Covid-19, Seroja dan Pembangunan di NTT

whatsapp image 2021 05 29 at 07.34.36
Pius Rengka. Foto/Andry.

Oleh Pius Rengka

Sudah amatlah sangat jelas, tulisan ini dimaksudkan untuk melukiskan sekelumit perihal pembangunan di NTT setahun belakangan. Atau, kita dapat memulai dengan pertanyaan, bagaimana kiranya nasib perjalanan pembangunan NTT di bawah kendali kepemimpinan Viktor B Laiskodat dan Yosef Naesoi? Apa problem utamanya dan apa pula tantangan yang dihadapinya? Bagaimana pula kinerja pemerintahan ini setelah dihajar Covid-19 dan badai Seroja?

Visi Viktor Joss telah sangat jelas. NTT Bangkit NTT Sejahtera. Artinya, dengan bangkitnya pembangunan NTT di bawah kepemimpinan Viktor Joss, maka diharapkan atau diimpikan NTT akan kian sejahtera. Tetapi, pertanyaannya ialah apa dan bagaimana membangkitkan NTT? Bagaimana pula postur data yang menyajikan realitas kemiskinan NTT di tengah perubahan sosial pembangunan yang kian rumit, ruwet dan bahkan kian cepat?

Mulai dari problem pertama. NTT dikenal dengan sebutan provinsi miskin. Mengapa? Karena jumlah angka kemiskinannya termasuk tinggi dibanding provinsi paling miskin lain di Indonesia. NTT menempatkan diri sebagai provinsi termiskin ketiga di Indonesia.

Tampilan data statistik perihal pernyataan itu tidak diperlukan, karena umum telah mafhum bahwa NTT memang miskin, melarat dan terbelakang. Tidak hanya itu. NTT pun dikenal sebagai provinsi bodoh. Buktinya angka lulus sekolah dan angka manusia sekolah relatif lebih kecil dibanding provinsi lain, sebut saja Bali, NTB, Jatim, Jateng dst. Angka kelulusan NTT dikabarkan saban tahun terbilang mengekor provinsi lain.

Angka kematian anak dan ibu juga tinggi dibanding provinsi lain. Jumlah jenis penyakit akut dan endemik di NTT, bukannya tambah kurang, malah saban tahun semua jenis penyakit itu berhasil merenggut nyawa manusia. NTT lalu dikenal sebagai hypermart semua jenis penyakit yang tidak disukai oleh umat manusia di seluruh dunia. Sebut saja, malaria, demam berdarah, HIV/AIDS, TBC dan masih banyak jenis penyakit lain. Data tentang hal ini pun tidak perlu ditampilkan di sini lantaran semacam common sense diketahui begitu saja bahwa NTT provinsi miskin, melarat, bodoh dan penyakitan, telah dikenal luas sejak 20 tahun silam.

img 20210523 091814
Viktor B Laiskodat menunjuk kemasan Kopi Colol hasil usaha BUMDes di Manggarai Timur.

Sementara itu, bencana alam yang menimpa NTT sepertinya rutin sekali. Saban tahun selalu saja ada bencana di kawasan ini. Sebut saja, tanah longsor, banjir bandang, kebakaran padang penggembalaan yang hebat, gunung meletus dan gempa bumi.

Semua jenis bencana alam yang menimpa NTT hampir selalu pasti diikuti dengan bencana sosial. Bencana sosial terkait dengan, misalnya, perihal transparansi pengelolaan dana bantuan, anggaran penuntasan rehabilitasi dan rekonstruksi, yang, pada gilirannya selain akan membebani anggaran daerah dan bahkan nasional, tetapi juga diikuti dengan warta buruk seperti korupsi dana bantuan oleh para pengelola dana bantuan. Intinya, NTT tak hanya menjadi provinsi sumber bikin masalah, tetapi juga NTT sebagai provinsi sumber masalah.

Sebagai provinsi sumber masalah, NTT termasuk provinsi terkorup ketiga di tanah air menurut riset ICW yang telah disebarkan begitu luas di tanah air. Tetapi, menariknya ialah meski NTT provinsi korup, tak ada satu pun koruptor kakap hebat yang berhasil dijeblos masuk penjara. Jika toh ada maling kecil-kecil masuk penjara, maka hasil curiannya tak lebih besar dari maling besar yang pernah didengar banyak orang di luar yang kemudian berubah menjadi desas-desus seperti bau kentut. Contohnya, korupsi dana bansos yang diberitakan belum lama berselang.

Umumnya penjara di NTT, dihuni oleh para maling ayam, bebek, kambing, babi hewan peliharaan, bunuh orang, perkosaan dan gagal kawin. Tetapi, belum didengar koruptor besar di NTT yang menjadi penghuni bui. Maka kesan yang keluar ialah NTT bukan provinsi korup terbesar di tanah air, tetapi hanya provinsi miskin terbanyak dengan sedikit pelaku kriminal kelas bawah.

Di sisi lain, aparatur negara, banyak di antaranya yang tampak sehat, bugar. Bangunan fasilitas domestiknya bagus-bagus. Karena itu, realitas empirik sejenisnya semacam ironi bagi pembangunan di NTT.  Juga sejenis ironi lain, bangunan fasilitas keagamaan, tampak marak. Di hampir setiap kota di NTT, terkesan ada sejenis perlombaan membangun bangunan fasilitas keagamaan. Sebagai hiburan, manusia NTT selalu berujar, anak Tuhan mendapatkan jalan menuju surga justru karena kesetiaannya beragama dan tekun berdoa.

Refleksi Kegeraman

Tampaknya, visi Viktor Joss, NTT Bangkit NTT Sejahtera, semacam refleksi kegeraman Viktor Joss atas realitas NTT itu. NTT tidak boleh lagi disebut provinsi miskin, terbelakang, melarat, bodoh, korup dan penyakitan.

Klik dan baca juga:  Kebenaran Itu Akan Memerdekakan Kamu

NTT harus segera keluar dan bangkit dari situasi dan kondisi itu. NTT dan terutama manusianya harus mulai dengan membangun kebiasaan tutur yang isinya berbangga dengan realitas alam NTT. NTT tidak miskin, NTT tidak bodoh. NTT tidak terberi sebagai provinsi miskin dan bodoh. Tetapi NTT hanya belum bangkit. Akibatnya, sebutan NTT miskin, tampaknya kini perlahan tidak didengar sebagai ucapan kalangan elit birokrat. Maka sejak kepemimpinan Viktor Joss, perihal narasi miskin perlahan dilupakan. Diganti dengan narasi, “NTT provinsi kaya”.

Kaya apa? Menurut Viktor Joss, NTT kaya destinasi pariwisata. Budaya, alam, dan pantainya sangat eksotik, khas dan unik. NTT kaya lahan pertanian. NTT kaya ternak, kaya ikan, kaya garam. Tetapi bagaimana semua jenis kekayaan itu dikelola untuk kepentingan kesejahteraan rakyat NTT? Itu soal kita bersama.

Gubernur NTT, Viktor B Laiskodat (mengenakan sarung) tengah menerima penghargaan atas juara umum pergelaran ke-5 Anugerah Pesona Indonesia Awards tahun 2020 di Hotel Inaya Labuan Bajo pada Mei 2021.

Pertama, kesan saya, Viktor Joss pertama-tama mengurus birokrasi. Mengapa? Karena birokrasi ini adalah pasukan pemberi contoh, pemberi arah dan penggerak utama perubahan sosial pembangunan selain lembaga sosial lain seperti lembaga keagamaan. Tampaknya, untuk urusan ini diberi nomen klatur dengan sebutan “reformasi birokrasi”.

Birokrat yang lamban diganti. Birokrat pekerja keras, diberi tanggung jawab besar dan banyak. Akibatnya, tampak amat sangat jelas, birokrat gesit diberi tanggung jawab banyak dan besar, sedangkan birokrat lamban dan lemah diberi tugas terbatas dan dibatasi.

Para birokrat “ditekan” sedemikian rupa agar senantiasa sanggup bekerja cepat, tepat dan cerdas. Sebagai misal, perihal pengurusan ijin investasi atau perijinan jenis apa pun yang menjadi tanggung jawab provinsi.

Instruksinya jelas. “Ijin harus segera keluar. Tidak boleh lebih dari tiga hari”. Untuk perijinan itu pun harus dipastikan memenuhi seluruh prasyarat yang disyaratkan aturan hukum. Selebihnya pemohon ijin tunggu saja di rumah, karena semua ijin yang diajukan akan diantar petugas negara ke rumah atau ke kantor peminta ijin.

Martinus Djawa, sebagai Kepala Perijinan NTT, “dipaksa” bekerja cepat, tepat dan cerdas. Sejauh ini, urusan perijinan di NTT termasuk salah satu provinsi yang mengeluarkan ijin sangat cepat di Indonesia. Hal serupa pun dengan dinas dan badan lain.

Catatan pentingnya ialah para pengaju ijin tidak perlu dan tidak boleh memberi uang pelancar kepada aparatur negara di dinas perijinan karena membuat dan mendokumentasi ijin adalah tugas dan kewajiban negara.

Kedua, perbaikan infrastruktur jalan raya. Kepala Dinas PUPR, Maksi E Nenabu, “ditekan” untuk mendata akurat panjang jalan provinsi paling rusak berat. Maka diperoleh angka, jalan provinsi rusak berat di NTT, sepanjang 909 km dari total panjang jalan provinsi 2650 km. Pertahun progres perbaikan harus tampak dan membawa kebebasan bagi rakyat NTT. Hingga penghujung tahun 2020, dari total jalan rusak 906 km itu, telah tuntas dikerjakan sepanjang 585,38 km. Apa akibatnya?

Menurut Kepala Dinas PUPR NTT, Maksi E Nenabu, jarak tempuh dan waktu tempuh berbanding terbalik dengan keadaan sebelumnya. Misalnya, jauh sebelum perbaikan jalan provinsi, jarak tempuh 60 km ditempuh 6 sampai 7 jam.

Tetapi sekarang, jarak yang sama dapat ditempuh dengan 1,5 jam. Itu berarti rerata perjam kendaraan roda empat menempuh 30-40 km/jam. “Apakah itu bukan perubahan penting?” tanya Maksi E Nenabu.

Konstruksi jalan provinsi yang rusak karena badai Seroja, tetap masih dalam tanggung jawab kontraktor untuk memperbaikinya. Jalan yang dimaksud sebarannya di Flores, TTS-Timor dan Sumba. Sedangkan di TTU, Rote kondisi jalan kurang rusak, sehingga belum menjadi prioritas.

Tetapi, Kadis PUPR NTT, Maksi E Nenabu, memperkirakan tahun 2021 hingga medio 2022, semua jalan rusak berat tuntas dikerjakan. Cara mengklasifikasi kondisi jalan menurut Nenabu, ada tiga. Yaitu rusak berat, kurang rusak, dan mantap. “Kami utamakan perbaikan jalan rusak berat. Total panjang 906 km itu,” katanya. Sedangkan jalan kurang rusak sebarannya ada di TTU dan Rote.

whatsapp image 2021 07 22 at 23.51.07
Maksi E Nenabu.

Terkait sumber dana pembiayaan konstruksi jalan, menurut Nenabu, tak ada jalan lain selain pinjam dana dari lembaga kredibel. Pinjam dana dilakukan karena tiga alasan yaitu karena kondisi jalan rusak berat, jalan rusak berat harus diselesaikan dengan speed solution, dan capaiannya harus high progress.

Jadi, dana pinjaman itu diperlukan karena disadari tidak mungkin menyelesaikan perbaikan jalan provinsi dengan talangan dana APBD. “Jika kita menggunakan APBD NTT dengan pendekatan bagi rata, maka jalan provinsi baru akan selesai tuntas dalam jangka waktu 7 abad,” ujar Maksi E Nenabu.

Klik dan baca juga:  Tuntutan Turunkan Upah Jasa Pemandu Wisata di Sidang Pastoral

Menurut Maksi E Nenabu, sebelumnya Pemerintah NTT hanya sanggup memperbaiki jalan provinsi 50 km/tahun. “Jika dibandingkan dengan panjang jalan rusak berat di NTT dengan upaya memperbaikinya, maka kita tinggal bagi saja dengan waktu yang dipakai. Berapa lama waktu untuk menuntaskan jalan rusak itu. Itu pun dengan pengandaian bahwa jalan yang sudah diperbaiki tidak pernah rusak lagi,” kata Maksi.

Kecuali itu, pengerjaan jalan provinsi harus dituntaskan bukan sekadar untuk memenuhi janji politik gubernur dan wakil gubernur (Viktor Joss) serta memperlancar mobilitas manusia, barang dan jasa, tetapi juga dimaksudkan agar akses jalan provinsi diterus-sambungkan dengan jalan kabupaten dan desa.

Harapan terbesarnya, ialah jika jalan negara, provinsi, kabupaten dan desa terintegrasi dalam satu kesatuan gerak yang sama, maka akses infrastruktur jalan itu akan ikut memperlancar akses masuk ke semua destinasi pariwisata.

Bahkan akses jalan raya itu memperkuat dukungan untuk menggerakkan suplay chain pariwisata seperti pertanian dan peternakan serta perikanan. Jadi, jalan raya hanya sebagai titik masuk sangat penting untuk membangkitkan sektor lain yaitu sektor pariwisata, pertanian, peternakan dan perikanan.

Ketiga, pertanian. Dinas Pertanian NTT harus bekerja ekstra keras untuk membangkitkan para petani di semua kabupaten. Introdusir Tanam Jagung Panen Sapi (baca: ternak), harus menyata dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi para petani itu sendiri.

Cita-cita perubahannya ialah tak hanya luas areal garapan petani bertambah, tetapi juga jenis tanaman harus beragam. Karena hasil pertanian terkait langsung dengan imajinasi rantai nilai dan rantai suplai untuk kepentingan industri pariwisata. Bahkan indeks kemakmuran petani harus naik. Tetapi, mengapa mengintrodusir jagung?

Informasi yang diperoleh menyebutkan, jagung diperlukan karena tak hanya untuk kepentingan domestik para petani sendiri, tetapi juga karena jagung dapat berfungsi sebagai pakan ternak. Selama ini, konon, tiap tahun NTT harus mengeluarkan sedikitnya Rp 1,1 triliun untuk belanja pakan ternak di Pulau Jawa.

Itu artinya, uang yang keluar dari masyarakat pertenak NTT tiap tahun Rp 1,1 triliunan. Pertanyaannya, sanggupkah NTT menahan uang agar tidak keluar sebanyak itu dari NTT? Mengapa duit sebanyak itu tidak berputar saja di sini, di NTT untuk kepentingan kemakmuran para petani dan peternak sendiri?

whatsapp image 2021 03 24 at 04.57.23
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat saat panen jagung program TJPS.

Maka, tampaklah dinas pertanian kian bertambah sibuk dan kian mengalami kurang waktu. Meski luas lahan yang didambakan gubernur dan wakil gubernur, tutup periode politiknya luas lahan garapan TJPS ini mencapai 100.000 ha, tetapi tampaknya dambaan itu terlalu amat sangat ambisius jika hanya capaian luas lahan garapan hanya mengandalkan kerja-kerja birokrasi. Untuk itu, diperlukan partisipasi lembaga sosial lain seperti lembaga-lembaga keagamaan dan kelompok masyarakat lain.

Catatan penulis, hasil sosialisasi pemerintah membuahkan sedikit hasil. Lembaga gereja Protestan dan Katolik mulai terlibat aktif dalam program kerja TJPS ini. Tercatat dua diantaranya yaitu lahan garapan yang dikerjakan pendeta Ndaparoka dan umatnya di Sulamu, dan lahan garapan yang dirintis salah satu Paroki di Keuskupan Ruteng di Manggarai Barat yang dimotori oleh Romo Benny Jaya.  Jika semua lembaga keagamaan bergerak, maka mungkin saja luas lahan garapan 100.000 ha, malah terlalu kecil untuk luas lahan garapan yang belum dikerjakan yang tersedia di seluruh NTT.

Kabupaten Sumba Tengah sendiri bergeliat maju karena Bupati Sumba Tengah, Paulus Kira, terus terjun langsung ke lapangan untuk menggerakkan para petani dan para “umbu”. Seruannya tunggal, “Sumba Tengah harus menjadi lumbung padi NTT”. Akibatnya, sudah 5.000 ha sawah telah digarap. Hasilnya kini perlahan mulai dirasakan rakyat di situ. Bahkan ada ucapan seorang PNS rendahan di situ yang menyebutkan Sumba Tengah tidak perlu lagi impor beras karena Sumba Tengah telah bebas dari krisis beras.

Perilaku masyarakat pun berubah seiring dengan kunjungan berkali-kali Gubernur NTT dan kunjungan sekali Presiden Republik Indonesia, Jokowi. Perubahan perilaku inilah salah satu fungsi pembangunan manusia dari perlakuan mereka terhadap lahan yang mereka punya.

Kabupaten Kupang, masih bergerak di sekitar 400 ha lahan yang digarap dari ribuan lahan kosong dan subur yang siap dikerjakan. Konon, Bupati Kupang, akan segera bangkit dan segera menggarap lahan tidur selama ini. Meski demikian, sekelompok masyarakat pemuda di bawah payung Ultras45, telah mulai menggarap puluhan hektar lahan yang ditanami jagung dan sorgum.

Klik dan baca juga:  20 Jenis Produk UMKM di Baun Bergeliat Sejak Intervensi Bank NTT

Mereka bergerak cepat dan solid. Tidak banyak kritik dan protes, tetapi mengambil langkah konkrit dan bertindak pasti. Bahkan Petra Bilaut, satu aktivis Ultras45, kepada penulis meminta untuk melakukan kunjungan wisata ke lokasi garapan mereka.

Covid-19 dan Seroja

Terpaan Covid-19 jelas menyumbangkan perlambanan gerakan pembangunan. Lalu lintas udara laut dan bahkan darat mengalami terjun bebas. Kebijakan lockdown di mana-mana terjadi. Implikasinya jelas. Yang tampak sederhana tetapi amat sangat berpengaruh yaitu tren hunian hotel turun tajam meski para pengusaha hotel telah menurunkan harga jualannya. Hal serupa dengan rumah makan. Akibatnya, banyak karyawan yang dirumahkan dan lainnya terpaksa mencari dan mengais rejeki lain yang mungkin.

Jumlah penerbangan yang biasanya keluar masuk Kupang sebanyak 21 kali penerbangan, kini tertinggal hanya 10 kali penerbangan. Itu pun kalau pasti. Bandara udara sepi, pelabuhan laut sunyi. Akibatnya pasokan dana untuk negara dan daerah pun terjun bebas. Target capaian pungutan turun tajam. Tetapi, pembangunan harus tetap berjalan.

Biaya dinas dan badan terpaksa mengalami refocusing yang berakibat pada lambannya derap langkah pembangunan. Kunjungan wisatawan pun terjun bebas. Hotel sepi, rumah makan bagai gua hantu.

whatsapp image 2021 04 14 at 19.59.10
Wakil Gubernur NTT, Josef A Naesoi saat memberikan arahan di Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Siklon Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur.

Lalu datanglah badai Seroja. NTT dihajar habis-habisan. Infrastruktur negara banyak yang remuk. Beberapa lokasi di NTT hancur berantakan. Sebut saja Pulau Pantar di Alor, sebagian selatan Adonara, Lembata dan Kota Kupang hancur. Instansi pemerintah banyak yang rusak.

Program dan kegiatan pembangunan yang menjanjikan rejeki pembangunan remuk. Sebagian dapat disebut di perikanan. Belum lama berselang program panen kerapu nyaris gagal total dari total harapan panen yang diperkirakan awal. Begitu pun sawah garam industri.

Namun, meski cobaan untuk NTT begitu dahsyat dan meluluhlantakkan infrastruktur dan pembangunan NTT, toh ikhtiar tidak boleh kendur dan luntur. Ikhtiar ini persis sejalan beriringan dengan kian tumbuhnya harapan lahirnya kultur baru di kalangan masyarakat NTT. Rakyat mulai merasa dan memahami bahwa upaya pemerintah telah nyaris mencapai hasil konkrit yang masif untuk kepentingan mereka, tetapi yang tersisa dari kecelakaan ini adalah perubahan cara pandang.

Cara pandang yang berubah itu ialah bahwa jika pemerintah tidak korup, pemerintah tidak kerja main-main dan santai, niscaya kebangkitan itu realistis dan sejahtera itu telah mulai tiba di gerbang harapan. Pada saat itulah kolaborasi, integrasi semua elemen diperlukan bukan sekadar melempar kritik dan nyinyir, tetapi partisipasi aktif.

Partisipasi aktif itu berarti memberikan bagian terbaik dari tiap diri kita untuk kepentingan bersama dan mengajak yang lain untuk memberi bagian terbaik dari dirinya untuk kepentingan bersama pula.

Akhirnya, saya mengutip ucapan Viktor B Laiskodat sendiri tatkala bencana Seroja ini menghempas NTT. Katanya: “Cobaan besar hanya mungkin diberikan Tuhan kepada para pemimpin kuat dan tulus. Karena di balik peristiwa bencana ini, akan tibalah kita di gerbang pencerahan dan kesejahteraan”.

Mungkin ucapan ini, sekadar hiburan di kala duka, tetapi saya tahu persis dan bahkan sangat persis, gelombang baru akan datang yaitu rekonstruksi kerusakan masif dan investasi ratusan triliun untuk kemajuan NTT. Mari kita menanti.

Baca juga: Kota Kupang dan Dambaan Para Warga

Para politisi anti perubahan, pasti tidak suka dengan pernyataan di atas. Para juru nyinyir pasti menganggap ucapan itu ditulis sebagai salah satu bentuk pleidoi ringan penulis. Tetapi, bagi saya menulis itu indah karena menulis adalah sebuah kejujuran.

Dan, kejujuran selalu tidak menarik untuk dilemparkan di tengah para penculas dan para pihak berburuk sangka. Karenanya, pepatah ini mungkin baik untuk kita semua renungkan peribahasa ini: “Kebahagiaan tidak berarti tidak ada masalah, tetapi kebahagiaan itu adalah kemampuan untuk menghadapi masalah”.

Mungkin terinspirasi peribahasa itulah, orang sekelas Abraham Lincoln pernah berkata: “Kebanyakan orang sama bahagianya sebagaimana yang mereka putuskan”. Begitulah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *