Pengalaman dari seorang petani hortikultura di Kampung Werong – Lelak.
Kampung Werong terletak di Desa Bangka Lelak, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai. Topografi kampung ini berbukit-bukit, kondisi tanah umumnya subur namun sebagian tanahnya merupakan tanah jenis podsolik kuning yang miskin unsur hara atau biasa disebut tanah kritis. Bentangan alam (landscape) kampung ini sangat indah, cocok destinasi wisata dan pernah dikunjungi wisatawan asal Eropa untuk belajar pertanian organik.
Mata pencaharian warga Kampung Werong yang terdiri dari 60 kepala keluarga adalah bertani hortikultura, jahe dan kopi arabika/robusta serta beberapa dari mereka bekerja sebagai tukang bangunan. Skala usaha hortikultura sayur-sayuran dan jahe dari beberapa petani Kelompok Campe Mose pada tahun 2010 dinilai masih relatif kecil karena mereka belum mengetahui potensi pasar dari kedua jenis komoditi tersebut.
Pada bulan Mei tahun 2012, Lambertus Jehadut, salah satu warga Kampung Werong, datang ke Kantor Yayasan Ayo Indonesia, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Ruteng. Kedatangan Lamber saat itu bertujuan untuk meminta dukungan pendampingan teknis dan motivasi bagi beberapa petani di sana yang telah membentuk kelompok tani dengan nama Campe Mose (membantu kehidupan). Inisiatif Lamber ini dinilai sangat positif karena dia tidak meminta bantuan dalam bentuk benda ataupun uang seperti lazimnya.
Rikhardus Roden, Koordinator Program Pemberdayaan Pertanian di Yayasan Ayo Indonesia menyambut baik permintaan Lamber. Dalam diskusi tentang usulan pendampingan tersebut keduanya sepakat bahwa pendampingan dimaksud bertujuan untuk merubah cara berpikir yang nantinya berdampak kepada meningkatnya kapasitas produksi, pemahaman petani tentang bisnis, pemasaran, pengelolaan keuangan dan cara membangun jaringan pemasaran dengan pelaku-pelaku pasar hortikultura di Ruteng, Borong dan Labuan Bajo.
Sekitar awal Juni 2012, Yayasan Ayo Indonesia menindaklajuti usulan Lamber dengan menyelenggarakan suatu pelatihan peningkatan kapasitas petani tentang bisnis dalam pertanian organik.
Pada pelatihan tersebut, Staf Yayasan Ayo Indonesia tidak langsung mengajarkan mereka tentang apa itu bisnis dan cara mengembangkan pertanian organik misalnya cara membuat pupuk organik, kegiatan yang bersifat teknis. Fasilitator pelatihan mengajak peserta untuk merefleksi tentang pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja keluarga mereka selama setahun.
Dalam refleksi yang bersifat partisipatif ini, mereka bersama-sama mengidentifikasi tentang sumber pendapatan utama mereka dari mana saja, menyimpan uang di Bank atau Koperasi Kredit (CU) dan bagaimana produktivitas dari aset-aset mereka berupa kebun kopi, peternakan, sawah dan potensi lain terkait jumlah lahan tidur yang belum dikerjakan.
Tujuannya adalah untuk mengetahui secara pasti gambaran dari kondisi keuangan keluarga, jumlah pendapatan dan pengeluaran, kemudian sumber-sumber pendapatan potensial yang belum dikelola secara maksimal. Dengan metode ini maka akan diketahui apakah keluarga mengalami surplus atau minus pendapatan selama setahun dan bijaksana dalam mengelola keuangan.
Bagi fasilitator, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis dari petani tidak dilihat sebagai hal yang sangat penting dalam pemberdayaan. Tetapi menyakinkan petani tentang alasan kenapa pengetahuan dan keterampilan itu harus dimiliki menjadi mendesak saat itu. Maka metode pelatihan dirubah, dimana refleksi situasi sosial ekonomi lebih dahulu baru mengajarkan hal-hal teknis.
Hasil refleksi ini memang di rancang untuk menjadi acuan bagi petani di Kelompok Campe Mose Werong dalam memutuskan mau menanam apa, kapan, dan berapa banyak tanaman yang di tanam serta luasan lahan yang dikelola. Kemudian jika ada uang harus simpanan dimana untuk masa depan keluarga mereka. Sebab alasan kita bertani ataupun berusaha di luar pertanian tentu dimaksudkan untuk memenuhi anggaran belanja dan pendapatan keluarga. Dengan cara demikian, mau tidak mau petani harus berpikir untuk menentukan target dalam bekerja.
Metode Pelatihan Ini Menghasilkan Petani Sukses
Tote Yosep Lomor (55) salah satu pengurus Kelompok Campe Mose yang ikut pelatihan itu, dihadapan anggota kelompok yang hadir secara jujur menyampaikan bahwa keluarganya mengalami kekurangan uang selama setahun karena jumlah pengeluaran atau pembelanjaan keluarga sangat tinggi. Sedangkan pendapatan sangat rendah dan cenderung menurun sehingga sulit untuk menabung.
Dia secara tegas mengatakan saat itu, keluarganya mengalami kekurangan uang untuk memenuhi beberapa pos pengeluaran rutin rumah tangganya, antara lain untuk membeli sembako, biaya pendidikan, biaya urusan adat dan sosial kemasyarakatan.
“Pendapatan dari usaha taninya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Pengeluaran lebih besar dari pendapatan, sehingga situasi ini kadang-kadang menjadi salah satu pemicu konflik dalam rumah tangga. Padahal ada potensi untuk meningkatkan pendapatan, yaitu lahan tidur masih cukup luas dan lahan yang sudah dikerjakan bisa dinaikan produktivitasnya dengan pertanian organik,” ungkap Tote ayah dari 5 orang anak ini.
Dari pendekatan pelatihan pertanian reflektif ini, Tote kemudian termotivasi untuk meningkatkan produktivitas lahannya, meningkatkan pendapatan dan mengatur keuangan sacara bijaksana. Dia mulai membuka lahan di dekat rumahnya untuk ditanami sayur-sayuran secara organik. Lahan yang sebelumnya hanya ditumbuhi semak-semak menjadi lahan subur untuk beberapa jenis sayur-sayuran. Tidak hanya menanam sayur-sayuran, dia bersama istrinya juga menanam jahe di antara tanaman kopi arabika.
Dalam perjalanan usahanya bersama istri, Tote mengatakan Staf Lapangan Yayasan Ayo Indonesia terus melakukan pendampingan teknis dan pemberian motivasi-moitivasi setiap bulan. Staf dari Ayo Indonesia selalu memperkenalkan cara baru untuk meningkatkan mutu pupuk organik dan mendorong saya masuk menjadi anggota Koperasi Ayo Mandiri dan KSP Florette.
“Saya juga di ajak Yayasan Ayo Indonesia dan Swisscontact untuk bertemu dengan seorang petani sukses dari Bali namanya Runca. Petani dari Bali ini berbagi banyak pengalaman, baik terkait cara membuat pupuk organik, mengelola usaha, analisa usaha, cara membaca peluang pasar, cara mengatur keuangan (melek keuangan) dan mengelola mental disaat produksi menurun atau harga sayur-sayuran anjlok,” cerita Tote.
Lebih lanjut ia mengakui cara pendampingan seperti ini yang mendorong dia dan istrinya untuk fokus menanam sayur-sayuran dan jahe sebagai sumber pendapatan.
Pengalaman-pengalaman yang sangat berarti selama pendampingan dari Yayasan Ayo Indonesia memperkuat keputusan Tote dan isterinya untuk lebih fokus pada budidaya jahe sejak tahun 2014 sampai dengan sekarang ini. Sedangkan sayur-sayuran ditanam hanya untuk dikonsumsi sendiri bukan untuk dijual.
Lahan awal yang digunakan untuk menanam jahe seluas 1 hektar kini terus diperluas menjadi 4 hektar pada tahun 2020 dan pupuk organik sebagai sarana produksinya.
“Pengetahuan analisa usaha yang diajarkan oleh petani sukses dari Bali saya terapkan dalam menghitung biaya produksi dan perkiraan pendapatan dari usaha jahe,” ungkap Tote dengan penuh percaya diri.
Pendapatan keluarga saya dari usaha jahe terus meningkat dan total pendapatan yang diterima sejak tahun 2014 sampai dengan Juni tahun 2020 adalah Rp476.000.000. Sebagian uang ini, ungkap Tote digunakan untuk memperbaiki rumah. Rumah sebelumnya berdinding bambu sekarang berubah menjadi rumah tembok. Selain itu, uang dari penjualan jahe tersebut disimpan di CU Florette untuk simpanan saham dan simpanan pendidikan bagi anaknya.
Harga jahe dari tahun ke tahun terus meningkat dan ini yang mendorong Tote untuk fokus pada usaha menanam jahe. Peluang pasar jahe terbuka lebar. Pada bulan Juli 2020, dia menanam jahe di lahan baru seluas 1 hektar dan akan di panen pada bulan Juni 2021 mendatang.
Kontributor: Rikhardus Roden