Di samping itu karena terbatasnya kesempatan kerja yang disediakan masyarakat dan pemerintah, lulusan yang memiliki kemampuan inovatif berpikiran kreatif dan bersifat entrepreneur akan sangat dihargai karena kemampuannya untuk menciptakan sendiri lapangan kerja.
Oleh Umbu Tagela, Pengajar di FKIP-UKSW Salatiga
Rumpang (gap) yang selama ini terjadi antara PTS dan PTN lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah, sehingga mengakibatkan terjadinya marginalisasi PTS. Fenomena empirik tersebut memiliki induksi pada proses akselerasi ilmu dan teknologi, yang terpaut dengan dampaknya terhadap segi-segi institusional dan akademik dari perguruan tinggi (selanjutnya disebut PT).
Pengaruhnya berdampak pada ekspektasi mahasiswa dari keterlibatannya secara langsung dalam proses belajar dan kepenadannya (relevansi) dengan dunia kerja. Ekspektasi model begini tidak terlepas dari peranan PT sebagai institusi produktif dan karenanya “economic performance” dari masyarakat akan dihubungkan dengan kemampuan PT untuk menghasilkan tenaga kerja terampil maupun dimensi-dimensi lain dari sumber daya manusia secara umum.
Khazanah ilmu pengetahuan yang terus berkembang, bahkan akumulasi dari informasi baru akan membuat ilmu pengetahuan yang ”established” dan “whole bodies of knowledge” menjadi ketinggalan zaman dan karena itu ”fragile” untuk dipertahankan sebagai pengetahuan yang standar dan baku. Untuk mengubahnya kita bukan hanya menyentuh macam dan banyaknya, tetapi yang terutama adalah konsepnya.
Dalam masa sebelumnya pengetahuan yang baku bersifat tentu dan tidak berubah, karenanya dapat dipelajari kembali seperti semula dalam waktu yang berbeda. Pada masa sekarang, pengetahuan baik konten maupun metodologinya selalu berkembang. Karena itu apa yang dipelajari harus diuji kembali atau diformulasikan dan diperluas secara kontinu.
Ada banyak yang harus diteliti tetapi masih lebih banyak lagi yang belum ditemukan. Dalam tautan ini PT tidak dapat mengutamakan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran saja, dimensi modernnya terdapat pada kemampuannya untuk mengadakan, memelihara dan mengembangkan penelitian.
Temuan penelitian dimaksudkan untuk menopang proses berilmu itu sendiri dan untuk memberi kontribusi melalui bentuk-bentuk utilisasi ilmu itu untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
Sisi lain berhubungan dengan economic performance dari masyarakat adalah produktivitas PT sebagai aspek yang penting dari akuntabilitas. Mengapa? Tidak lain karena adanya ketergantungan yang langsung antara lulusan yang bermutu dan bermotivasi tinggi, kapabel dan berkemampuan dengan economic performance .
Di samping itu karena terbatasnya kesempatan kerja yang disediakan masyarakat dan pemerintah, lulusan yang memiliki kemampuan inovatif berpikiran kreatif dan bersifat entrepreneur akan sangat dihargai karena kemampuannya untuk menciptakan sendiri lapangan kerja. Dengan demikian mereka tidak turut berkompetisi untuk merebut jenis-jenis pekerjaan konvensional yang sudah terbatas.
Jadi dari sisi kepentingan masyarakat (dunia kerja) maka PT harus menjadi sadar bahwa salah satu jalan menuju ke karier yang sukses di masa depan, lulusannya harus memiliki sikap serta mentalitas yang enterprising dan inovatif.
PT juga dituntut untuk memiliki sikap yang realistik dan menerima bahwa salah satu fungsinya yang modern adalah menyediakan pendidikan yang bersifat praktis yang berorientasi pada pengembangan karier. Sikap ini mesti dipahami dalam konteks bahwa menjadi realistik tidak berarti mendegradasi fungsi akademik menjadi lembaga pendidikan vocasional saja yang didikte oleh ekspektasi mahasiswa.
Pendidikan tinggi yang berorientasi pada karier amat terkait dengan physic based disciplines, engineering, kedokteran pertanian dan sebagainya. Juga ada andaian (asumsi) yang keliru yang menganggap bahwa mengembangkan kepakaran profesional bertentangan dengan konsep pendidikan humanistic untuk membentuk manusia seutuhnya.
Tantangan abad XXI
Almarhum Soedjatmoko (1985) dalam suatu pertemuan dengan Unesco mengatakan, “In looking to the future, I believe that it is the capacity to learn that will determine, perhaps more than other single factor, the viability, autonomy, and integrity of Asian societies.” Sehubungan dengan perubahan yang terus menerus terjadi dalam konteks maupun konten dari ilmu pengetahuan yang dipelajari, terdapat kebutuhan untuk mempertanyakan seberapa mampu sistem pendidikan yang ada dapat menyerap akumulasi pengetahuan yang baru.
Pemikiran tradisional tentang ”the acquisition of knowledge as the endpoint of learning” tidak dapat lagi diteruskan. Tantangan masa depan terletak pada kemampuan untuk mengembangkan bagi individu maupun masyarakat suatu kapasitas untuk belajar secara berkelanjutan, memberikan respons yang kreatif dan kemampuan memberikan penilaian maupun pendapat yang kritis. Apalagi di era digitalisasi. Jelaslah bahwa proses belajar yang demikian akan menuntut kemampuan baru dari dosen-dosen di perguruan tinggi.
Untuk memiliki kemampuan intelektual yang dikatakan sebelumnya, orang harus memiliki juga pengetahuan mutakhir tentang berbagai aspek. Paling tidak dalam disiplin ilmunya sendiri seorang mahasiswa tidak ketinggalan kereta. Persoalannya adalah seberapa lentur kapasitas belajar seorang manusia? Toffler (1990) pernah mengatakan kesadaran berpikir manusia amat tergantung kepada kemampuan untuk mengabsorb, memanipulasi, menilai serta mempertahankan informasi yang diterima.
Hal Ini menunjukkan bahwa walaupun manusia adalah sumber yang terus menerus menemukan sehingga terjadi akumulasi pengetahuan baru, ia sendiri memiliki keterbatasan dalam memproses informasi tersebut. Hal ini berbeda dengan penemuan manusia akan komputer yang memiliki kapasitas “tidak terbatas” dalam menampung informasi.
Apa yang perlu dimiliki oleh manusia untuk mempergunakan komputer tersebut bagi kepentingannya adalah menguasai teknik untuk menarik keluar informasi tersebut dan menggunakannya sesuai kebutuhan.
Hal ini menunjuk pada kenyataan bahwa dunia ilmu pengetahuan akan turut menimbulkan “information overload” sehingga kalau dipaksakan maka daya tampung informasi yang terbatas pada manusia hanya akan menimbulkan distorsi bahkan kekeliruan.
Permasalahan di dalam belajar adalah bukan bagaimana menguasai seluruh informasi yang telah didokumenter, tetapi bagaimana memperolehnya dengan menggunakan teknik-teknik mutakhir yang tersedia serta pemilihan kemampuan untuk mengantisipasi hal-hal baru yang akan terjadi.
Itulah sebabnya dalam menyiapkan mahasiswa agar tidak terperangkap dalam future schooknya Toffler, Werdell (1974) menganjurkan bahwa ”…the new styles of learning must prepare students for imagining possible futures, for predicting probable futures, and for deciding a bout preferable futures.”
Tanpa munculnya sikap dosen yang mendorong terlaksananya proses belajar demikian dapat disimpulkan bahwa ada ketidakpercayaan terhadap kemampuan serta kapasitas mahasiswa. Kesimpulan semacam itu bisa saja dibiarkan oleh karena di dalam kenyataannya proses pendidikan hanyalah gandrung untuk menganalisis informasi yang sudah ada bukan mendorong pemikiran yang spekulatif dan sintesis. Yang masih terjadi sekarang adalah bahwa kurikulum PT belum dapat melepaskan diri dari tradisi yang sangat teacher based dan text-book centred.
Andaian yang dipertahankan adalah bahwa pengetahuan yang hendak ditransmisi akan dikuasai dengan sendirinya oleh mahasiswa apabila kontennya dapat diorganisir ke dalam format perkuliahan. Hal ini nampak sekali dalam keyakinan yang berlaku bahwa, apabila mahasiswa telah dapat mengumpulkan pengetahuan yang banyak, apalagi jika menunjukkan adanya kemampuan analisis secara intelektual maka ia akan sanggup. Lebih dari itu siap untuk memasuki kehidupan masyarakat dengan segala tantangan dan permasalahannya. Yang terjadi dalam kenyataan adalah sebaliknya, mahasiswa menemukan perbedaan yang besar antara yang dipelajari secara teoritik dengan realitas hidup.
Tugas PT di masa depan adalah mengaktualkan upaya yang (secara produktif dan “up to date”) memadukan kuantitas serta kualitas sumber daya manusia serta hasil karya pendidikan tinggi untuk memenuhi keperluan manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat dalam konteks pembangunan ekonomi maupun pembangunan bangsa dan negara.
Jikalau dihubungkan dengan uraian sebelumnya tentang ekspektasi mahasiswa dari pendidikannya, maka, isu tentang kepenadan (relevansi) tersebut mengandung pertimbangan-pertimbangan prinsipil. Di satu pihak terdapat tanggung jawab PT untuk memenuhi harapan mahasiswa agar setelah usai masa studinya ia akan mampu memperoleh, memenuhi atau menciptakan sendiri lapangan kerja yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang telah diikutinya.
Tetapi, di pihak yang lain, kemiskinan, pertumbuhan penduduk, keterbelakangan, penyusutan sumber alam, pencemaran lingkungan bahkan konflik horisontal, semuanya merupakan permasalahan yang merupakan sebagian saja dari permasalahan sosial yang dihadapi umat manusia didunia.
Karena itu, internalisasi dalam diri mahasiswa akan kepekaan dan kesadaran terhadap lingkungan sosial dan lebih dari itu pengembangan kemampuan untuk memutuskan, jikalau perlu secara normatif, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat adalah aspek lain dari konsep relevansi tersebut.
Observasi serta analisis yang dikemukakan di atas sebenarnya menunjukkan betapa berubahnya peranan PT di masa depan. Oleh karena itu tugas dosen pada lembaga pendidikan tinggi memiliki kompleksitas yang makin meningkat. Salah satu tantangannya adalah bagaimana menghindari pendekatan yang terkotak- kotak dan sebaliknya mengembangkan pendekatan inter serta multidisipliner untuk melaksanakan misi PT.
Pendidikan angkatan pemimpin
Salah satu tantangn lain dari dosen PT di masa depan berhubungan dengan misi PT adalah mendidik angkatan pemimpin bangsa. Makin dirasakan kebutuhan agar PT tidak hanya berhenti pada bagaimana menghasilkan teknokrat dan para pakar yang memiliki keahlian yang penad (relevan) dengan kebutuhan pembangunan.
Tapi, harus dikembangkan kepedulian agar melalui PT akan dilahirkan suatu angkatan pemimpin yang bertanggung-jawab. Untuk menjamin proses pendididikan angkatan pemimpin, beberapa peranan PT di masa yang akan datang perlu dirumuskan secara eksplesit.
Pertama, ialah keyakinan bahwa suatu PT adalah juga suatu “community of higher learning”. Dalam komunitas yang khas serupa harus terjadi “transfer of knowledge”, tetapi tansfer tersebut berlangsung dalam suatu relasi pedagogis antara dosen dan mahasiswa. Relasi itu ditandai oleh solidaritas yang satu terhadap yang lain didasarkan atas kesadaran bahwa di antara mereka ada kesetaraan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Kedua, yang harus menjadi dasar dalam upaya transfer pengetahuan itu adalah penelitian terhadap dunia ciptaan Tuhan yang mengandung kebenaran. Karenanya tujuan penelitian tersebut harus merupakan pelayanan kepada Tuhan sendiri.
Ketiga, masyarakat ilmiah bertugas untuk membina kepemimpinan. Kepemimpinan tersebut terkait secara langsung dengan berbagai jabatan sehingga mengisi suatu jabatan merupakan suatu panggilanNya. Dengan demikian maka panggilan terhadap suatu jabatan adalah pula suatu panggilan untuk memenuhi kewajiban dan karenanya merupakan suatu panggilan yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Itulah sebabnya panggilan itu adalah panggilan untuk penghakiman.
Dalam konteks demikian maka tugas PT adalah untuk membentuk manusia yang ahli dalam bidangnya tetapi sekaligus sensitif secara spiritual dan moral. Mereka inilah juga pemimpin yang modern karena mereka dapat membebaskan dirinya dari kungkungan nilai budaya yang menghambat pembangunan tetapi juga merupakan kelompok manusia yang secara kritis mampu mewujudkan dan meneruskan apa yang diharapkan dari padanya, yaitu melaksanakan transformasi sosial.
Sebagai bagian integral dari kualitas lulusan dalam konteks tadi, maka bukan saja dituntut adanya iman yang kukuh tetapi juga pemahamannya secara kontekstual. Kualitas semacam itu penting oleh karena dalam memainkan peranan kunci kompatibilitas antara modernisasi dan keagamaan bukan hanya merupakan filosofis tetapi merupakan sesuatu yang praktis dalam relasi-relasi kemanusiaan yang konkret.
Itulah berbagai kecenderungan yang melukiskan tentang fungsi dan peranan PT di masa depan. Tantangan terhadap dosennya tentu terletak pada bagaimana melaksanakan pembinaan yang dapat menghasilkan lulusan yang dapat memenuhi panggilannya untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terhadap pembangunan serta modernisasi bangsa dan negara.
Para dosen di PT harus membebaskan proses belajar mengajar dari kungkungan pola konservatif dengan asumsi: 1) Dosen bukan lagi menjadi pengangsur utama dari ilmu yang diajarkan, ia bukan lagi seorang instructor of knowledge, tetapi ia hanya seorang fasilitator belajar yang kreatif, 2) Mahasiswa bukan lagi merupakan tempayan kosong yang perlu diisi dengan informasi sampai tumpah ruah, tetapi mahasiswa merupakan seorang partisipan yang aktif dalam mencari, menguji dan mengembangkan ilmu yang dipelajarinya.