Ada lima akar masalah pendidikan kita. Kelimanya berkaitan erat satu sama lain.
Oleh Dr. Herry Sanoto, M.Pd, Dosen di FKIP UKSW Salatiga
Apa yang telah kita capai selama 77 tahun kemerdekaan? Apa masalah yang masih harus kita selesaikan di masa depan? Itulah dua pertanyaan penting yang agaknya perlu kita renungkan. Keduanya tentu meliputi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain politik, ekonomi, hukum, dan HAM, serta pendidikan.
Usaha perbaikan pendidikan sudah banyak dilakukan, terutama selama Orde Baru hingga saat ini. Dana cukup banyak dihabiskan, termasuk pinjaman luar negeri dan hibah dari negara donatur. Pembangunan gedung, pengadaan peralatan, pengubahan kurikulum, pengubahan sistem pendidikan guru, penataaan guru atau dosen, dan banyak lagi yang lain.
Tetapi masalah pokok pendidikan nasional yakni, mutu yang rendah, belum juga teratasi. Laporan UNDP tahun 2018 tentang mutu SDM menunjukkan Indonesia pada urutan 107, jauh di bawah Malaysia (61), dan Brunei (32).
Dalam laporan UNESCO belakangan, mutu pendidikan Indonesia pada urutan 119 di dunia, jauh di bawah kebanyakan Negara berkembang. Perguruan tinggi kebanggaan nasional belum menduduki peringkat 50 dari 104 PT sejenis di Asia Pasifik menurut survey Asiaweek.
Mengapa demikian? Karena usaha selama ini cenderung bersifat tambal sulam (insidental), tidak menyentuh akar masalah dengan tepat. Tekanan “budaya proyek” juga sering menyebabkan usaha melenceng dari akar masalah.
Ada lima akar masalah pendidikan kita. Kelimanya berkaitan erat satu sama lain.
Pertama, komitmen nasional terhadap pendidikan sangat lemah, terutama dari pihak legislatif dan eksekutif. Perlu dicatat, komitmen mengandung makna kesadaran yang tinggi akan suatu kebutuhan dan tekad bulat memenuhi kebutuhan itu dengan sungguh dan jujur. Makna inilah yang terabaikan selama ini.
Langkah-langkah yang perlu diambil antara lain ialah (1) membuat pendidikan salah satu prioritas utama, (2) melakukan penghematan di semua bidang pengelolaan negara dan BUMN, termasuk penyederhanaan mobil dan fasilitas dinas lainnya dari pusat hingga daerah, (3) semua pendidikan formal dipusatkan di Depdiknas, tak perlu setiap departemen mempunyai PT, kecuali Depag dan Dephan, sehingga dana terpusat dan pengelolaan terpadu serta eksklusivisme birokratis tidak berkembang, (4) mengefektifkan dan mengoptimalkan sistem perpajakan, dan bila perlu, adakan pajak khusus untuk pendidikan, (5) mencegah dan menindak tegas KKN. Dengan langkah-langkah ini dana untuk pendidikan, termasuk perbaikan gaji guru atau dosen, bahkan semua PNS/POLRI/TNI akan cukup.
Kedua, pandangan filosofis tentang pendidikan ketinggalan. Tiga pertanyaan filosofis mendasar perlu dijawab dengan pandangan baru untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Apa pendidikan? Apa produk pendidikan? Apa mutu dan pemerataan pendidikan?
Selama ini, secara umum pendidikan dipandang sebagai proses pengubahan perilaku, yang berimplikasi pada yang (berhak) mengubah dan ada yang diubah (proyek). Pandangan ini cenderung paternalistik, sentralistis, birokratis dan menekankan keseragaman. Produk pendidikan adalah lulusan. Inilah pandangan dominan hingga kini.
Akan tetapi, benarkah hanya guru atau dosen dan lembaga yang membuat peserta didik lulus? Kalau mau jujur, tentu tidak, karena peserta didik memiliki kemampuan sendiri dan dapat memperoleh embaran dari sumber-sumber lain, apalagi dalam era embaran dan globalisasi ini.
Pandangan ini cenderung menimbulkan sikap “target-targetan”. Misalnya, dalam ujian nasional ditargetkan lulus sekian persen. Mutu pendidikan dipahami sebagai kemampuan peserta didik menguasai materi ajar. Pemerataan dipisahkan dari mutu. Pandangan ini cenderung mengembangkan kemampuan akademis (skolastik) tapi lemah dalam praksis. Juga cenderung mengejar pemerataan tanpa mutu untuk kepentingan politik sesaat.
Ketiga pandangan di atas sesuai dan efektif untuk masa lalu, tetapi agaknya lemah menghadapi era embaran dan globalisasi. Pandangan baru berdasarkan filosofi mutu dan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management) agaknya perlu diterapkan.
Pendidikan dipandang sebagai jasa (pelayanan). Produk pendidikan yang sepenuhnya adalah jasa (pelayanan), yang terutama merupakan proses. Lulusan adalah produk parsial. Mutu pendidikan adalah kesesuaian sifat-sifat (atribut) produknya dengan kebutuhan para pelanggannya, peserta didik, masyarakat, dunia kerja, dan lain-lain.
Merujuk pengertian ini, relevansi tak perlu dipisahkan dari mutu, karena merupakan salah satu atribut dari mutu. Mutu dan pemerataan merupakan dua hal yang terpadu (integralisme), dan tak terpisahkan. Ini berimplikasi bahwa pemerataan pendidikan bermutu dalam arti mutu di atas. Dalam pandangan baru ini, community-based education dan school-based management yang belakangan ini dipopulerkan sudah tercakup. Pandangan ini juga sesuai dengan prinsip otonomi daerah.
Ketiga, sistem pemberdayaan guru (SPG) sangat lemah. SPG mempunyai tiga sub-sistem yang berkaitan erat: (1) sub-sistem pendidikan/pelatihan prajabatan, (2) sub-sistem pendidikan/pelatihan dalam jabatan, (3) sub-sistem kesejahteraan (gaji, dan lain-lain). Sub-sistem (1) sungguh sangat lemah. Sejak permulaan kemerdekaan tidak kurang dari 20 jenis lembaga pendidikan guru (LPG) gonta-ganti.
Terakhir IKIP menjadi universitas, tapi dua model berbeda: model UPI Bandung dan model lainnya. FKIP dan STKIP belum tahu akan menjadi apa. Di samping itu masih ada PGSD. Sub-sistem (2) dapat dikatakan sudah baik selama ini, tetapi karena tidak didukung oleh sub-sistem (3), nilai tambahnya tak kelihatan.
Banyak guru atau dosen sudah dilatih atau ditatar tiga hingga empat kali, tetapi terpaksa juga menjadi guru atau dosen biasa di luar. Sub-sistem (3) sungguh sangat lemah. Gaji guru atau dosen Indonesia di Asia Pasifik, mungkin juga di dunia adalah yang terendah.
LPG perlu direformasi menjadi sistem berorientasi mutu. LPG diadakan pada salah satu universitas setiap provinsi. LPG menyediakan program pendidikan profesi guru (PPG) untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Calon yang diterima untuk program itu minimum D3 untuk guru TK, SD, SMP, dan S1 untuk SMA/SMK dari berbagai bidang studi relevan.
Untuk dosen minimum S2. Lama studi satu tahun. Dulu, kita kenal dengan akta mengajar. Penerimaan didasarkan pada kebutuhan objektif daerah. Setelah lulus harus segera ditempatkan. Penempatan dapat lintas daerah sesuai dengan kebutuhan, dan kesepakatan pemerintah daerah bersangkutan. Sistem ini akan lebih efektif dan efisien. Guru atau dosen akan bermutu dan akan dihormati dan akan banyak generasi muda ingin menjadi guru atau dosen sehingga seleksi dapat diperketat.
Keempat, sistem manajemen sentralistis-birokratis dan tak terpadu. Inilah yang terjadi selama ini. Dengan UU Otonomi Daerah, desentralisasi pendidikan sudah mulai. Tetapi, tampaknya timbul kegamangan di berbagai daerah. Dengan pandangan filosofis di atas, daerah akan lebih yakin. Perlu di catat, kelemahan dasar sistem manajemen ini ialah: (1) tidak mendorong kreativitas dan kemandirian, (2) tidak mengakomodasi keberagaman yang merupakan ciri khas daerah, dan (3) tidak mendorong berkembangnya demokratisasi dan trasparansi. Karena itu, sistem ini perlu direformasi menjadi sistem yang desentralis-demokratis-transparan.
Kelima, pengajaran paternalistik-feodalistik-birokratis. Pola pengajaran klasikal, sangat bergantung pada guru atau dosen, dan guru atau dosen bergantung pada atasan, serta sikap guru atau dosen yang feodalistis (pengaruh budaya lama di sebagian daerah) masih dominan di sekolah-sekolah dan PT Indonesia.
Akibatnya, (1) kreativitas dan kemandirian peserta didik lambat berkembang, (2) keberagaman sering tak terakomodasi, dan (3) mutu dalam arti di atas sulit tercapai. Pola ini tak sesuai lagi dengan era embaran dan globalisasi. Karena itu perlu direformasi menjadi pola pengajaran yang dialogis-demokratis-kebersamaan.
Pemerataan pendidikan
Keberhasilan upaya pemerataan kesempatan untuk menikmati pendidikan di Indonesia, telah diakui oleh banyak pemerhati masalah pendidikan. Sebagai contoh, untuk tingkat sekolah dasar, indeks partisipasi kasar di Indonesia telah mencapai 100 persen (Wardiman dan Suryadi, 1995:8). Tetapi deskripsi yang diperoleh akan berbeda, lantaran equality of access belum diikuti oleh equality of survival karena masih terdapat angka putus sekolah yang cukup tinggi.
Demikian pula equality of output masih pada tataran keinginan daripada kenyataan, karena pada umumnya para guru atau juga dosen masih menyikapi tugas-tugas kependidikannya sebagai lebih berfungsi menyaring peserta didik yang semakin heterogen akibat massalisasi kesempatan, daripada memberikan layanan ahli yang profesional.
Salah satu masalah yang tak kunjung selesai dalam pendidikan adalah pemerataan (equality) dan keadilan (equity). Secara khusus dapat dipertanyakan: pemerataan yang bagaimana yang adil bagi semua pihak? Pemerataan pendidikan merupakan topik yang senantiasa menjadi pumpunan (focus) dalam setiap tahapan pembangunan di negara kita. Dengan alasan, demi pertanggungjawaban kepada rakyat (sesuai Pasal 31 UUD’45), mungkin juga demi prestise penguasa.
Secara sangat mencolok kita melihat dan mendengar pernyataan pemerataan pendidikan. Seperti yang telah kita alami, bahwa program pemerataan pendidikan lebih menekankan pemenuhan fisik pendidikan, seperti pemenuhan daya tampung, ratio siswa dengan ruang, ratio siswa dengan guru, ratio siswa per jenjang, ratio siswa dengan anak usia sekolah dan sebagainya.
Akibatnya laju pembangunan gedung sekolah cukup tinggi, sementara tuntutan kualitas agak terabaikan. Kondisi objektif ini menurut Barnadib (1988) hanya merupakan solusi jangka pendek dari equality, sedangkan aspek jangka panjang dalam bentuk equity masih jauh dari harapan.
Konsep dan takrif pemerataan dan keadilan yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada pendapat Bronfenbrenner (1973), yakni, “Equity to mean social justice, or fairness, it refers to as subjective and ethical judgement. Equality refers to the pattern of distribution of something, such as income or education, for example. Equality is a more objective, descriptive term.”
Selanjutnya dikemukakan tiga konsep pemerataan sebagai berikut. Pertama. Perlakukan yang sama kepada mereka yang menurut kriteria tertentu termasuk kategori yang sama. Kedua. Upaya mengurangi ketidakmerataan penghasilan (outcome), yang diukur berdasarkan pendapatan (income), kesejahteraan, dan harga diri. Ketiga. Pemerataan kesempatan. Ide ini merupakan indikator masyarakat yang adil, karena memberikan kesempatan yang sama kepada anggota masyarakat untuk bersaing memperoleh keuntungan sosial.
Jikalau konsep pemerataan pendidikan diterjemahkan ke dalam kegiatan operasional, akan menghasilkan perlakuan yang berbeda-beda. Untuk jelasnya diuraikan sebagai berikut.
Pertama. Pemerataan memperoleh pendidikan dasar yang universal. Diasumsikan setiap anak berhak memperoleh pelayanan pendidikan universal. Andaian (asumsi) ini didasarkan pada pandangan: humanistik yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan upaya persiapan yang ampuh untuk membina hidup seutuhnya dan pandangan ekonomi yang mengatakan bahwa, manusia itu merupakan human capital, karena itu perlu diberi pendidikan dasar yang universal agar kelak dapat meningkatkan kemampuhasilan (produktivitas).
Kedua. Pemerataan penyajian mutu pendidikan. Adalah wajar jika anak memperoleh pendidikan dengan mutu yang sama. Dan bukannya menyamakan mutu lewat ujian nasional, sementara kualitas pelayanan sangat berbeda.
Ketiga. Pemerataan pendidikan melalui pendidikan bebas. Yang dimaksudkan adalah siswa tidak memiliki keharusan untuk membayar uang sekolah. Kesempatan memperoleh pendidikan jangan dihalang oleh kemiskinan atau ketiadaan uang.
Keempat. Perlakuan sama bagi siswa. Yang dimaksud adalah terciptanya suasana demokratis dan tidak diskriminatif dalam proses pendidikan.