Dia kelana ke Jakarta setelah ‘diusir’ saudara tuanya dari kota karang Kupang, karena terlalu sering berkelahi.
Oleh Pius Rengka
Sekolah formal itu tidak penting. Bahkan tidak lebih penting dari perjuangan di tepi jalan. Dihajar sengat mentari siang, digulung selimut malam nan pekat dan dingin. Dia luntang lantung sejak tahun 1991, terkatung-katung digantung di jantung Kota Jakarta. Dia kelana ke Jakarta setelah “diusir” saudara tuanya dari kota karang Kupang, karena terlalu sering berkelahi.
Modal ke Jakarta cuman keberanian dibekali bacaan Ko Ping Ho dan Injil. Dia gemar membaca injil dan Ko Ping Ho sejak usia dini. Tetapi dia juga gemar bertarung di jalan raya. Tak pernahlah dia sekolah wajar sebagaimana orang biasa.
Sekolah benaran dalam pengertian agak santun, adalah sekolah di sekolah bermutu baik, genap rajin isi daftar hadir, juga peroleh rapor sesuai jadwal rutin tiap semester, lalu naik kelas. Tetapi, pria kelahiran Oenesu, 17 Februari itu tak laku. Dia sekolah tidak pernah jelas seturut rumusan sekolah wajar umumnya. Dia berlari dari sekolah dan pergi sekolah dengan berlari agar tidak dihujat kalangan terbatas.
Kini jalan sejarah pendidikannya telah genaplah sudah. Genaplah sudah, perjalanan jalanan, dan merajut ilmu menuju bangku suci kuliah hingga menempuh usai S3. Viktor Bungtilu Laiskodat, genaplah sudah meraih gelar sangat prestisius Doktor pada Studi Pembangunan di Fakultas Interdisplin, Universitas Kristen Satya Wacana.
Tanggal 22 Oktober 2021, tepat jam 09.00 WIB. Di aula Balairung UKSW, tujuh dosen penguji mengepungnya dengan pertanyaan. Ujian terbuka. Dari panggung agak ketinggian, dia mengaku agak sedikit bimbang. Aura ruangan Aula Balairung UKSW hening ketika presentasi disertasi dituturkannya selama 30 menit. Hujan pertanyaan datang dari tujuh penjuru. Dan, dia menjawab tidak tergesa, tetapi juga tidak kehilangan fokus. Maka dia dihadiahi lulus dengan predikat cumlaude.
Gembirakah dia? Tidak, dia wajar saja. Cuman senyum sambil merunduk. Dalam sepotong sambutannya, nyaris meneteskan air mata. Katanya, setelah direnungkan, bagaimana ceriteranya orang seperti saya boleh meraih gelar sangat terhormat ini. Ucapan terima kasih mengalir kepada semua dosen pembimbing, juga kepada para handai tolan yang bahu-membahu membantu melancarkan urusan ilmu ini.
Tahun 2015. Itu peristiwa amat sangat menentukan di Maumere, di Hotel Sylvia. Adalah Profesor Daniel Kameo sedang prospek ke Chris Mboeik agar pergi sekolah. Saat itu, Chris Mboeik, hanya mengatongi ijasah S1 tetapi memimpin sebuah surat kabar. Kata Prof Kameo, adalah kurang mengesankan seorang pemred memimpin media dengan modal cuman S1. Sesungguhnya Prof Kameo hanya provokasi. Tujuannya untuk meyakinkan Chris Mboeik untuk sekolah lagi.
Chris Mboeik bimbang. Tarik ulur gagasan. Mengapa? Karena argumen ditawarkan hanya untuk menegaskan bahwa sekolah belum diperlukan. Tetapi, Prof Kameo mendesak. Fokus prospek Chris Mboeik. Prof Kameo tak sedikit pun menoleh Viktor Laiskodat. Viktor duduk di seberang meja. Tetapi, serta merta, suara tandas dan tegas berkata: “Daftarkan saya satu mahasiswa S2 di Studi Pembangunan Fakultas Interdisiplin UKSW,” ujar Viktor. Prof Kameo cuman tersenyum. Serius? Ya! Maka sejak tahun 2015 itulah Viktor resmi menjadi mahasiswa S2 di UKSW.
Sejak itu pulalah, sejarah sekolah baginya dianggap serius. Viktor mengaku, Prof Kameo adalah tokoh pengganggu tetapi juga orang yang berhasil meyakinkannya bahwa sekolah itu penting, sekolah di sekolah formal itu penting, sekolah dengan para mahasiswa dengan jadwal jelas itu perlu.
Sebenarnya, Viktor B Laiskodat memang rakyat jelata biasa. Orang-orang sangat biasa dengan cita-cita yang juga sangat biasa. Tetapi, ajaran Ko Ping Ho dan biblis, telah menuntunnya ke jalan-jalan hidup serba peduli pada derita rakyat yang melata merana, meski hidupnya sendiri sungguh kelam.
Namun, satu hal yang diperolehnya dari kehidupan jalanan, ialah bahwa seorang pemberani hanya sekali merasakan ajal. Dan jika pun ajal itu datang menjelang menyongsong di hari kapan, itu tidak lagi dia peduli. Pengalaman hidupnya mengajarkan begitu, hingga akhirnya dia meraih tak hanya kursi jabatan legislatif, gubernur, tetapi juga gelar prestisiusnya direngkuh.
Usai ujian terbuka, tak ada pesta. Tak ada dansa-dansi sebagaimana umumnya pesta kelulusan orang kebanyakan. Hanya makan nasi liwet masakan orang rumahan di rumah kediaman Prof Kameo di sebuah puncak bukit nan sejuk, sambil berkisah tentang masa depan NTT.
“Semua kita terpanggil untuk menarasikan kembali NTT sebagai provinsi kaya. NTT tidak miskin, tetapi NTT belum utuh dipedulikan oleh orang-orangnya sendiri. Kita habiskan waktu hanya untuk baku sindir, baku olok, dan baku hantam. Tetapi rakyat tetap menderita. Maka bangkitlah, kita menarasikan kembali NTT dengan kabar gembira,” ujarnya menasihati para mahasiswa, entah dari mana yang membawa sekuntum bunga sebagai hadiah kelulusannya.
Atas nama rakyat, saya ikut melarat. Tetapi kita sama-sama bangkit dari derita, bukan karena pilihan tetapi karena pilihan tidak selalu banyak untuk mereka yang menderita.
“Saya peduli kepada orang miskin dan menderita bukan lantaran karena mereka pasti selalu benar, tetapi karena mereka pasti membutuhkan perhatian dan kepedulian orang lain. Pemerintah wajib melakukannya karena dia memiliki peluang yang lebih besar untuk mengubah nasib rakyat,” ujarnya.
Tak sedikit pun dia menyinggung tentang disertasinya. Tatkala ditanya, mengapa tidak mengisahkan ceritera tentang disertasi itu? “Semua yang ditulis di disertasi itu adalah tentang semua hal yang kini sedang saya kerjakan di NTT, khusus tentang pariwisata,” ujarnya tanpa berkomentar lagi. Pulang dari rumah Prof Kameo persis agak tengah malam. Tak ada lagi riungan sirene.
Dia sendiri mengendalikan mobil sewaan ketika pulang dari sebuah rumah makan di Kopeng tak jauh dari tepi barat Salatiga. Prof Dr Intyas Utama mendampinginya sambil berkisah tentang pertumbuhan UKM di Salatiga. Dan, di rumah Prof Kameo, hadir antara lain Dr Wilson Therik, Prof Dr Fred Benu, dan Ibu Titiek, PhD yang adalah dekan Fakultas Interdisiplin. Tampak sejumlah calon mahasiswa doktoral hadir, dan lainnya masih berkubang dengan tulisan yang belum menemukan ujung jelas. Begitulah.
(dp)