatif terhadap persoalan yang dihadapi di tengah kehidupan. Dengan kata lain, anak didik yang cerdas adalah anak didik yang serba mampu mengatasi persoalan hidupnya, termasuk mengatasi berbagai persoalan sekolahnya.
Dunia anak adalah dunia imajinasi, disebut demikian karena setiap aktivitas atau permainan yang dilakukan anak melibatkan kerja otak yang didominasi oleh imajinasi daripada pikiran operasional. Buktinya, ketika anak memegang kertas yang dilipat menyerupai pesawat, ia akan menganggap bahwa lipatan kertas itu adalah pesawat sungguhan. Kemudian, mulai menerbangkan kertas lipatan tersebut seraya meliuk-liuk, badannya mengikuti arah kertas tersebut melayang. Ekspresi ini seolah-olah mencerminkan dirinya sebagai pilot dari pesawat yang baru saja diluncurkannya tersebut.
Sudah Pantaskah Calistung untuk Anak Paud
Dilansir dari detik.com pendidikan membaca-menulis-berhitung (calistung yang diajarkan pada anak usia dini (PAUD) hingga dijadikan tes saringan masuk SD dinilai tidak benar dan tidak wajar. Calistung bisa diajarkan di PAUD, asal tidak dipaksakan karena bisa merusak mental anak.
Hal itu dikatakan Kasandra usai jumpa pers di Komnas Perlindungan Anak (PA). Kasandra mengatakan, calistung bisa dan boleh saja diajarkan di PAUD, asal tidak wajib dan tidak dipaksa karena kemampuan satu anak dengan anak yang lain berbeda-beda. Sebelumnya dalam detikhealth, Komnas PA bahkan merilis data pada Maret 2012 lalu bahwa terjadi 2.386 kasus pelanggaran dan pengabaian terhadap anak sepanjang tahun 2011. Angka ini naik 98% dibandingkan tahun lalu. Mayoritas anak-anak ini stres karena kehilangan masa bermainnya. Anak-anak sudah disibukkan dengan tetek bengek seperti les, sekolah, dan kursus bahkan sejak usia balita.
Anak prasekolah memang berbeda dengan anak sekolah pada umumnya. Anak PAUD memiliki latar belakang yang berbeda-beda dengan kata lain anak PAUD ini pemikirannya masih labil atau berubah-ubah. Pengalaman mereka dalam pengasuhan pun juga berbeda, ada yang menghabiskan waktunya dengan bermain, menonton televisi, ada juga yang mungkin orang tua mereka bercerai dan mengakibatkan anak menjadi trauma.
Anak prasekolah tidak dapat dipaksa dalam hal belajar, karena mereka membutuhkan pengalaman yang indah untuk kehidupan selanjutnya tanpa adanya paksaan. Perkembangan yang anak PAUD alami haruslah kita atau guru prasekolah mengerti apa yang diharapkan oleh mereka.
Menurut George S. Morrison (2012) berpendapat bahwa guru prasekolah haruslah: (1) amati dan nilai anak sehingga mengetahui dan memahami apa yang mereka ketahui dan mampu lakukan, (2) bertemu dan bekerja sama dengan keluarga untuk mengetahui pengalaman, kemampuan, dan kebutuhan anak yang unik, dan (3) kembangkan program untuk memenuhi kebutuhan anak pada zaman sekarang.
Berdasarkan paparan di atas seharusnya guru prasekolah memang harus mengerti apa yang dibutuhkan anak. Berbeda dengan kenyataan yang ada di lapangan guru prasekolah menuntut anak untuk dapat CALISTUNG atau membaca, menulis, menghitung. Paparan dari detik.com di atas juga sangat mengkhawatirkan bahwa banyaknya sekolah dasar atau sering disebut SD yang menyaring calon siswanya dengan mensyaratkan bisa CALISTUNG atau membaca, menulis, dan menghitung.
Fungsi
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (www.depdiknas.com). Sama halnya dalam UU RI No.20/2003 Bab II Pasal 3 berisi bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan menjadi warga negara yang berdemokratis serta bertanggung jawab.
Yuliana, (2009) mengatakan bahwa fungsi pendidikan anak usia dini adalah sebagai berikut: (1) untuk mengembangkan semua yang dimiliki anak sesuai dengan tahapan perkembangannya, (2) mengenalkan anak dengan dunia sekitar, (3) mengembangkan sosialisasi anak, (4) mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak, (5) memberikan kesempatan pada anak untuk menikmati masa bermainnya, dan (6) memberikan stimulus kultural pada anak.
Beberapa fungsi PAUD lainnya menurut Yuliana, (2009) adalah:
- Fungsi adaptasi
- Fungsi sosialisai
- Fungsi pengembangan
- Fungsi bermain
- Fungsi ekonomik
Penutup
Prasekolah seharusnya tidak memaksakan anak harus bisa dan belajar CALISTUNG. Pemaksaan yang dilakukan akan menekan pemikiran anak, dan anak bisa juga mengalami stres karena ditekan bukan dalam porsinya. Hal ini mengingat pula kurikulum yang mengatakan bahwa kurikulum anak prasekolah itu mengacu pada 3 aspek, menurut Chourman, Imam (2011) mengatakan bahwa ada tiga kurikulum yaitu: (1) progam yang menekankan perkembangan keterempilan, (2) progam yang mengutamakan pertumbuhan kognitif, dan (3) progam mengutamakan perkembangan sikap (afektif).
Karena anak prasekolah juga memilik pengalaman yang berbeda-beda. Guru prasekolah sebaiknya juga memahami anak-anak didik prasekolahnya tentang kebutuhan dan kemampuan anak dalam kegiatan dikelas prasekolah. Selain itu guru prasekolah juga harus sering berkomunikasi dengan keluarga anak prasekolahnya. Karena tidak lepas dari hal itu orang tua anak juga sering berpikir bahwa anak yang lulus PAUD harus bisa CALISTUNG. Jika guru sudah mengerti tentang kecerdasan siswa itu tidak hanya dapat dilihat dari CALISTUNG saja dan mengerti bahwa usia anak PAUD adalah usia anak bermain dan tidak bisa dipaksakaan maka, guru prasekolah wajib memberi pandangan arahan kepada orang tua anak.
Pentingnya komunikasi guru prasekolah dengan orang tua ini juga dikatakan oleh Helmawati, (2014) bahwa manfaat komunikasi dengan keluarga atau orang tua adalah: (a) dapat mengetahui apa yang ingin disampaikan oleh anggota keluarga, (b) menghindari kita dari salah sangka dan konflik, (c) dapat membawa keuntungan yang diharapkan baik bagi fisik maupun psikis, dan (d) dapat membawa hubungan yang lebih baik.
Tidak hanya itu guru juga harus menerapkan kurikulum yang ada dan sekali lagi tidak memaksakaan kehendak siswa dalam belajar. Namun, hal ini juga tidak bisa lepas dari bantuan tangan pemerintah. Karena hal ini menyangkut pendidikan yang ada di republik ini. Banyaknya sekolah dasar atau SD yang mensyaratkan calon siswanya harus bisa CALISTUNG maka pemerintah harus bisa mensiasatinya. Karena dengan hal ini maka orang tua dan guru prasekolah juga berpikir ulang dengan adanya peraturan ini. Mereka pasti akan menuntut anak untuk bisa CALISTUNG.