Pengantar Redaksi:
Para pembaca peduli kawasan Timur Indonesia di tanah air yang mulia. Belum lama berselang, Prof. Dr. Willi Toisuta, menyampaikan pidato penutupan pada Forum Kawasan Timur Indonesia (KTI) di Hotel Harper Kupang, 27 Juli 2023 silam. Sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan BAKTI, mantan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan Staf Khusus Gubernur NTT, Bidang Pendidikan itu, menyerukan beberapa hal amat penting yang patut dicermati oleh semua pemangku kepentingan di pembangunan interdisiplin di tanah air, khususnya pembangunan di kawasan Timur Indonesia. Catatan penting yang disari dari pidato Beliau itulah, kini didedikasikan untuk para pembaca. Media online detakpasifik.com yang peduli pada pembangunan kawasan Pasifik Selatan mempertimbangkan bahwa apa yang dikatakan Prof. Willi tidak hanya melukiskan realitas kontekstual, tetapi sekaligus melukiskan pentingnya pembangunan berbasis riset di kawasan Timur Indonesia.
Silakan membaca.
BAKTI menyampaikan terima kasih kepada semua mitra kerja lokal, nasional dan internasional yang berperanan signifikan menopang pelaksanaan dan keberhasilan forum ini. Peranan dan partisipasi Pemerintah Kota Kupang dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dinyatakan sebagai kontribusi tanpa pamrih. Juga layak disampaikan penghargaan kepada pemilik Hotel Harper, Bapak Ir. Paul Liyanto. Beliau mengerti sesak-nafasnya anggaran forum dan telah bertindak, bersama General Managernya, memenuhi kebutuhan forum ini.
Bersama semua, para aktor inovasi, kolaborasi pembangunan dan pembaharuan masyarakat BAKTI menginisiasi, mendokumentasi, mengkomunikasikan secara luas melalui media konvensional dan digital pengetahuan dan praktik-cerdas di KTI. Tidak hanya masyarakat KTI, tetapi juga masyarakat kawasan Indonesia lainnya mengetahui eksistensi KTI.
Forum-forum KTI mendemonstrasikan pengalaman dan keberhasilan upaya semua pihak dalam memberdayakan masyarakat, mengeksploitasi secara bertanggung jawab alam dan kelestariannya bagi kesejahteraan bersama. Akibatnya, terakumulasi pengetahuan dan pengalaman sehingga dapat dibagikan pada masyarakat luas. Bukankah KTI telah belajar bahwa dengan berpikir kreatif, imajinatif dengan kemauan serta komitmen teguh telah mampu mengubah hobi rumah tangga dalam pertanian, misalnya, menjadi upaya entrepreneurial yang meningkatkan peningkatan dan kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Perbaikan gizi terutama bagi anak-anak dan pola makan dan kesehatan pada umumnya mempengaruhi status stunting dan kemiskinan yang menjadi keprihatinan bersama, juga di NTT anggota masyarakat lain memperoleh keuntungan karena terbukanya lowongan kerja baru yang amat dibutuhkan. Upaya produktif semacam itu menjadi laboratorium hidup bagi pembelajaran sekolah dan mahasiswa. Karena berbagai upaya pemberdayaan KTI telah menembus tembok-tembok penghalang dan kekerasan yang menekan kelayakan kehidupan keluarga dan sesama manusia.
Di sisi yang berbeda, dalam memodernisasi sistem pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara adalah satu-satunya yang mengadopsi sistem digitalisasi keuangan daerah sehingga meningkatkan hingga 300 persen Pendapatan Asli Daerah. Hampir semua peserta forum yang mewakili pemerintah daerahnya telah menyatakan keinginan untuk mereplikasi keberhasilan Maluku Tenggara. BAKTI bersama mitra kerjanya akan memberi perhatian pada proses inovasi yang sangat berguna ini dan menopang terjadinya perubahan di daerah-daerah lain yang membutuhkan dalam wilayah KTI .
Akibat upaya kita memberdayakan kemandirian gender, status sosial dan ekonomi, kita dapat melihat dengan jernih mencuatnya sentuhan humanistik yaitu kepedulian meringankan dan jikalau dapat menyelesaikan berbagai beban dan tekanan psikologis yang negatif mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan anak dalam keluarga, maupun “kemanusiaan” istri, dan perempuan pada umumnya.
Pelajaran amat penting diperoleh dari program dan komitmen pada perjuangan merealisasi kesetaraan dan inklusifitas adalah tuntutan menggeser paradigma yang telah lama tertanam dalam kehidupan bersama masyarakat disabilitas. Yang disadari adalah bahwa realisasi inklusifitas tidak boleh berdasar pada kebiasaan mengekspresikan sentimental karitatif, tetapi sebaliknya merupakan suatu perjuangan membangun kesadaran dan keyakinan akan tegaknya hak asasi manusia yang secara eksplisit akuntabilitasnya tersendiri.
Dalam research kesehatan publik telah berkembang, antara lain, model Research Partisipatif dan Engagement Research di mana prinsip equity, diversity dan inclusive diindahkan secara serius. Semua anggota masyarakat yang mewakili berbagai “status”, karakteristik serta latar belakang apa pun harus memperoleh kesempatan untuk diturut-sertakan dalam disain, pelaksanaan dan terutama analisis serta pengajuan rekomendasi untuk merumuskan kebijakan tentang penggunaan hasil research dan dampaknya.
Tanpa keterlibatan masyarakat disabilitas, research akan dinyatakan sebagai bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan sebagai tindakan amoral secara etikal dan karenanya tidak dapat dibenarkan (unjustifiable). Satu keuntungan yang diperoleh dari model research partisipatif adalah perolehan data dan informasi yang sahih dan autentik maupun pengetahuan baru yang diperlukan dalam mengembangkan solusi berbasis kearifan lokal.
Dalam hubungan ini forum KTI memperoleh angin segar dari praktik cerdas dunia usaha “Alfamart”. Mereka secara eksplisit meregulasi kewajiban mempekerjakan masyarakat difabel 1 persen dari jumlah karyawannya.
Forum KTI harus menopang kenyataan penting ini dan turut mengawal Alfamart agar kebijakan ini terjadi secara lestari dan tidak merupakan “show-case” belaka. Forum KTI perlu terus mendorong praktik mereka menjadi suatu gerakan konsientisasi sehingga masyarakat memahami perlunya ekuilibrium yang tepat dan sehat di antara ajaran moral dan praktik komersial. Bagi BAKTI kecenderungan “compassionate capitalism” yang mewujud semacam ini perlu ditelusuri dan pelembagaannya diwujudkan sebagai bagian penguatan ideologi BAKTI sendiri.
Baca juga:
Prof Willi Toisuta: “Tidak Boleh Ada Anak yang Tidak Bersekolah di NTT”
Fisip Universitas Katolik Widya Mandira Merintis Pusat Studi Indonesia Timur
Forum ini dan forum-forum sebelumnya memberikan kelegaan kepada kita dan membuat kita bersyukur kepada Tuhan yang menganugerahkan kesempatan bagi kita untuk berbuat selayaknya bagi sesama saudara kita terutama mereka yang “kurang beruntung” dan termarginalisasi. Inspirasi, kreativitas dan model inovasi yang dihasilkan membuktikan bahwa kapasitas kita tidak karam pada debat kedai kopi atau balai desa. Tembok-tembok penghalang kemandirian telah dapat ditembus secara positif walaupun berangsur. Tetapi, yang amat menarik adalah menguatnya di antara anggota masyarakat sentuhan humanistik dalam rangka membebaskan sesama anggota masyarakat dari “penjara” psikologis berupa tekanan dan penderitaan batin berhubungan dengan kekerasan rumah tangga, misalnya.
So, what next BAKTI?
Apakah yang dapat diantisipasi dan diupayakan untuk masa depan? Apakah BAKTI dan forumnya di masa yang akan datang dapat NAIK KELAS dalam sentuhan-sentuhan kemanusiaan untuk mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa?
Berbagai isu ketimpangan kesetaraan layanan dasar bagi seluruh masyarakat KTI harus memperoleh perhatian serius. Provinsi di KTI banyak memiliki pulau-pulau yang tersebar dan sukar dicapai karena tidak terjaminnya layanan dasar transportasi laut. Selama bertahun-tahun realitas ini telah menimbulkan diskrepansi dalam berbagai dimensi.
Pertanian subsisten penduduk tidak dapat berkembang karena jauhnya pasar yang hanya berada di kota yang lebih besar dan biasanya di pulau yang lain. Ekonomi perikanan juga tidak berkembang karena walaupun nelayan memiliki sumber ikan yang berlimpah dari laut sekitar pulaunya, tanpa ada fasilitas cold-storage atau transportasi yang dengan cepat menghubungkan mereka ke pasar, maka kegiatan produktif apa pun tidak akan menarik dan menguntungkan rakyat setempat.
Yang tragis tentunya adalah kenyataan yang dapat dilihat kasat-mata tentang hadirnya kapal penangkap ikan yang menggaruk kekayaan laut dan mendatangkan keuntungan yang besar, tetapi terjadi di atas kemiskinan lokal yang sebenarnya lebih berhak karena berabad lamanya keturunan mereka tinggal dan memiliki pulau dan kekayaan alam dan lingkungannya.
Layanan dasar pendidikan dan kesehatan juga mengalami nasib buruk. Karena jumlah penduduk di pulau-pulau terpencil sedikit maka rasio yang kecil antara penduduk terhadap dokter atau siswa terhadap guru menyebabkan penempatan tenaga profesional itu secara menetap menjadi sukar. Jumlah murid yang sedikit juga tidak memungkinkan anak melanjutkan jenjang sekolah SD ke SMP dan SMA di pulau yang sama.
Hal ini berakibat pada keadaan keuangan keluarga yang memang sudah rapuh, tetapi juga pada fondasi budaya, sosial dan psikologis siswa terutama pada usia pertumbuhan karena harus berpindah-pindah meninggalkan lingkungan keluarga dan habitatnya. Absennya guru dari tugas mengajar kebanyakan bukan karena keinginan guru sendiri, tetapi keharusan mengambil gaji di pulau lain yang memiliki kantor pos atau bank.
Guru dan dokter mana yang sanggup bertahan lama dalam lingkungan pekerjaan yang depresif semacam itu. Hilangnya layanan kesehatan keluarga yang prima berakibat pada tumbuh-kembang anak secara sosial-budaya, kognitif-intelektual dan keterampilan lainnya. Membiarkan ini terjadi akan menyebabkan hilangnya potensi keterdidikan generasi anak kepulauan yang ujungnya tidak memungkinkan teraktualisasi secara optimal brain-power anak KTI. Bakti harus meneriakkan kebenaran bahwa kebijakan nasional yang one size fits all dalam konteks provinsi kepulauan hanya akan melestarikan kesenjangan bukan mempromosikan kesetaraan, kepelbagaian dan inklusifitas untuk sesama bangsa Indonesia.
Karena konteks pembangunan KTI amat kompleks dan berdimensi jamak maka BAKTI akan mengadakan forum-forum provinsial seperti Forum Papua, Sulawesi, Maluku, NTT, NTB sebelum sebuah Forum KTI seperti yang kita laksanakan sekarang ini. Hanya dengan kegiatan demikian BAKTI akan mampu memperoleh pengetahuan yang kontekstual, mendalam, dengan data yang autentik untuk membantu pemerintah provinsi dan kabupaten dengan program pembaharuan yang realistik berbasis bukti.
Walaupun pada saat ini kita mempunai stock of knowledge dan experience berbasis bukti, masih nampak secara jelas bahwa rekomendasi pembaharuannya tidak memiliki kekuatan pendobrak tembok birokrasi dan kuasa regulasi yang diskrepantif. Pengetahuan apa lagi yang masih kurang dan bukti apa lagi yang masih perlu ditemukan untuk dijadikan kebijakan memberantas ketertinggalan pulau-pulau terpencil di kawasan Timur Indonesia bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Itulah sebabnya BAKTI harus melaksanakan Forum Provinsial. Basis operasi BAKTI pada aras akar-rumput dapat memberi masukan yang demand-driven pada Program Pelayanan Dasar Negara untuk kesetaraan (equity), kepelbagian (diversity) dan inklusifitas (inclusivity) di KTI.
Hanya saja BAKTI tidak ingin terlibat dalam bermitra untuk meraih pre-described objectives agar tidak terperangkap lagi dalam pengalaman menggunakan evidence-based policies untuk menjustifikasi kebijakan yang telah diputuskan sebelumnya. Dalam menghayati ke-tidaksetaraan dan diskrepansi dalam berbagai dimensi, pembelajaran dari berbagai provinsi, data, informasi dan temuan yang akurat akan dipergunakan sebagai bukti untuk membangun perspektif baru berupa skenario yang mampu mempengaruhi perubahan (influencing the forces of change) untuk membangun masyarakat KTI yang transformatif, adil dan berkeadaban. Inilah evidence-driven policy yang dipentingkan BAKTI.
Dengan sendirinya BAKTI perlu bekerja sama dengan lembaga Perguruan Tinggi terutama di KTI dalam pengembangan dan pembangunan KTI berbasis research. Walaupun demikian nampaknya perlu terlebih dahulu diperbincangkan beberapa prioritas utama. Di samping pelaksanaan proyek research, demi kepentingan masa depan dunia penelitian yang berbobot di KTI, penyempurnaan tata-kelola penelitian di Perguruan Tinggi amat diperlukan.
Kebanyakan Perguruan Tinggi di KTI masih merupakan Teaching University sehingga keterlibatan intensif dalam research untuk pengembangan pengetahuan dan teknologi untuk pembaharuan masyarakat belum diutamakan.
Dalam Teaching University, research selalu dimaksudkan untuk penulisan skripsi, tesis atau disertasi. Dengan demikian metodologinya terbatas berhubungan dengan pembuktian hipotesis dan research questions. Dosen pembimbing lebih banyak terlibat dalam pengajaran sehingga kultur research tidak ditumbuhkan dalam komunitas akademik mereka. Mahasiswa lebih terbiasa untuk mempersoalkan value for money, yaitu apakah jaminan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan investasi mereka dalam pembelajaran.
Pengetahuan yang terakumulasi merupakan keping-keping ilmu yang disimpan dalam silos fakultas dan program studinya dan tidak “dibuka” untuk diperdebatkan secara publik kegunaan dan dampaknya bagi masyarakat dan ilmu-pengetahuan sendiri.
Pembangunan wilayah membutuhkan solusi berbasis pendekatan inter dan multidisipliner sehingga temuan penelitian Perguruan Tinggi setempat yang tidak berorientasi demikian menjadi tidak relevan. Akibat proses research global yang tidak terhentikan pengetahuan baru telah bertambah secara eksponensial. Ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti. Karena tuntutan kontekstual dan substantif dalam wilayah penelitiannya (KTI), para peneliti harus memiliki otoritas ilmiah yang mandiri.
Baca juga:
Prof Willi Toisuta: “Tidak Boleh Ada Anak yang Tidak Bersekolah di NTT”
Fisip Universitas Katolik Widya Mandira Merintis Pusat Studi Indonesia Timur
Temuan baru tidak hanya menambah khazanah pengetahuan, juga untuk KTI, tetapi membongkar asumsi lama yang selama ini dipedomani sebagai rujukan, telah menjadi usang dan ketinggalan zaman. Ini berarti bahwa untuk kepentingan KTI penelitian dan peneliti kita harus membebaskan diri dari tradisi ikut-ikutan trend belaka dan memulai gerakan dekolinisasi pengetahuan yang biasanya didominasi oleh pemikiran eksternal.
Karena scientific dan research culture merupakan learned behaviour maka sistem pendidikan di KTI pada saat ini harus mengintroduksi paradigma yang baru yaitu pembelajaran berbasis penelitian (research-based-teaching and learning) di semua jenjang persekolahan. Hanya dengan demikian kita dapat memasuki masa depan KTI dan Indonesia dengan kepercayaan diri yang pantas.
Di samping konsen BAKTI terhadap pentingnya pengembangan kultur ilmiah dan research yang amat menentukan masa depan KTI, BAKTI bekerja secara konkret mengembangkan Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JIKTI). JIKTI diadakan untuk menjadi mitra penelitian bagi organisasi masyarakat, instansi pemerintah dan swasta agar pengembangan kebijakan berbasis bukti dan pengembangan pengetahuan berbasis research untuk kepentingan KTI dapat terlaksana secara sistemik.
Anggota JIKTI adalah peneliti muda yang tidak terikat pada satu Perguruan Tinggi sehingga kita memiliki secara “siap” pasukan peneliti yang inter-institusional dan inter-disipliner yang menjanjikan. Organisasi JIKTI dan sistem kerjanya akan ditata secara profesional dan dibimbing oleh tenaga pakar penuh waktu.
Semua hasil kerja dan studi serta pergumulan BAKTI terutama setelah melalui perbincangan dalam Forum KTI perlu dikomunikasikan secara efektif kepada para pemangku kebijakan agar kepentingan dan kehidupan masyarakat KTI mengalami transformasi yang sesuai dengan cita-cita membangun bangsa dan negara kita. Itulah sebabnya BAKTI akan menghidupkan kembali forum-forum yang pernah berfungsi seperti Forum Bappeda dan Bupati dan Forum Gubernur se-Kawasan Timur Indonesia.
Dalam waktu singkat BAKTI akan mengaktifkan Forum Anggota DPR se-Kawasan Timur Indonesia agar kepentingan kawasan Timur Indonesia memperoleh tempat dalam agenda perdebatan dan advokasi secara bertanggung jawab pada aras parlemen.
Sekian.