Oleh: P. Kons Beo, SVD
Area Mabuk Agama dan Kekelaman Kekerasan
Mabuk agama? Itulah ungkapan yang telah jamak terdengar. Paradigma mabuk agama sering jadi pemicu tindakan radikalisme yang akrab dengan kekerasan dalam berbagai ragam. Mulai dari kekerasan fisik hingga pada ujaran-ujaran penuh hasutan. Tetapi, yakinlah, agama apapun tak ajarkan tindakan membunuh atau menghabisi sesama. Segala cara pikir, sikap dan tindakan yang rawan dalam kemanusiaan sangat sulit memiliki tempat dalam kehidupan yang wajar.
Simpel saja! Lihatlah, ketika terjadi teror bom bunuh diri yang merenggut sekian banyak nyawa, segeralah pernyataan resmi dan sejuk dikeluarkan: “Peristiwa ini tak ada kaitan dengan ajaran agama tertentu!” Terus mau dikaitkan dengan apa? Tetapi, sejumlah pihak tetap kaitkan dengan isi ajaran agama tertentu yang ‘berpotensi hasilkan kekerasan’. Atau setidaknya ada kecurigaan besar di balik itu bahwa ‘agama ada hubungannya di balik tindakan teror dan kekerasan.’ Bagaimanakah logika keterkaitannya?
Dalam Kitab Suci, kisah-kisah kekerasan dan lukisan perlengkapan senjata perang memanglah nyata. Kisah-kisah baku bunuh antar manusia pun jelas. Bahkan dalam Kisah Perjanjian Lama Alkitab Kristen ada perintah untuk membenci dan menumpas musuh-musuh. Tetapi, yang menjadi soal bila perintah itu mesti dibawa ke masa kini? Apakah mandat kekerasan itu masih tetap relevan? Dan pertanyaan lanjutnya adalah: Siapakah yang disebut musuh itu sehingga mesti digayang? Orang yang benar-benar jadi penghancur kehidupan umat manusia? Atau kah musuh adalah siapa pun yang tergolong ‘bukan kami’ hanya atas dasar syarat, kategori, standar atau norma buatan kami sendiri?
Menjadi semakin rumit bila musuh itu, yang tak tergolong pihak kami, lalu atas (ajaran) agama, memang wajib hukumnya untuk disikapi secara keras, dipersulit, ditembak dengan ujaran-ujaran penghinaan dan kebencian. Singkatnya bahwa ‘musuh’ itu mesti diperlakukan sesuka hati dalam aura peyoratif. Kita yakin, isi Kitab Suci agama manapun tak ajarkan kekerasan! Kita sepakat pada keyakinan bersama bahwa kisah-kisah perang melawan musuh tidaklah otomatis menjadi perintah hingga masa kini untuk menggayang musuh dalam artian yang ‘bukan kami.’
Dalam kekristenan, peristiwa Kitab Suci mesti dibaca dalam konteksnya! Dan tentu tak boleh ditafsir secara ‘lurus dan langsung.’ Untuk mengatakan bahwa isi Kitab Suci mesti berbicara untuk situasi masa kini atau aktual selaras jaman, dan serentak menantang jaman pula! Artinya, ambil saja contoh, misalnya, karena Kain sekian irihati pada Habel, adiknya, dan ia lalu menghabisi adiknya itu. Ini tak berarti kita membenarkan rasa penuh iri hati yang destruktif terhadap sesama dengan alasan Kain pun berbuat yang sama. Dan bahwa kisah itu tertulis dalam Kitab Suci. Ini baru satu contoh, tentu ada contoh-contoh lain, yang bila salah dipahami bisa berakibat fatal.
Maka, kita harus berbicara tentang ‘indoktrinasi agama’ yang kini seringkali memabukkan dan meracuni! Ketidakpatuhan untuk menafsir ajaran agama secara benar adalah seminarium subur untuk bibit-bibit kehancuran dan kekerasan. Kebenaran yang dimaksudkan adalah bahwa harkat martabat manusia, kepentingan-kebaikan-hajat hidup bersama serta nilai-nilai kehidupan itulah yang mesti menjadi rujukan bersama.
Sayangnya, ganti kebaikan bersama yang tertenun dalam harkat dan martabat manusia, mabuk agama menjadi terpasung oleh standar-standar minimalis yang membahayakan. Dalam tafsiran ajaran agama, ada perangkap kebenaran mutlak yang hanya terdapat dalam keyakinan (agama) ku. Bukankah dengan ini segera terciptalah suasana panas dingin dalam kehidupan bersama?
Kata-kata T. Radcliffe patut direnungkan kembali, “Pada saat orang beragama mulai berbicara tentang kebenaran, orang mulai cemas. Ini dapat dimengerti. Di seluruh dunia, kekerasan dikaitkan dengan iman yang berbeda yang mempertengkarkan kebenaran. Orang Kristen mewartakan Yesus, orang Muslim mewartakan Qur’an, orang Hindu mewartakan Krisna. Semua pewartaan ini tidak mungkin semuanya benar, lalu umat beriman mulai saling membunuh,” (Radcliffe, 2005). Maka dengan cepat area-area mabuk agama segera tercipta!
Mendengus si Pemabuk Agama: Satu Paralelisme.
Kenapa ya orang bisa sampai oleng-oleng karena minuman keras? Jelas, ini namanya (orang mabuk), ‘ata langu’ dalam bahasa Manggarai. Setiap manusia yang sehat diri dan juga tahu diri, pasti tahu kesanggupan fisiknya. Katakanlah bahwa lewat dari dua gelas sopi (arak, moke) berlevel BM (bakar menyala) ia pasti sempoyongan. Karenanya, janganlah ia meneguk lewat dari jumlah dua gelas sopi atau arak itu. Karena jelas akibat buruknya. Bakal tak berarah tutur bicaranya dan tak ada keseimbangan pula.
Ini repotnya kalau kemabukan yang bertolak dari ketidaktahudirian. Kita bayangkan saja siapapun ‘yang pengetahuan agamanya masih atau amat lemah.’ Walau dosis pengetahuan agama setipis debu di kaca, dan lalu harus tampil di publik ‘terkesan sekian dalam dan luas’ pengetahuan agama! Bukankah yang terlahir adalah ‘kata-kata yang tak terarah jelas?’ Kacau tak beraturan?’ Apalagi bila kesanggupan dalam penafsiran terminilogi agama tampaknya dipaksakan. “Apakah harus diganti kursi dakwah buat si Yahya Waloni, si ustad mualaf itu, karena kursi itu dianggap kursi gereja dan bukan kursi islam?” Bukan kah dalam hal ini alam mabuk agama dapat terbaca? Atau bahwa si Waloni nampaknya lagi frustrasi akan masa lalu kristianinya? Ini baru satu contoh dari sekian peragaan mabuk agama yang diperlihatkan ustad Yahya Waloni.
Tetapi, orang jadi mabuk juga, dalam istilah di kawasan Flobamora (NTT), karena ada yang disebut ‘bandar.’ Bandar dalam ‘duduk kumpul minum-minum’ adalah orang yang sigap melayani para peminum! “Asal gelas kosong, dia segera poà (isi lagi) sopinya.” Mana orang tidak jadi mabuk kalau bandar sekian gesit melayani. Ini ditambah-tambah lagi dengan ‘kata-kata sanjungan untuk angkat-angkat’ (dalam bahasa Ende-Lio disebut ‘nggena jodho’). Para ‘pemabuk agama’ akan semakin mabok karena ia diberi panggung. Merasa diangkat-angkat. Dan merasa juga tak tersentuh oleh insititusi apapun menjadikan ia berbicara di luar tema dan terlebih dalam gelagat ‘sesuka-sukanya’ dia. Adakah terlalu banyak bandar yang melayaninya untuk bermabukria tra la la dalam agama?
Bandar-bandar yang ‘memberi ruang untuk kisah mabuk agama’ adalah siapapun yang setia mendengarkan ceramah-ceramah yang bernuansa kekerasan dan kebencian. Yang tema-temanya hanya sebatas hujatan dan tendensi mengkafirkan. Lagipula terdapat lompatan tema yang terlalu jauh intervalnya dari soal-soal agama ke rumitnya tema politik, misalnya.
Pada satu share pengalaman, seorang teman berkisah bahwa ada juga peminum (pemabuk) yang ‘cerdas.’ Tak punya duit untuk miras tapi pulang rumah sambil membawa ‘untung’ berupa bisa mabuk sopi. Itu karena di pasar harian, si peminum itu (pemabuk) rajin bergilir dari satu tempat ke tempat jualan miras berikutnya untuk sekedar ‘jual kesanggupan dalam minum.’
Adakah jurus ‘mabuk dalam jualan agama?’ Yang, katakan saja, rajin sekali dari satu tempat ke tempat berikutnya untuk ‘mempertontonkan kesanggupannya dalam mabuk agama?’ Di balik semuanya ada intensi terselubung untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan material adalah salah satu di baliknya. Di situ, para pendengar digiring kepada penghayatan agama yang kelewatan (overdosis) sambil mencederai akal sehatnya sendiri. Namun, anehnya, siapapun pendengar rela ‘berkorban secara material’ demi keuntungan ‘si pemabuk agama.’
Maafkanlah! Mungkin kita kembali lagi pada contoh ustad mualaf Yahya Waloni dalam aksi ‘kursi gereja dan kursi Islam’nya. Demi permintaan sang ustad, yang nyata-nyata tak masuk akal, beberapa orang di video YouTube itu pasrah saja demi adegan ganti kursi. Terkesan kuat bahwa alam mabuk agama itu terlahir dari lingkaran orang-orang yang memang minim pengetahuan! Namun, mereka tangkas mainkan siatnya untuk memanipulasi ketipisan pengetahuan pada sekian banyak pendengar.
Akhir Kata
Akankah geliat mabuk agama tiba pada akhirnya? Atau sekurang-kurangnya perlahan-lahan berkurang kadar overdosis-nya? Setiap insan yang beragama serentak beriman yang sungguh dan sehat pasti memiliki itikat baik untuk memeranginya. Agama, jelas, bukanlah racun atau miras yang ‘memabukkan.’
Tetapi bukan tak mungkin bahwa siapa pun dengan caranya bisa melancarkan dinamika dalam mabuk agama. Kita, sekali lagi, mesti punya kehendak yang baik, benar dan jujur untuk membangun hidup bersama dalam damai dan dalam semangat persatuan.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma