“Kekuasaanlah yang dicari orang, dan setiap kelompok yang mendapatkan akan menyalahgunakannya. Itulah kisah lama yang sama.” – Lincoln Steffens, jurnalis Amerika, 1866–1936.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Negeri penuh alarm
Sedikit-tidaknya sudah ada alarm kekhawatiran. Nada-nada pertanda cemas telah ditiup. Itu yang terekspose. Sudah terdengar dan yang terbaca luas belakangan ini. Indonesia adalah area mahaluas yang dihinggapi banyak ranjau untuk diwaspadai. Ini bisa dimaklumi. Keresahan demi keresahan yang dialami terkesan bahwa kita lagi dalam situasi yang semakin tak menentu.
Ada kekhawatiran tebal bahwa Indonesia rasanya lagi dirayapi oleh arus degradasi kepercayaan diri. Jati diri bangsa lagi dalam cobaan berat. Sebab itulah dapur strategi politik mesti dikelola taktis serentak serius. Demi asupan nutrisi bergizi bagi peta ‘kesehatan dan kekuatan’ politik berbangsa dan bernegara.
Kita mudah tergoncang oleh kisah-kisah suram, pun sebaliknya cerita heroik dari negeri-negeri nun jauh di sana. Sekiranya itu punya dampak pada konstelasi sosio-politik dan terutama bagi situasi keamanan dalam negeri. Itulah yang dihadapi bersama.
Ambil saja beberapa contoh konkret berikut. Etnis Rohingya di Myanmar bergolak, kita di sini yang gelisah. Palestina tetap tak menentu, kita yang ribut tak berujung. Taliban umumkan kemenangan di Afganistan, Agustus 2021 lalu, angin resahnya tertiup di tanah air. Belum lagi bila harus bereferensi pada situasi politik dan keamanan yang tak menentu di beberapa negara di Timur Tengah.
Situasi Yaman, Libanon, Siria, Irak itu sungguh selubungkan potensi ketakutan. Sewaktu-waktu semuanya bisa teradopsi ke Nusantara. Dan tak lupa Arab Saudi dengan visi baru 2030 di bawah Pangeran Muhammad bin Salman pun sudah bikin ‘gemetaran’ di tanah air. Inikah yang disebut ancaman tersembunyi dan segera menyata bagi Indonesia? Bagaimana pun tanda peringatan akan potensi bahaya mesti dihembuskan!
Ada ilham dari Filipina?
Mari kita menatap Filipina. Sudah ada kepastian pemenang Pilpres 2022 Filipina. Setelah Rodrigo Duterte lengser dari kursi presiden Juni mendatang, akan tampil Ferdinand Marcos Jr. Perhitungan suara resmi memang masih berlangsung. Memang tetap ada riak-riak yang mencurigai kemenangan itu. Tetapi ada keyakinan kuat bahwa si Bongbong akan segera menuju Malacanang.
“Profil Ferdinand Marcos Jr, anak diktator yang jadi presiden terpilih Filipina” tulis Aditya Jaya Iswara (Kompas, 10 Mei 2022). Ada rekam jejak politik yang mumpungi. Di Provinsi Ilocos Norte, Bongbong perah jadi wakil gubernur. Dan dua periode ia jadi gubernur. Mimpi Imelda Marcos, 92 tahun, ibunya, jadi kenyataan. Putranya Ferdinand Jr akan jadi pemimpin negeri.
Tapi, ini bukan kabar gembira tentunya untuk seantero Filipina. Naiknya Bongbong segera dihubungkan (pastinya) dengan atmosfer politik represif Ferdinand Marcos Sr, ayahnya, di tenggang waktu 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986.
Marcos senior sendiri jadi pemimpin pada usia 48 tahun. Ia gemilang berkampanye di saat itu. Rumor politik ditiup bahwa ia lah salah satu tokoh besar perang melawan invasi Jepang ke Filipina. Tipuan, kamuflase serta dramatisasi politik ini ternyata mengunggulkannya untuk jadi the Philippines 01. Di akhir kisah, Ferdinand Marcos Sr pun digulingkan oleh spirit people power yang telah jengah oleh kediktatoran, korupsi dan pelanggaran HAM.
Si Marcos Jr (64 tahun) bukannya tak sadar akan riwayat kelam ayahnya serta Imelda, ibunya. Tindak purifikatif dinasti dengan piawai sudah digulirkan, sebelum dan sesudah pilpres. “Nilai diri saya bukan berdasarkan asal-usul saya, tetapi tindakan saya,” kata Marcos Jr.
Propaganda vs fakta
Bagaimanapun fakta tetaplah fakta (factum est semper factum). Kampanye politik bisa jadi channel pro fakta atau kontra fakta, atau bila perlu mesti dikaroseri satu-dua pseudo fakta. Namun pada intinya kepentinganlah yang harus diperjuangkan dan dimenangkan. Sebab, di zaman kini, apalagi dalam rana politik, “kebenaran sudah turun takhta”. Tak berwibawa.
Tim kampanye Ferdinand Jr sudah pada cerdas membaca situasi. Arus narasi bobroknya zaman Marcos Sr mesti diblokir secepat dan seluasnya dengan tembok-tembok kontra narasi. Pilpres adalah seni dari sebuah dinamika memenangkan kekuasaan. Pemilih awal, ya terutama kawula muda dinilai tabula rasa dalam kisah-kisah miris si Marcos Sr. Kaum muda ini mesti disuntik dengan cerita-cerita heroisme sang diktator, yang notabene, penuh dengan aneka slogan demi pemutihan.
Dan ini, apakah ‘kisah lama akan terulang kembali? Bahwa rakyat Filipina nantinya akan terluka lagi?’ Banyak kecurigaan yang kini lagi menyasar tim sukses Marcos Jr. Tapi sudahlah. Sebuah taktik telah dilancarkan. Hasil positif telah diraih. Tak peduli apa isinya. Di sinilah teropong Machiavelli dalam Il Principe sungguh tepat membidik. Sepertinya moral atau etika bukanlah domain pada rana politik. Sebab yang jadi fokus adalah taktik, strategi, serta segala rancang bangun untuk menang dan bukannya untuk kalah!
Goenawan Mohamad (2019, tentang hal ini, berefleksi sungguh mendalam. Bahwa “Untuk menang, orang menyebarkan kebohongan tanpa isi, menyaksikan demagogi yang berapi-api memompa hoax dan fitnah,” tulisnya. Itu tentu sejalan dengan apa yang ditangkapnya pula dari Ralph Keyes dalam The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception Life. Katanya, “Kita hidup di sebuah lingkungan yang tak punya cukup penangkal bagi kecenderungan kita mengelabui orang lain.”
Jika dinasti Marcos bisa, bagaimana di Indonesia?
Kini, nyala api kemenangan si Bongbong telah membara. Tapi seperti yang sudah-sudah, kisah pilpres di negeri Jeepney dan ballut itu sudah punya pijar-pijar pengaruhnya di tanah air. Bisa dibentangkan saja satu pertanyaan simulatif sederhana: Jika aura Marcos Jr bisa bangkit kembali dan menang dari alam maut stigma politik, maka tidakkah aura Orba ala Soeharto pun bisa dibangkitkan kembali?
Tentu hal ini bukan tentang kembalinya ‘dinasti Soeharto dalam Tutut, Sigit, Bambang, Titiek, Tommy atau Mamiek. Tetapi, bisa saja tentang aroma Orba dalam ‘Soeharto kolektif’ yang sungguh dirindukan. Yang dipropaganda sebagai “enak di zaman Orba”. Tentang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dalam Pelita-Repelita, GBHN. Tak peduli apa sungguh menyasar seluruh negeri berkenaan dengan pemerataan hasil-hasil pembangunan itu.
“Enak di zaman Orba” yang minim dengan demo berjilid-jilid, atau keributan sana-sini atas nama agama. Sebab Orba amat alergi dan pasti bertindak ‘amat serius’ pada yang segala kegaduhan politik yang berimbas pada aksi-aksi anarkis itu.
Tetapi, bukankah alam Orba, di titik nadirnya telah pahatkan kisah-kisah mega korupsi? Bahwa juga alam demokrasi sungguh nyata ditekan hingga rana paling praktis sekalipun? Katakan saja semisal ‘perhitungan suara Pemilu belumlah selesai, tetapi Golkar, di zaman Soeharto itu, sudah dipastikan tampil sebagai pemenangnya. Dan bahwa Soeharto tetaplah eksis selalu sebagai calon tunggal Presiden RI tanpa perjuangan berarti. Design politik ala Soeharto sungguh rapih terbungkus dalam koridor “demokrasi Pancasila”.
Di zaman Orba, TVRI harus merawat serapinya segala acaranya. Setidaknya mesti ditayangkan acara dan berita yang tak sensitif dan non-potensial untuk kekacauan, yang berbau politik serta bertendensi SARA. Kampus dan segala kegiatannya sudah diteropong ketat dalam Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Tetapi, apakah Orba sungguh jadi ancaman terbesar dan sungguh menakutkan bagi gelora politik Indonesia kini? Siapa pun bisa berspekulasi. Jika, misalnya, Cendana dan kroni-kroni, diduga jadi bohir untuk segala riak-riak aksi kontra pemerintah, apakah itu tanda bahwa Orba siap bangkit kembali?
Yang terpenting jangan anti pilar-pilar kebangsaan
Mari lepaskan dulu Orba. Indonesia mesti tetap fokus pada segala pergerakan ormas yang sudah tampak radikal. Bicara Indonesia, tidak hanya bicara tentang masa depan seperti apa yang mesti diraih. Bagaimanapun Indonesia mesti tetap kokoh dalam pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara: Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Pilar-pilar inilah yang menjadi jawaban fundamental demi kehidupan semesta Indonesia yang tetap bermasa depan cerah.
Namun, bayangkan saja bila nafsu akan kekuasaan atas dasar kepentingan sepihak harus mencari cara-cara yang ‘licik, licin dan nakal’. “Enak di zaman Soeharto” tidak lain adalah verbalisasi pemutihan atas dosa-dosanya. Ada contoh lain yang senada bahwa tim khusus Anis Baswedan disinyalir kini lagi berjuang ‘mencuci bersih-bersih Anis’ dari segala lumpur politik busuk dan ketakbecusannya dalam menata ibu kota serta urus kesejahteraan penduduknya. Semuanya hanya demi Pilpres 2024.
Anis sendiri di tahun 2017 itu naik jadi Gubernur DKI karena banyak tindakan dan teror bernada intoleran yang masif. Kini, demi Pilpres 2024, ia sendiri sudah menggertak sebaliknya, “Jika saya presiden, saya akan menindak tegas manusia intoleran!” Aduh, yang B sa….
Mari kita buat pengandaian lainnya. Tidakkah Jokowi juga lagi berpikir bagaimana sekiranya Gibran Rakabuming, putranya itu, kelak, akan ikuti jejaknya di tampuk RI 1? Bayangkan saja kerinduan hati Megawati bahwa Puan Maharani, putrinya, juga akan didaulat jadi RI 1. Dan bayangkan pula apa dan bagaimana strategi SBY dan keluarga besar Partai Demokrat sekiranya AHY mesti gol untuk jadi RI 1. Kiranya tak ada yang salah dari semua harapan dan mimpi ini.
Akhirnya….
Mimpi dan harapan Imelda Marcos, sebentar lagi jadi kenyataan saat Bongbong dilantik nanti jadi Presiden Filipina. Siapa pun calon demi RI 1 2024 dengan segala timnya, bisa saja belajar dari ‘strategi Bongbong dan tim suksesnya’. Namun, apa pun terjadi: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI mesti tetap jadi prinsip dasar berbangsa dan bernegara yang tak boleh dikorbankan. Sebab itulah, haram hukumnya bila mesti ‘berhamba dan bekerja sama’ dengan ormas-ormas dengan segala manuvernya yang sungguh kontra dan anti pada pilar-pilar ini.
Sekali lagi “Katakan TIDAK pada ormas-ormas dan segala gerakan–menuvernya yang sungguh menyimpan benih-benih yang merusak kesatuan dan persatuan bangsa di bawah Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Verbo Dei Amorem Spiranti