Sepotong keluh Meliana dan Rina pada Tuhan
“Agama jangan jauh dari kemanusiaan” – Gus Dur
Kisah Lama Terulang Kembali
Kisah itu terjadi lebih dari 5 tahun silam. Meliana tentu tak menyangka bakal terjadi semuanya. Suara perempuan, warga Tanjungbalai, Sumatra Utara itu berujung tragedi. Bayangkan! Rumah Meliana digeruduk massa. Tak cuma itu. Tiga vihara, delapan kelenteng, dua Yayasan Tionghoa dan satu tempat pengobatan dirusak massa. Kemarahan sejumlah orang tak tertahankan. Tanjungbalai mencekam di malam 29 Juli 2016 itu.
Ini semua berawal mula dari keberanian Meliana. Ia berkeluh kesah akan suara azan yang terkesan semakin membesar. Suara azan itu membuatnya terganggu. Meliana berkeluh pada tetangganya. Sekiranya disampaikan pada pengurus masjid. Bisakah dikecilkan volume suara azan itu? Dari sinilah, akhirnya, kisah pengadilan terhadap Meliana jadi tak terhindarkan.
Ujung-ujungnya, Meliana mesti pasrah terima putusan pengadilan. Pada Maret 2017 itu, ia dilaporkan ke Polisi. Pasal penistaan agama menjeratnya. Majelis hakim PN Medan, yang dipimpin Wahyu Prasetyo Wibowo, penuh keyakinan putuskan Meliana bersalah. Denda pengadilan Rp5000 mesti dibayar. Dan lagi hukuman 1,5 tahun mesti dijalani.
Tak hanya Meliana. Kini ada pula seorang muslimah. Namanya disamarkan sebagai Rina. Keluh kesah Rina, wanita berusia 31 tahun itu, berujung pada satu judul berita AFP (Agence France-Presse) “Ketakwaan atau Gangguan Kebisingan? Indonesia Mengatasi Reaksi Volume Azan” (Kamis, 14/10/2021).
Tuhan yang Dimuliakan Dalam Derita Manusia
Rina nyata-nyata mengidap gangguan kecemasan dan sulit tidur. Ia alami mual-mual saat hendak makan. Tak hanya itu! Katakan saja, yang membuatnya tak berdaya, ia ketakutan untuk bicara terus terang akan betapa bisingnya suara azan dari masjid dekat rumahnya.
Merasa terbangun saban hari di jam 3 pagi sungguh sangat menggangu. AFP melansir suara Rina, “Pengeras suara tidak saja dipergunakan untuk azan, tetapi juga untuk membangunkan orang 30-40 menit sebelum salat subuh.”
Meliana berkeluh terang-terangan. Untuk Rina, beruntunglah ada AFP yang lanjutkan lamentasinya. Ada pula Mad Romli, pada bulan kemarin, nyaris diseruduk masa pula. Gegara ia bersuara pada pengurus masjid RT 02/01, Desa Pangerang, Tangerang, untuk sekiranya volume suara toa diturunkan. Hanya segelintir kecil orang sajakah yang tak nyaman akan suara toa dari masjid yang dianggap bising? Atau?
Diduga saja bahwa masih sekian banyak yang tak nyaman akan suara toa. Apalagi pada keadaan tertentu, saat sakit atau keletihan teramat sangat, sungguh dibutuhkan ketenangan untuk beristirahat.
Dapat dibayangkan andai dalam satu teritori terdapat beberapa masjid berjarak ‘tak terlalu jauh’. Bukankah akan bersahut-sahutan suara azan ‘yang memanggil untuk salat?’ Dan, apa demi panggilan untuk memuliakan Allah, nasib keluh pilu dan derita manusia mesti diabaikan?
Mengganggukah Suara Azan?
Tetapi, apa benar suara azan itu mengganggu? Toh, itu tadi, semuanya tergantung pada kondisi seseorang. Itu tadi, saat tak mood secara fisik dan suasana interior diri nan redup, maka seseorang merasa bahwa apa pun bunyi suara sungguh tak menyenangkan.
Musik nan indah pun bisa jadi pengalaman tak nyaman untuk suasana dan isi batin. Apalagi suara ceper rincing-gemerincing tak beraturan. Para medis tentu tahu, seberapa besar daya kekuatan indra pendengaran manusia untuk menangkap volume suara.
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla, memang akui ‘setengah dari seluruh masjid se-Indonesia punya tata akustik yang buruk. Masalah kebisingan semakin parah.’ Katanya, ada usaha penuh maksimal untuk perbaiki sistem audio di lebih dari 70 ribu masjid. Tetapi lain lagi pendapat MUI. Patut disesalkan akan anggapan bahwa suara azan itu berisik. Amirsyah Tambunan, Sekjen MUI, buka suara, “Lagi pula pihak AFP tidak bisa menyimpulkan seorang susah tidur karena suara berisik dari azan.”
Tetapi, di Indonesia, suara azan dan masjid mesti dipandang sebagai ‘panggilan dan tempat untuk berdoa.’ Karenanya keduanya berdaya amat sensitif untuk ‘dijamah’ dengan nada yang aneh-aneh. Seperti tak tinggal diam begitu saja, Amirsah pun mengutip dari buku The Power of Azan. Terdapat keyakinan bahwa azan adalah “kalimat Allah berupa seruan dan panggilan Allah melalui seorang muazin untuk meraih kemenangan melalui kerendahan hati bertakbir…” Jika demikian, ini gawatnya bila memprotes suara azan. Mudah untuk diartikan sebagai suara ‘melawan, tak hormat dan berontak terhadap Allah.’
Maka di sinilah konsekuensi fatal bila harus bersuara penuh keluh memprotes tentang suara azan. Tetapi bila disimak penuh teduh, yang direaksi itu bukan suara azan-nya. Cuma sebatas volume suaranya yang semakin menjadi-jadi, dan dianggap terlalu ‘kepagian’ disuarakan. Meliana, Rina, dan entah siapa lagi, sudah dan bakal dipidanakan dengan pasal penistaan agama. Tetapi, sebenarnya apa yang dinistakan?
Sungguhkah Menistakan Agama?
Tak ada doktrin dan tradisi agama yang dinistakan. Tak ada isi Kitab Suci Al Quran yang dilecehkan. Tak ada pula ritual berdoa yang dihinakan. Tak ada hadits-sunah Nabi Muhammad yang dinodai. Sama sekali tidak! Yang dikeluhkan adalah hanya volume suara toa masjid yang sepantasnya dikurangi.
Ini jelas bukan penistaan seperti Muhamad Kace yang bersuara bahwa ajaran Nabi Muhammad adalah sederet mitologia. Atau pula Joseph Paul Zang yang tetap gencar mengobrak-obrak isi Al Quran. Ini tentu sebanding dengan Yahya Waloni yang lantang bergema, “Bible Kristen itu palsu.” Atau Abdul Somad yang dengan entengnya bersuara, “Karena di salib itu ada jin kafir…”
Siapa yang tak akui bahwa Islam adalah agama mayoritas di Indonesia? Bahkan di seluruh dunia, semua sudah pada tahu bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak sejagat bumi. Sisi mayoritas inilah yang dijadikan dasar pikiran Ahmad Riza Patria. Sang wakil Gubernur DKI Jakarta ini, nampaknya enteng berasumsi, “Jadi sejak nenek kita, leluhur kita udah ada azan jadi tidak dipermasalahkan kalau ada di media asing.”
Aura dominasi islami memang terang menyata. Sebenarnya tak ada yang perlu dicemaskan. Demi mayoritas, mata se-tanah air sudah terbiasa memandang masjid dan surau di mana-mana. Demi mayoritas indra perasa diproteksi untuk tak terjerat dalam makanan atau kuliner haram. Mesti aman dalam berbagai produk alimentasi berlabel halal. Dan kini, apakah demi mayoritas, indra pendengaran mesti dipaksabiasakan dengan volume azan yang semakin meninggi?
“Kepada-Mu, Tuhan, Kami Pasrahkan”
Tetapi, sebaiknya Meliana atau Rina atau pun barisan pengeluh lainnya, langsung bersuaralah pada Allah ‘pemilik suara azan.’ Bahwa di Indonesia, dengan situasi yang amat pluralistik ini, semoga suara panggilan doa (azan) itu bervolume toleran.
Terdapat sekian banyak saudara-saudari yang tak nyaman di hati akibat tamparan derita dan sakit. Bukankah demi utamakan sebuah mobil ambulans atau kendaraan pemadam kebakaran lewat, segala tumpah ruah dan mayoritas kesibukan di jalanan umum mesti rela berkorban dan mengalah demi sekelompok bahkan satu yang lagi menderita dan dilanda bencana?
Di titik ini, teringatlah kita akan suara lonceng gereja pada beberapa wilayah di Inggris. Tertangkap betapa tolerannya Pendeta Christopher Brown, di Pembrokshire, Inggris barat daya. Dari gereja yang diurusnya, tak ada lagi suara lonceng gereja berdentang di setiap Minggu pagi pada pukul 08.00.
Para warga lakukan protes akan suara lonceng. Dianggap berisik dan sekian mengganggu. Padahal lonceng itu telah berdendang dalam kurun waktu 161 tahun. Kini, jadilah ia lonceng gereja emeritus.
Ini karena warga ingin tidur tenang hingga Minggu pagi. Tak mau terusik oleh bisingnya suara lonceng gereja. Padahal lonceng gereja itu diintesikan untuk memanggil jemaat demi beribadah bersama. “… kami mematuhi permintaan mereka karena kami ingin menjadi tetangga yang baik,” itulah suara Brown. Inikah yang disebut pengorbanan? Untuk tidak mengorbankan orang lain hanya demi sebuah panggilan sakral dan kultis? Entahlah.
Tetapi, tidakkah suara azan itu adalah memang panggilan Allah kepada manusia beriman yang konkret dan membumi? Bagaimanapun semuanya sebenarnya tergantung dari niat hati dan gema batin manusia itu sendiri. Seberapa pekanya dia memvolumekan suara azan melalui pelantang suara. Karena toh, pasti ada perbedaan antara mana suara syahdu azan sebagai panggilan untuk berdoa atau mana yang ‘diatur sekian’ sebagai kebisingan lantang bersuara hanya dalam bingkai: memang mayoritas!
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma