Bagi saya inilah tokoh yang saya anggap sebagai figur yang mampu menginspirasi dan menjadi teladan dalam masyarakat dan orang muda NTT.
Oleh Valensius Ngardi
Siapakah di antara kita mempunyai pengalaman serupa tentang perjumpaan dengan tokoh, publik figur, atau pejabat yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan hadir dalam hidup kita; bisa menimbulkan berbagai macam perasaan dan pengalaman yang unik? Di awal perjumpaan, banyak yang merasa terkejut atau bahkan tidak percaya, terutama jika orang tersebut memiliki peran atau pengaruh besar dalam hidup di tengah masyarakat. Rasa canggung atau segan itu bisa memudar seiring berjalannya waktu, ketika kita saling mengenal lebih dekat. Dalam proses itu, kita mulai menemukan ikatan emosional yang tidak hanya berbasis pada posisi sosial atau status, tetapi juga pada kesamaan pengalaman, pemikiran, atau minat.
Seiring berjalannya waktu, perjumpaan tersebut membuka pintu bagi pengalaman yang lebih dalam dan hubungan yang saling memperkaya. Ketika kita membuka diri, ada kemungkinan besar terjalinnya hubungan yang saling memperkaya. Pertemuan semacam ini mengajarkan kita bahwa hidup ini penuh dengan kemungkinan yang tak terduga. Perjumpaan tidak hanya soal bertemu fisik, tetapi juga soal pertukaran gagasan, nilai, dan pengalaman yang akhirnya membentuk makna yang lebih dalam hidup kita.
Menghadirkan Memori Keluarga
Pagi itu, tepat pukul 08.00 WIB, pada 27 November 2024, sebuah nomor baru masuk di handphone saya. Tanpa menunggu lama, saya membuka pesan WhatsApp yang mengabarkan kedatangan seorang tamu, yang langsung mengingatkan saya pada sebuah nama yang tidak asing lagi. Pesan tersebut membuat saya teringat pada ‘Bapak Pius Rengka‘. Nama itu berputar dalam pikiran saya, seperti rotasi Spider-Man, sebuah lelucon yang sempat saya pikirkan saat itu.
Pertama, saya harus bernostalgia lagi dengan nama itu, mengingat kembali kenangan indah bersama keluarga Bapak Pius, terutama kedua orangtuanya yang kini telah berada di istana keabadian. Sekitar tahun 1988 hingga 1992, saat saya bersekolah di SMPK St. Stefanus Ketang Rejeng, saya mengenal Bapak alm. Geradus Rengka dan Ibu almh. Ben sebagai sosok humanis, cerdas, pendidik sejati, dan sangat berjiwa Katolik—boleh dibilang, Katolik garis keras. Pada waktu itu, saya masih remaja dan lebih dekat dengan ibu Bapak Pius Rengka. Saya sering berinteraksi dengan beliau saat membeli aneka buah yang selalu kami konsumsi di pastoran.
Pater Thomas Krump, SVD selalu memesan buah-buahan seperti nenas, pisang, jeruk, mangga, dan kadang-kadang pepaya atau singkong dari kebun keluarga mereka. Saya sering menemani bunda untuk memetiknya, dan yang membuatnya begitu istimewa, ia tidak pernah mematok harga untuk hasil kebunnya. Bahkan, sering kali ia menolak uang yang sudah saya siapkan untuknya. Dengan tulus, bunda memberikan hasil jerih payah kebunnya kepada Pater Thomas dan anak-anak di pastoran.
Kisah ini menjadi bagian penting dalam potret saya tentang sosok ibu yang mengajarkan saya dan masyarakat bagaimana merawat lahan dengan penuh ketekunan dan cinta, menjadikannya sebuah agro buah yang tidak semua orang bisa kelola dengan sepenuh hati untuk berbagi kepada sesama. Inilah yang paling menarik bagi saya tentang keluarga Bapak Geradus Rengka. Budaya seperti ini perlu dirawat karena menyuburkan nilai-nilai kebaikan, ketulusan, dan dedikasi yang terpancar dalam tindakan keluarga Bapak Geradus Rengka, memberikan gambaran yang lebih hidup dan penuh makna dalam peziarah hidup ini.
Kedua, kenangan yang sempat terlupakan dalam kepala mulai terkuatkan, memaksa saya untuk mengingat perjumpaan dengan saudari Bapak Pius yang bersuami tentara, Pak Marcel, di kompleks Perumahan Tentara di Kota Magelang. Sekitar tahun 2004, bersama Bapak Agus Naban dari Golonderu (keluarga Pater Rio, SVD), saya mengunjungi Pak Marcel dan keluarganya. Kami menghabiskan waktu cukup lama berbincang, ditambah lagi dengan reuni kakak tingkat alumni SMPK Ketang, Kakak Hironimus Ndeon, yang tak lain adalah adik dari Pak Marcel.
Salah satu kenangan yang saya ingat adalah saat kami berwisata ke Candi Borobudur. Pengalaman ini memberi kesan yang lebih hidup dan penuh makna, bagaimana hubungan sosial dan kenangan indah dalam perjalanan tersebut, amat berkesan hingga saat ini.
Ketiga, pada tahun 2008, saya bertemu lagi dengan Pak Marcel di Jayapura, seakan menghidupkan kembali relasi yang lama terputus akibat tugas dan karya yang sulit saya prediksi.
Keempat, perjumpaan tak terduga dengan Bapak Pius Rengka di Kota Yogyakarta pada 27 November 2024, ternyata membuka mata saya bahwa keluarga Bapak Geradus Rengka sudah menjadi bagian dari perjalanan panggilan hidup saya saat ini. Ruang perjumpaan ini menjadi oase kedalaman hubungan yang terjalin kembali setelah sekian lama, serta mengungkapkan makna penting pertemuan terakhir yang menghubungkan masa lalu dengan perjalanan hidup yang sedang dijalani saat ini.
Siapa Bapak Pius Rengka?
Pada kajian ilmiah, profil tokoh yang menginspirasi tak hanya menjadi bagian dari narasi, tetapi juga berfungsi sebagai peta yang mengarahkan penulis dalam merangkai temuan-temuan di lapangan. Dengan cara ini, saya merasa penting untuk mendeskripsikan Bapak Pius Rengka, melukiskan sosok beliau sebagai sarana untuk lebih mendalami dan mengenalnya dengan lebih dekat, agar artikel ini tidak sekadar berisi fakta, tetapi juga mengalirkan pemahaman yang lebih personal dan mendalam bagi saya; yang saat ini sedang belajar menulis dengan arahan beliau.
Bapak Pius Rengka, menamatkan SDK di Rejeng, Paroki Rejeng (1969), lalu meneruskan formasi pendidikan ke SMPK Ndao Ende (tamat 1972), lalu SMAK Syuradikara (tamat 1975). Kemudian melanjutkan studi di Kota Yogyakarta di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atau UGM (tamat 1983) dan menyelesaian S2 di UGM pada program studi Perdamaian dan Resolusi Konflik (tamat 2004). Sekarang beliau, sedang menyelesaikan program Doktor (S3) pada Fakultas Interdisiplin Studi Pembangunan di UKSW, Salatiga, Jawa Tengah. Beliau dikarunia 3 orang anak (2 laki, 1 perempuan).
Bapak Pius, di tengah gempuran dan gerusnya teknologi literasi digital, membangun detakpasifik.com dengan maksud agar para intelektual muda NTT khususnya, mengembangkan diri mereka dalam bidang ilmu pengetahuan dan informasi agar mereka menyadari bahwa sekolah atau tamat dari universitas itu tidak cukup jika tidak memiliki akses yang luas terhadap pembangunan dan pengetahuan.
Nah detakpasifik.com dibangun dengan dua maksud, yaitu bahwa jurnalisme yang hendak dikembangkan itu adalah jurnalisme damai tetapi mencerahkan, dan mengingatkan bahwa kecenderungan ekonomi dunia atau global akan mengalir ke Pasifik. Bapak Pius mengharapkan agar anak-anak muda harus dibiasakan berbicara tentang konsep dan memiliki keterampilan teknis yang memadai agar tidak kalah dengan China, Taiwan, Jepang, Korea dan dan Eropa.
Kekhasan detakpasifik.com sesungguhnya dalam teknik penyajian beritanya dan ketepatan data informasi. Memang musuh utama dalam tim kerja itu adalah malas, dan bodoh. Artinya etos kerjanya lemah, dan tidak memiliki impian yang handal ke masa depan dan dunia.
Memberi Energi Positif
Dalam sering kami, di Komunitas Bruderan Alverna MTB semalam suntuk, Bapak Pius tidak sungkan-sungkan mengungkapkan tujuan kuliah di usia yang tidak terbilang muda lagi. Saya kagum dengan beliau. Saya membahasakan usia 60 itu adalah sebagai warga budaya yang masih produktif. Bapak Pius terkesan dengan pengalaman seorang ibu yang kuliah di Filsafat Driyarkara Jakarta dalam usia 60 mengambil jenjang S1 dan S2. Dari sering beliau, memberi semangat pula untuk saya yang saat ini sedang menekuni ilmu di luar dari kemampuan saya. Bapak Pius mempunyai tujuan misi yang sama.
Beliau mengambil S3, sesungguhnya untuk menyelesaikan semua jenis jenjang studi agar para anak muda terprovokasi untuk menggali dan mempelajari ilmu tanpa batas usia. Beliau memilih UKSW, karena di sana ada Fakultas Interdisiplin Studi Pembangunan. Tidak ada studi yang tidak ada kaitannya dengan manusia atau kepentingan manusia. Selain itu, kuliah S3 mata kuliahnya sedikit, lebih banyak riset mandiri. S1 dituntut untuk mengerti teori, S2 untuk membedah teori, dan S3 untuk menciptakan teori.
Beliau, memberi pesan yang magis buat orang muda khususnya untuk intelektual muda, agar jangan cepat puas diri dengan hanya tahu sedikit, dan musuh utama kegagalan intelektual ialah malas dan bodoh yang ditampakkan melalui etos kerja yang lemah dan tidak bertanggung jawab. Beliau mulai menulis sejak semester 2 di FH UGM dulu sampai sekarang. Baginya, menulis itu belajar, dan belajar itu menulis. Jadi tidak ada sebutan intelektual tanpa menulis. Gelar itu dapat dicapai kapan dan di mana saja, tetapi menulis adalah tanda bahwa yang bersangkutan adalah terpelajar. Orang malas tetapi ada gelar tidak lebih dari calon sekolah. Ungkap Bapak Pius dengan nada leluconnya sebagaimana yang saya kutip dari pesanan WA-nya saat itu.
Berbagi Gagasan di Kota Yogyakarta
Siapa yang tidak mengenal Kota Yogyakarta? Kota ini, dikenal sebagai kota budaya dan pendidikan yang menjadi tempat bertemunya berbagai generasi. Interaksi lintas generasi dapat memperkuat nilai-nilai tradisional dan membangun harmoni sosial. Dalam perbincangan kami muncul dalam benak saya dengan masalah spontan. Bagaimana perbedaan pola pikir dan gaya hidup antargenerasi sering memunculkan tantangan dalam komunikasi.
Rupanya Bapak Pius melintasi generasi. Tidak ada gap generasi dalam membahas fenomena zaman now. Malahan saya banyak belajar dari beliau. Di sinilah saya merenung bagaimana makna perjumpaan dengan beliau, tidak sekadar bertemu, akan tetapi lebih dari itu. Boleh dikatakan saya telah menggali makna dari perjumpaan antara tokoh ini dan dampaknya terhadap pengembangan saya menulis hingga bisa ditayangkan di portal detakpasifik.com. Semuanya berkat dari perjumpaan yang tidak terduga dengan beliau sebelumnya.
Habitus Baru dalam Perjumpaan
Saya merasa bersyukur bisa bertemu dengan tokoh ini. Bagi saya inilah tokoh yang saya anggap sebagai figur yang mampu menginspirasi dan menjadi teladan dalam masyarakat dan orang muda NTT. Beliau tidak hanya sekadar transfer pengetahuan tetapi memberi ulasan pengalaman nyata yang sudah dihidupi hingga saat ini.
Perjumpaan dengan Bapak Pius, membentuk ruang dialog multiaspek. Salah satu yang saya masih ingat adalah bagaimana membangun ekologis yang mempertahankan kearifan lokal di tengah modernisasi di NTT khususnya di Manggarai tepatnya di Kecamatan Lelak. Bagi saya kekuatan kata-kata beliau menjadi inspirasi dan motivasi bagi saya sebagai generasi muda mendapatkan teladan untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Baca tulisan lainnya:
Menjadi Liyan Kultural di Perantauan
Moderasi Beragama: Mengulik Kekerasan Simbol Agama
Segenggam Kangkung dari Pak Kiai: Belajar Tentang Dialog Ekologis Interreligius di Pesantren
Transfer pengetahuan beliau tajam, luas dan kaya akan pengalaman magis yang bisa di diturunkan kepada generasi penerus. Khususnya warisan budaya dan kearifan lokal di Manggarai. Dengan demikian membentuk identitas diri saya dari mana saya lahir. Interaksi ini membantu saya memahami dan menghargai nilai-nilai akar budaya yang sudah mulai alergi oleh generasi Alfa dan Z. Akankah pengalaman ini menjadi habitus baru dalam hidupku. Atau godaan pikiran out of the box semakin menyala dalam diriku?
Pierre Bourdieu (1977) dalam karyanya: Outline of a Theory of Practice, mendeskripsikan bahwa konsep habitus (baca: kebiasaan) membahas bagaimana nilai-nilai budaya kehidupan dan sosial diwariskan lintas generasi melalui praktik sehari-hari atau perjumpaan di ruang nyata. Dalam teori ini, Bourdieu menekankan bahwa interaksi lintas generasi bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga reproduksi struktur sosial yang membentuk identitas individu dalam masyarakat untuk mau berubah dan berproduktif.
Relevansi teori ini dapat saya pahami, bagaimana nilai-nilai budaya di Manggarai dengan segala dinamika sosialnya dapat dipahami sebagai produk dari hubungan lintas generasi yang terus dipertahankan. Misalnya kembali ke alam sebagai rahim lahir, hidup dan mati manusia.
Gagasan tersebut, oleh Erik H. Erikson (1963) tentang perjumpaan lintas generasi dalam budaya dan identitas sosial sangat penting dewasa ini. Kesadaran akan pentingnya habitus membuat generasi sekarang dapat memahami bahwa nilai-nilai budaya, tradisi, dan norma yang mereka warisi adalah hasil dari praktik sosial yang dilakukan lintas generasi. Ini memberikan kesadaran bahwa kebiasaan dan budaya lokal memiliki akar historis yang perlu dijaga. Generasi muda memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan praktik budaya yang relevan, sekaligus berinovasi agar tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensinya.
Perjumpaan Bernas
Melalui interaksi lintas generasi (saya dan Bapak Pius), boleh saya menggarisbawahi sebagai upaya agar saya sebagai generasi muda dapat memahami struktur sosial yang membentuk mereka, sehingga mampu mengambil peran yang lebih aktif dalam menjaga dan membangun harmoni masyarakat. Generasi sekarang dapat menemukan makna hidup melalui bimbingan generasi sebelumnya, membantu mereka menghadapi tantangan modernitas sambil tetap berakar pada nilai-nilai lokal. Inilah gagasan kebaruan (novelty) dalam perjumpaan dengan tokoh intelektual organik selama satu malam di Kota Yogyakarta.
Dengan memahami pentingnya generativity, generasi sekarang akan lebih menghargai peran generasi tua sebagai mentor yang membimbing mereka, bukan hanya sebagai penjaga tradisi, tetapi juga sebagai pendorong inovasi berbasis kearifan lokal. Generasi muda dapat memahami bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi agen perubahan di masa depan, yang kelak akan membimbing generasi berikutnya.
Wacana ini pun lahir dari pemikiran yang dapat memberikan landasan bagi generasi sekarang untuk menjaga kesinambungan tradisi dari sesepuh kita. Akhirnya semoga dalam merajut harmoni dengan Bapak Pius dapat menciptakan harmoni lintas generasi, dan menghadapi tantangan globalisasi dengan identitas yang lebih kuat saat ini, esok dan berkelanjutan hingga akhir dari peziarahan hidup ini.
Valensius Ngardi adalah Mahasiswa Pascasarjana Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga