Kupang, detakpasifik.com – Tak ada masalah sangat serius yang terjadi di Taman Nasional Komodo (TNK) sebagaimana diributkan sepekan belakangan ini. Keributan itu terjadi semata-mata hanya karena para pihak salah paham, kurang informasi atau informasi belum terang dan lengkap ditambah dengan perspektif hukum yang dipakai para pihak agak berbeda.
Namun, semua hal itu dapat dimengerti. Dialog, dan sosialisasi masih dianggap belum maksimal. Tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, semua hal dapat dijelaskan dan diterangkan sejelas-jelasnya tanpa diiringi narasi saling mencaci dan mencerca. Sikap utama pemerintah (nasional maupun provinsi) telah sangat terang. Pemerintah mengutamakan kepentingan rakyat terutama mereka yang ada di kawasan destinasi wisata di seluruh NTT, termasuk Labuan Bajo kawasan wisata super premium.
Wajah para aktivis dan pengusaha jasa wisata, Sonny Pandie, tampak sumringah. Penjelasan Winardi dari Lantamal NTT juga menyegarkan ketika Winardi menjelaskan keamanan laut di kawasan destinasi wisata dan kenyamanan di perairan seluruh NTT. Memang, diakuinya sulit melakukan kontrol. Sulit lantaran prasarana dan sarana masih serba kurang, tetapi ikhtiar untuk membangun NTT tak pernah boleh jeda, apalagi dinodai teriakan anti-investasi anti-pemerintah. Ancaman mogok terasa sangat tak pas dan kurang patut.
Soal Sonny Pandie, mantan anggota DPRD provinsi itu, memang cukup ruwet. Ruwet menyusul perubahan harga tiket masuk komodo lantaran dirinya telah melakukan kontrak dengan para calon wisatawan dari Eropa dan China yang menjadi tamunya dan terutama bisnisnya karena pihaknya telah berkontrak dengan memberlakukan harga lama.
Tetapi, solusi selalu ada. PT Flobamor dan seluruh asosiasi direncanakan akan melakukan pertemuan. Intinya, tak ada masalah tanpa solusi. Begitulah kiranya yang seharusnya terjadi tanpa harus ribut-ribut rebut rezeki sampai mengajak mogok segala. Karena sesungguhnya semua yang berkepentingan masuk dalam satu sistem yang sama sekali tidak mengganggu kepentingan masing-masing pihak.
Demikian antara lain sari pati diskusi yang digelar Bakohumas Provinsi NTT di aula utama Hotel Ima, di Jl. Timor Raya, Kupang, Kamis (11/8/2022). Diskusi dibuka oleh Sekretaris Daerah Provinsi NTT, Domu Warandoy, S.H., M.Si yang membacakan sambutan tertulis Gubernur NTT, Dr. Viktor Bungtilu Laiskodat, S.H., M.Si.
Bertindak selaku narasumber utama sebagai pemicu diskusi adalah dua narasumber. Mereka masing-masing Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT mewakili gubernur, Dr. Zeth Sony Libing, M.Si dan Direktur Operasional PT Flobamor, Abner Eson Rumpah Ataupah, SE, yang selama ini diduga telah melakukan kewenangan tanpa wewenang. Padahal itu salah.
Tampak hadir dalam diskusi sangat akademik itu antara lain Kepala Biro Hubungan Masyarakat Provinsi NTT, Pricila Parera dan seluruh jajarannya, Dirut Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores, Shania Fatina, para representan pengelola TNK, Ketua KADIN NTT, Bobby Liyanto, MBA, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi NTT, Ondy Siagian, Kepala Badan Aset dan Pendapatan Provinsi NTT, Alex Lumba, para unsur Kominda Provinsi NTT, para tokoh lintas agama, para aktor politik dari berbagai partai politik dan puluhan jurnalis media online baik yang tergabung dalam Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), maupun media online mandiri. Diskusi berlangsung jenaka penuh makna itu dimoderatori Staf Khusus Gubernur NTT Bidang Publikasi Politik, Pius Rengka.
Zeth Sony Libing dalam paper berjudul “Dampak Konservasi Taman Nasional Komodo Terhadap Peningkatan Kualitas Pelayanan Pariwisata” dengan terang menjelaskan bahwa Taman Nasional Komodo merupakan salah satu taman nasional pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai taman nasional pada 6 Maret 1980.
Satwa kunci yang harus dilindungi dan dilestarikan ialah Biawak Komodo (Varanus Komodoensis) karena biawak raksasa komodo itu adalah warisan dunia, satu-satunya di dunia, dan ada di Indonesia, yaitu ada di NTT, di beberapa kepulauan di Kabupaten Manggarai Barat, Flores. Oleh karena itu biawak raksasa ini perlu dijaga dan dilestarikan.
Dilukiskan luas areal penataan zonasi Taman Nasional Komodo terdiri dari kawasan darat dan perairan. Luas wilayah perairan 114,801 ha (66%), wilayah daratan 58,499 ha (34%). Sedangkan ekosistem daratan didominasi oleh ekosistem savana (70%), sedangkan zona pemukiman ada Desa Pasir Panjang di Pulau Rinca dan Desa Komodo di Pulau Komodo serta Desa Papagarang. Karena itu, total area kawasan adalah 173,300 ha.
Sedangkan bagian lain dari seluruh totalitas kawasan destinasi pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya, tidak menjadi bahasan dalam diskursus keributan selama ini. Segelintir orang menduga bahwa urusan konservasi meluas sampai sejauh-jauhnya di seluruh kawasan Manggarai Barat, padahal yang diutamakan dalam urusan ini ialah kawasan yang memang kini sedang mengalami kerawanan amat sangat serius lantaran okupasi liar dan lalu lintas manusia dan kapal yang tidak hanya mengganggu ekosistem biawak komodo itu sendiri, tetapi juga mengganggu makhluk-makhluk hidup lain sebagai bagian dari supply chain dari ekosistem habitasi biawak komodo secara keseluruhan, baik di darat maupun di laut.
Satwa kunci lain yang patut dilindungi selain Biawak Komodo (Varanus Komodoensis), tetapi juga amat sangat penting untuk dilindungi ialah burung Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea Occidentalis).
Dijelaskan, siklus reproduksi komodo ada tiga tahap yaitu periode perkawinan (courtship) yang terjadi Juli-Agustus tiap tahun, periode peneluran (nesting) Agustus-September tiap tahun, dan periode penetasan (hatching) bulan Februari-April.
Nah, pada bulan-bulan yang disebutkan itu tren arus wisatawan ke Pulau Komodo, Padar, Rinca dan pulau-pulau lain cenderung tinggi. Sementara itu tren dugaan populasi biawak komodo di Taman Nasional Komodo selama 4 tahun belakangan amat sangat sedikit peningkatan, bahkan ada kecenderungan jumlah komodo jantan jauh lebih banyak dibanding betina, 3:1. Meski populasi biawak komodo di Pulau Komodo relatif stabil dengan kecenderungan sedikit peningkatan 4 tahun belakangan (2018-2021), yaitu 2.897 ekor (2018), 3.022 ekor (2019), 3.163 ekor (2020) dan 3.303 ekor (2021).
Kencenderungan ini kian merisaukan justru karena rantai pakan biawak komodo malah dibantai oleh para pemburu liar dari tempat lain di luar NTT. Mereka menembak membabi buta sejadi-jadinya, dengan penembakan rusa liar, babi liar, kambing liar dan jenis makanan lainnya yang seharusnya menjamin kelangsungan hidup biawak komodo itu sendiri.
Tambahan pula, naiknya jumlah hilir mudik kapal pinisi dan kapal lain yang dimodifikasi, yang tak terkontrol, justru ikut merusak keberadaan terumbu karang. Kecuali itu, sampah plastik di lautan sekitar wilayah destinasi premium pun melonjak, meski diakui ada aktivis LSM setempat yang telah dengan suka rela berusaha membersihkannya. Tetapi itu tidak cukup.
Data ini diperoleh berdasarkan pelaksanaan monitoring intensif pada populasi biawak komodo yang ada di Taman Nasional Komodo oleh para ranger Balai Taman Nasional Komodo dan peneliti di Yayasan Komodo Survival Program.
Masalah
Di sisi lain beberapa masalah timbul sebagai ekses masifikasi kunjungan wisatawan. Tercatat misalnya, ada kasus pemerkosaan turis asal Perancis yang dilakukan pemandu wisata, ada turis Thailand meninggal di puncak Padar, KM Aditya tenggelam di Labuan Bajo, empat kecelakaan laut terjadi di Labuan Bajo selama Juli 2022, viral video komodo di TNK dipaksa berenang di laut oleh wisatawan dan karenanya BBKSDA NTT geram bukan main, polisi menangkap pembantai 100 rusa di Pulau Komodo. Selain itu, marak terjadi pencurian terumbu karang di TNK dengan modus pura-pura menjadi nelayan dan masih banyak masalah lain yang perlu diatur dan dikontrol. Intinya ada sedikitnya 30 jenis masalah yang timbul menyusul Labuan Bajo menjadi destinasi pariwisata super premium.
“Jika semua masalah diidentifikasi maka ditemukan sedikitnya ada 30 masalah di sekitar destinasi pariwisata Labuan Bajo dan sekitarnya. Mulai dari urusan sampah, rusaknya lingkungan habitasi komodo, gangguan perilaku komodo, kapal-kapal tidak teridentifikasi, sampah yang dicurahkan dari kapal-kapal, pengendalian arus keluar masuk kapal wisatawan, pengelolaan air bersih, management naturalist guide, hilangnya nilai jasa ekosistem, konversi rumah penduduk menjadi homestay, reservasi taksi/kendaraan dan masih banyak hal lain lagi,” ujar Sony Libing meyakinkan.
Terkait tumpukan masalah itu dan realitas ketidakteraturan itulah maka pemerintah provinsi meminta pemerintah pusat untuk ikut mengelola TNK. Permintaan itu disetujui. Caranya, pemerintah pusat melalui kerja sama Pemerintah Provinsi NTT dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam bentuk MoU.
Nota kesepahaman antara Direktorat Jenderal KSDAE KLHK dengan pemerintah provinsi tentang kerja sama penguatan fungsi kawasan konservasi dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan di Taman Nasional Komodo ditandatangani oleh Direktur Jenderal KSDAE Wiratno dan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat disaksikan oleh Wakil Menteri KLHK Alue Dohong, tanggal 24 November 2021 di Kupang.
Kemudian ada kerja sama Pemprov NTT melalui PT Flobamor dengan Balai Taman Nasional Komodo. Isi kerja sama yaitu terkait, penguatan kelembagaan; perlindungan dan pengamanan; pemberdayaan masyarakat; dan pengembangan wisata alam.
Di bidang penguatan kelembagaan, didahului dengan kajian ilmiah terkait daya dukung daya tampung berbasis jasa ekosistem, research roadmap 2023-2026, antropologi perihal asal usul masyarakat Kampung Komodo, rencana pemberdayaan masyarakat, dampak kunjungan wisata terhadap kawasan konservasi pada wilayah daratan dan perairan.
Sedangkan untuk peningkatan kapasitas SDM ada pelatihan selam, pelatihan monitoring terumbu karang, pelatihan monitoring ikan, pelatihan geographic information system, pelatihan interpretasi dan hospitality bagi ranger dalam rangka pengembangan destinasi.
Sedangkan di bidang perlindungan dan pengamanan ada penguatan tenaga pengamanan dan peningkatan sarana prasarana. Seperti, patrol pencegahan dan penanggulangan kebakaran bersama masyarakat, patrol bersama masyarakat mitra polisi kehutanan, penyegaran polisi kehutanan/ranger, peningkatan kapasitas anggota masyarakat mitra polisi kehutanan dan peningkatan kapasitas anggota masyarakat peduli api.
Lalu, untuk peningkatan sarana dan prasarana, akan dilakukan optimalisasi kapal patroli, radio tower, drone, patroli rutin dan patroli insidentil, dan perlindungan dan pengamanan pada tingkat tapak 13 resort.
Hal serupa juga dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wisawata alam. Dengan kata lain, kerja sama pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat itu diorientasikan untuk kelestarian kawasan wisata dan keuntungan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Terkait data tren kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo tahun 2010-2021 tampak sangat fluktuatif. Dari tahun 2010 hingga 2019 tren terus naik dan puncaknya pada tahun 2018 dan 2019. Tetapi pada tahun 2020 anjlok dan tahun 2021 mulai bergeliat naik sedikit tetapi tidak dapat mengejar tren tahun 2018 dan tahun 2019.
Hal ini dapat dipahami karena tren kunjungan meningkat 10 tahun terakhir karena promosi intensif pada berbagai media sosial. Sedangkan tren menurun drastis karena pada tahun 2021-2022 dikarenakan Covid-19. Sebelumnya wisatawan asing mendominasi proporsi kunjungan dibanding wisatawan domestik.
Destinasi wildlife komodo
Direktor Operasional PT Flobamor, Abner Eson Rumpah Ataupah melukiskan sejumlah destinasi wildlife komodo antara lain di Pulau Padar (Padar Selatan dan Long Beach), Pulau Komodo (Kampung Komodo, Long Liang dan Pink Beach) dan Pulau Rinca.
Disebutkan, kajian daya dukung daya tampung berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo, Pulau Padar dan kawasan perairan di sekitarnya (kajian DDDTJE) telah dilakukan oleh tim ahli 7 universitas yang diketuai Dr. Irman Firmansyah, S.Hut., M.Si dan telah dipresentasikan kepada stakeholders terkait, termasuk Gubernur NTT, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi KLHK, serta Bupati Manggarai Barat di Labuan Bajo, 22 April 2022 dengan rekomendasi salah satunya agar dilakukan pembatasan kunjungan (kuota) ke Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Kawasan perairan disekitarnya serta diperlukan kontribusi konservasi sebagai kompensasi atas hilangnya nilai jasa ekosistem setiap kunjungan dilakukan.
Maka, digitalisasi manajemen kunjungan yang menjadi program pertama dan unggulan dalam rangka menjaga daya dukung dan daya tampung kawasan konservasi berbasis jasa ekonomi sistem juga diharapkan mampu menjaga stabilitas lingkungan, memaksimalkan pengawasan dan pengamanan, serta pada gilirannya akan meningkatkan perolehan pendapatan negara dan daerah.
Dengan penjelasan rinci dari sumber kredibel ini dapatlah dipastikan langkah sosialisasi meluas diperlukan sehingga Pemerintah NTT memberikan dispensasi agar pemberlakuan harga sebagaimana diributkan selama ini ke Pulau Komodo dan Padar di Labuan Bajo dapat dipahami secara mendasar.
Bahwa konservasi sebagai keniscayaan logika dari destinasi wisata super premium justru karena objek wisata itu bukan benda mati, melainkan makhluk hidup yang kehidupannya patut dikonservasi dengan seluruh ekosistem yang menyertainya.
Catatan penting dikemukakan para peserta diskusi ialah bahwa PT Flobamor perlu memiliki juru bicara yang kredibel sehingga sanggup mengkomunikasikan seluruh perkembangan yang terjadi dalam narasi yang mudah dimengerti.
(tim dp)