Oleh Pius Rengka
Jika kepada saya ditanya, apa yang unik dari Kota Kupang? Jawaban, tak selalu sulit dicari. Segera dijawab, Kota Kupang sudah berubah.
Uniknya, di kota ini hutan kecil tumbuh di tepi jalan. Burung-burung pun mulai berdatangan, meski agak diganggu oleh hama rasional yang usil melempar dan menembak burung hanya demi menyalurkan naluri keji dari tabiat keturunan kera ganas.
Lampu jalan terang benderang (meski belum seluruhnya tuntas). Masih ada lampu jalan yang hidup mati tergantung musim. Jalan lorong dan gang banyak yang sudah diperbaiki (meski belum semua beres).
Pohon-pohon baru sebagian besar sudah tumbuh (meski lainnya tumbang karena badai Seroja meski ada hutan di tempat lain mungkin saja digundulkan oleh kontraktor karena pohonnya dicabuti demi menghijaukan kota ini). Para penggundul ini mesti dihajar pasal pidana perusakan hutan jika terbukti berbuat begitu.
Kontraktor spesialis pindah pohon meraup harga tiap batang pohon – dikabarkan begitu – Rp2,5 juta. Hitung sendiri berapa banyak pohon yang ditanam. Berapa banyak lainnya gagal tumbuh dan berapa pula darinya tumbang dihajar badai Seroja empat pekan silam. Tetapi, meski demikian, kita semua pastilah sepakat, bahwa hutan kota kian hijau, terutama di jalan lalu lintas utama kota ini, di Jl. Piet A Tallo dan Jalan Frans Seda.
Trotoar kota pun kian rapi. Trotoar kota dijahit dengan lebar 1,5 meter. Karenanya keberadaan trotoar membebaskan warga pejalan kaki dari ancaman pengendara yang melarikan kendaraannya secara membabi buta dan bahkan buta tuli sungguhan.
Para pengendara lainnya, ngobrol bebas seperti kejadian di kampung, laiknya penunggang kuda dan sapi. Ngobrol sekenanya di jalan umum sambil mengendalikan arah kendaraan. Tak peduli ancaman bahaya yang sedang mengintai. Tetapi para pejalan kaki, pengolahraga jalan santai, dan lari kecil-kecil, kini nyaman berselancar di tepi jalan di atas trotoar yang rapi terjalin sepanjang jalan kenangan. Kota Kupang berubah banyak.
Taman kota pun elok. Taman kota dibangun di mana-mana. Wajah kota kian bersinar. Taman kota dipakai banyak kalangan sebagai rendevouz. Tempat dari mana kaum muda mudi mencanangkan janji-janji (mungkin) palsu. Para muda mudi seolah-olah menjadikan taman kota itu hanya milik berdua. Lainnya dianggap sebagai pesinggah nomaden yang berziarah untuk sementara. Lalu, mereka bebas membuang sampah. Meludahi taman dengan bau apak segala jenis air ludah. Kencing sekenanya dan menyerbak bau amis.
Lalu apa yang kiranya belum beres selama kepemimpinan Jefri-Herman? Pertanyaan itu mengundang banyak gagasan. Pertanyaan yang sama memancing kajian kritis dari berbagai lapisan.
Di forum media sosial, tampak variatif komentar. Meski begitu, komentar kalangan luas terpilah jadi tiga. Blocking pembilahan social (social cleavages) itu sekaligus memantulkan barisan politik para komentator.
Pertama, kelompok pembela setia wali kota. Kelompok ini bermodalkan aneka narasi mempertahankan kesetiaannya dengan rupa-rupa cara, sambil menyindir ke sana kemari. Di media sosial, tak hanya pujian dan pujaan yang dipanggungkan, tetapi juga pembelaan itu terkesan norak membabi buta, bahkan sebuta-butanya. Tak mengapa, memang. Karena toh blocking politik serupa itu biasa ada di mana-mana di semua level barisan, termasuk di ranah partai politik dan kelompok politik.
Kelompok pertama ini diidentifikasi sebagai kaum pendukung politik sekaligus para supporter ramai yang ikut meramaikan barisan tukang teriak di kesepian malam. Kelompok ini tak salah amat. Itu sudah pasti. Mudah dipahami. Gampang dimengerti karena mereka sebagai pelaku yang menerangi jalan sunyi politik wali kota dan wakil wali kota.
Saya sendiri dipastikan masuk di barisan ini, tetapi jenis pembelaan saya menggunakan cara yang lebih santun, sunyi. Saya gemar memberi masukkan dengan teks dan kadang dengan suara. Sebagai bagian dari rombongan ‘Tim Percepatan Pembangunan Kota Kupang’, kami (kelompok tujuh) senantiasa memberi masukkan, saran dan gagasan.
Sejumlah masukkan telah didaftar rapi dalam dokumen terstruktur dan saya kira cukup akademis dan juga politis. Misalnya, kami memberi masukkan perihal pelayanan air bersih, pengelolaan sampah, penamaan jalan di seluruh kota, dan memberi kritikan atas tumbuh liarnya bangunan di tepi jalan yang belum beres diurus. Perihal kaum okupan di tanah pemerintah telah pula dikritisi dan diberi masukkan.
Yang ditunggu adalah eksekusi wali kota. Eksekusi diberikan oleh pemerintah kota. Bahkan, kami memberi masukkan politis perihal lambannya penunjukkan sekda kota. Lainnya, masukkan perihal kerja sama harmonis kota dan kabupaten terkait pengelolaan air minum yang selalu diteriaki banyak kalangan.
Pada puncaknya, Tim Percepatan Pembangunan Kota Kupang yang dikomandoi Ir. Piet Djami Rebo itu, menyarankan agar eksekusi harus kuat, kencang, lekas dan decisive. Bahkan bukan saja bidang infrastruktur jalan dan penerangan kota yang diberi masukkan, juga masukkan terkait pendidikan dan pariwisata kota, tata kelola sampah, dan lain-lain yang dipandang penting dan perlu untuk kenyamanan penduduk kota.
Kedua, adalah kaum serba negatif. Kelompok ini, tidak mau dan kurang bersedia memuji kemajuan kota ini. Tidak mau secara jujur memuji kemajuan kota. Kelompok ini pun secara membabi buta dan sebuta-butanya, tidak melihat progres kota ini selama kepemimpinan Jefri-Herman.
Kelompok ini menghabiskan banyak waktu untuk hanya mengatakan satu hal. Bahwa pemerintahan Jefri-Herman, lemah, gagal dan mungkin kolaps. Jika ditelusuri sejarah latar belakang kelompok ini, kadang mereka terjebak dalam sekte politik tarung Pilkada di masa silam atau sejenis kaum yang kurang mendapat perhatian pemerintah terutama dalam urusan distribusi proyek-proyek di kota.
Mereka pun rajin dan berusaha cukup jeli melihat bagaimana proyek-proyek di kota ini dikerjakan. Mereka pun menyebar bibit gosip perihal kontraktor proyek-proyek itu. Proyek-proyek, konon, didedikasikan hanya kepada tim sukses terbatas, kata mereka. Mereka serta-merta memilih logika untuk mengerti pula siapa gerangan aktor pengatur lalu lintas proyek.
Tersebutlah beberapa nama kalangan dalam, di lingkaran yang diduga inti. Mereka pun berusaha sedemikian rupa untuk mendorong penegak hukum (terutama Jaksa) untuk segera mencermati distribusi proyek-proyek itu dan jeli melihat kelakuan manusia tukang bagi-bagi proyek ini.
Sinyalemen tentang soal ini, memang banyak diproduksi kaum ini. Puncak politiknya hanya mau mengatakan, Jefri-Herman diskriminatif. Wali kota hanya memperhatikan tim sukses terbatas. Tidak juga dijelaskan, sukses tim itu berada di level kesuksesan mana, pun belum diukur jelas kesuksesannya. Proyek lampu jalan dikritik. Proyek bikin trotoar dikritik. Termasuk mengkritik para saudagar yang mengatur peruntukannya. Lainnya, merajut pola hubungan tukang bagi proyek dengan para penerima manfaat.
Kaum ini pun tidak sulit dilacak di media sosial. Gagasan mereka dilempar begitu saja di forum Facebook, dan media sosial lainnya yang gampang diakses, tanpa tedeng aling-aling. Biasanya, narasi yang diproduksi fokus dengan aneka kata sifat yang menyudutkan wali kota dan timnya. Mereka sepertinya sedang menunggu waktu yang tepat kapan permainan politik akan digaduhkan dan crowded.
Ketiga, kelompok kritis akademis. Kelompok ini membagi kritiknya secara proporsional. Umumnya kelompok ini datang dari kaum akademisi, intelektual kampus, dan kelompok masyarakat sipil yang bermodal kuat pada teori-teori pembangunan dan perubahan sosial. Beberapa di antaranya saya kenal dekat. Saya tahu kritikan mereka berbasis riset yang kuat.
Secara moral kritikannya bermuara pada kepentingan umum terutama pelayanan sosial terbaik yang mestinya dikerjakan wali kota. Kritikan mereka pun mencakup tema pascabencana Seroja. Terkesan, pemerintah kota berlangkah agak lamban pascabencana.
Mestinya, Gubernur NTT tak perlu terlibat dalam membersihkan kota andaikan pemerintah kota sigap, siap dan tangkas cerdas. Perihal sampah kota pun dikritik kaum cendekiawan ini. Mereka pun memberi solusi yang tepat. Antara lain dikatakan sampah kota harus menjadi sumber energi rumah tangga. Sampah kota dapat didaur ulang untuk kepentingan domestik rumah tangga penduduk kota.
Singkat cerita, kaum ini adalah kelompok kritis akademis yang mengabdi dan mendedikasikan pikirannya pada kebaikan umum tanpa setitik pun kritikannya dinodai rasa dengki dan cemburu. Mereka pun tidak diberi proyek. Mereka tidak mendapatkan tetesan proyek penunjukan langsung yang dibagi-bagi dengan tangkas oleh segelintir oknum.
Dambaan Warga
Para warga kota, sesungguhnya tidak goyah oleh percikan pecahan kelompok kritik di atas. Para warga selalu mendambakan agar kota ini bersih, teratur, dan nyaman sebagai tempat tinggal yang beradab. Kebutuhan warga kota sedikitnya hanya enam hal.
Pertama, warga kota membutuhkan pelayanan prima air bersih tanpa harus pusing cari air melalui para pedagang air. Di banyak rumah tangga, ditemukan pipa kosong air. Pipa kosong air ini dibayangkan sebagai sejenis olokan halus pemerintah kepada para warganya sendiri.
Olokan ini menyimpan geram politik. Bagi warga, hampa air di pipa yang melewati rumah mereka adalah sejenis omong kosong politik elit. Sementara pada kasus elektoral politik kekuasaan, suara warga kota dibutuhkan justru untuk menempatkan tokoh politik yang sanggup menjawab problem air itu sendiri. Jadi, air minum bersih di sini adalah problem politik, sekaligus problem kepentingan politik warga kota.
Kedua, warga kota mendambakan akses demokrasi dalam pengertian yang seluas-luasnya, antara lain melalui perbaikan jaringan jalan yang prima. Jika jalan itu dipandang sebagai bagian dari wujud pemerintahan yang demokratis, maka jalan bagus adalah mata rantai dari rejim kekuasaan yang demokratis pula.
Saya kira, untuk bagian ini pemerintahan Jefri-Herman, telah sebagian besar telah menjawabnya dengan agak tepat. Yang tersisa hanyalah pemberian nama-nama jalan di setiap kelurahan agar memudahkan akses bagi para penduduk dan transportasi dalam kota. Disarankan, nama-nama jalan itu diambil dari nama para tokoh berjasa di provinsi ini dan atau mengambil nama semua obyek wisata yang ada di seluruh NTT. Misalnya, nama jalan Fatumnasi, Kelimutu, Kelabamaja, Nembrala dst.
Ketiga, warga kota mengimpikan jaringan penerangan listrik yang prima. Ada kepastian pelayanan jaringan listrik yang baik, maka impian Kupang sebagai smart city sekaligus secara perlahan memproduksi smart people. Dengan jaringan listrik yang prima, maka jaringan internet dan akses warga terhadap teknologi komunikasi pun kian segera dan lancar. Saya kira untuk bagian ini, pemerintahan Jefri-Herman sudah perlahan memenuhi syarat itu.
Keempat, warga kota mendambakan ruang publik yang sehat dan nyaman. Karena darinya warga kota dapat berinteraksi secara bebas dan nyaman. Maka penertiban para okupan di seluruh kota itu adalah sesuatu yang bersifat wajib. Untuk jenis kebutuhan ini, tampaknya, Jefri-Herman telah melakukannya perlahan-lahan sambil harus cermat menghitung jarak waktu dan ruang politik yang tepat. Waktu politik tersisa relatif cukup untuk membenahi ruang publik yang dimaksud.
Kelima, warga kota mendambakan kota yang bersih dan sehat. Saya duga, untuk di bagian ini, tampaknya Jefri-Herman belum berbuat maksimal lantaran sampah kian melimpah di kota ini dan sungguh sangat mengganggu. Tampaknya koordinasi kerja sampai ke tingkat RT dan RW belum maksimal. Profil koordinasi kepemerintahan ini sebagai cerminan dari lemahnya koordinasi organisasi kepemerintahan elit birokrasi.
Keenam, pelayanan pemerintah. Para warga membutuhkan pelayanan pemerintah yang cepat, tepat dan berhasil guna. Karena itu, birokrasi pemerintahan dan seluruh implikasi administratifnya haruslah memenuhi standar pelayanan prima.
Begitulah.