Ino, adalah manusia serba sedikit, manusia langka. Tetapi, dia berani mengambil sikap. Setiap pemuda intelektual berani selalu di ujung sana ada cahaya kecil di tengah kegelapan limpahan sarjana kampus yang menganggur.
detakpasifik.com – Pria ganteng. Hitam manis. Tinggi 1,68 cm. Hidung mancung seperti layaknya orang India. Perawakannya tipis, tetapi tidak dapat disebut kurus. Dia membujang. Dia, Ino Assa (28 tahun).
Ino lahir 1994 di Nenuk, Atambua, Kabupaten Belu. Ia hadir ke dunia ini di dalam pelukan lingkungan keluarga petani sederhana. Kini, Ino mendiami rumah 4 x 8 meter bersama 6 siswa SMK Peternakan Snakma, Kabupaten Kupang, yang bermagang praktik tiga minggu bersamanya. Dia menyebut, tempat tinggalnya itu sebagai rumah, bukan asrama di atas lahan 2,5 hektare. Di tempat itulah Ino membimbing dan melatih 6 siswa yang melakukan praktik lapangan cara pemeliharaan ayam jenis KUB. Kandang ayam KUB dibangun dengan bahan-bahan lokal seperti bambu, kayu sisa bengkel kayu dan seng bekas.
Ayam KUB adalah sejenis ayam kampung galur baru hasil seleksi secara genetik oleh tim peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan). Ayam galur baru ini dinamakan ayam Kampung Unggul Balitbangtan yang disingkat KUB.
Selain biaya produksi terbilang murah meriah, masa panen ayam KUB sangat cepat. Selama kurun waktu 2 bulan ayam sudah besar dan dapat dijual. Harga variatif, tergantung besar kecilnya. Tetapi, umumnya, ayam yang dikelola Ino, dijual Rp 130.000/ekor. Pembeli sudah jelas. “Kebutuhan ayam di Kota Kupang bahkan di NTT, masih sangat tinggi. Karena itu, pasar ayam KUB masih sangat terbuka lebar,” ujar Ino Assa menganalisis.
Apa keunggulan ayam KUB? Keunggulan ayam KUB adalah produksi telurnya 160-189 butir pertahun/ekor. Sifat mengeramnya 10 persen. Umur pertama bertelur 22-24 minggu. Bobot telurnya 36-45 gram/butir. Selama dua bulan pemeliharaan, berat badan mencapai 600 gram/ekor pada jantan dan betina 581 gram/ekor. Kebutuhan pakan awal DOC ayam KUB 5 gram/ekor/hari. Selanjutnya jumlah pakan yang diberikan bertambah 5 gram setiap minggunya hingga berumur 5 minggu.
Ino, demikian dia biasa disapa, merintis dan merajut lembar sejarah jalan hidupnya melalui sekolah. Tak beda jauh dengan kebanyakan orang lain di kampung kelahirannya di Belu. Sebagaimana umumnya garis takdir sistem pendidikan sekolah di tanah air, Ino pun mengalir begitu saja.
Ino, sarjana peternakan keluaran Undana itu, lalu menjahit sejarah pendidikannya bermula masuk di Sekolah Dasar Katolik Atambua (2000-2006), lalu dia melanjut ke Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP D Nela Atambua (2006-2009).
Kemudian, orangtuanya mengirim Ino ke Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Belu, Atambua (2009-2012). Lepas dari SMKN 2 Belu, Atambua, Ino ke Fakultas Peternakan Undana tahun 2012. Tamat 2017. Ino menempuh studi 5 tahun hingga memikul gelar Sarjana Perternakan tepat waktu. Maka jelaslah, namanya menjadi Ino Assa, S.Pt.
Baca juga: Membangun Manusia Pembangun di Desa Kaeneno TTS
Ayah ibunya petani sangat sederhana. Tetapi, semangat juang petani kecil untuk membiayai anaknya hingga ke sekolah tinggi, memang tak kunjung pernah padam. Kini, Ino telah menjadi manajer untuk sebuah usaha peternakan ayam di bilangan Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, NTT.
Dia sungguh-sungguh terprovokasi dengan pernyataan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dalam sambutannya yang mengatakan, universitas jangan hanya menjadi tempat pencetak peternakan sarjana, tetapi kampus harus sanggup menjadi tempat mencetak sarjana peternakan yang membuahkan karya nyata dalam masyarakat.
“Sarjana peternakan harus memiliki atau mengelola salah satu jenis usaha yang terkait dengan latar belakang studinya. Entah pelihara ayam, sapi, babi atau kambing,” ujar Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat menantang.
Ucapan Gubernur itu, begitu membekas dan disimpan di relung hati sanubarinya. Ino membenarkan seratus persen ucapan Gubernur yang disebutnya selalu viral di media online itu. Tetapi bukan soal viral itulah yang dipetik Ino Assa, tetapi makna utama ucapan itu.
Begitulah, kini Ino, memilih berdiam di daerah sunyi senyap di sebuah lokasi di atas tanah dua hektare, jauh dari keriuhan kota, ingar bingar diskusi politik tanpa solusi. Ino memilih jalan hidup dengan memelihara ayam KUB kurang lebih 1000 ekor. Ia memilih tali hidupnya di kampung.
Pagi, Minggu, pukul 10.00 Wita. Wartawan detakpasifik.com mengunjunginya di lokasi peternakan ayam yang dipimpinnya. Bertindak sebagai guide, penunjuk jalan, adalah Kepala Dinas Pemerintahan Desa, Drs. Viktor Manek, M.Si, mantan Kepala Perwakilan NTT di Jakarta dan mantan penjabat Bupati Malaka, di Betun.
Mengendarai mobil Innova plat DH 36, kami meluncur ke lokasi. Jarak tempuh 12 km dari rumah di Jl. Antarnusa, Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang. Waktu tempuh hingga tiba di lokasi tempat Ino berusaha, 30 menit. Itu pun terlambat karena sebelum tiba di tempat Ino, Pak Kadis Viktor Manek mengantar detakpasifik.com ke lokasi uji coba penangkaran dan pembibitan ayam jenis KUB di sebuah lokasi di Kampung Baumata, Kecamatan Taebenu, tak jauh dari lokasi usaha Ino Assa.
Kadis Viktor Manek, mengantar detakpasifik.com melihat keliling lokasi peternakan ayam di kawasan Baumata Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang itu. Viktor Manek berceritera, dirinya bertekad agar sekali kelak, tak lama lagi, usaha peternakan sejenis akan meluas ke seluruh NTT sebagaimana selalu ditekankan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Sekarang sudah ada kelompok peternak di 21 kabupaten kota, kata Viktor Manek.
“Saya kira, pikiran Pak Gubernur sangat benar ketika beliau mengatakan ada begitu banyak potensi lokal yang harusnya berkembang di NTT. NTT ini sangat kaya. Begitu selalu kata Gubernur. Kita tidak lagi boleh bergantung pada kekuatan luar. Saya pikir, Gubernur benar. Pakan ternak selama ini bergantung pada Jawa, bibit ternak juga begitu. Termasuk bibit ayam. Saya kira pikiran Pak Gubernur itu mesti disahuti dengan langkah konkret yang tepat. Karena itu, dalam kapasitas saya sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, saya harus menyahuti pikiran Gubernur ini dengan melakukan konstruksi usaha riil yang melibatkan banyak pihak atau yang kerap disebut Gubernur sebagai kolaborasi dan sinergi itu,” ujar mantan penjabat Bupati Malaka itu.
Baca: Prof Willi Toisuta: “Tidak Boleh Ada Anak yang Tidak Bersekolah di NTT”
Baca: Pembangunan Jalan Menuju Pembebasan Rakyat dari Penjara Jalan
Saat tiba di lokasi, Ino Assa, sedang tidak peduli dengan kehadiran kami. Dia asyik menyelesaikan urusannya sendiri. Dia meracik pakan ayam KUB yang terdiri dari bahan serba lokal. Ada marungga (kelor), daun pepaya, daun serai, bawang dan daun yang dikenal dengan sebutan sensus (kirinyuh) oleh masyarakat lokal. Ino merapikan perapian. Dia menanak pakan yang disebutnya sebagai pangan verbal untuk ayam. Racikannya itu kemudian dijadikan semacam vaksin sehingga ayam bebas dari penyakit.
Ino hanya mengangguk seperlunya tatkala detakpasifik.com menyapanya. Sementara 6 anak binaannya, sedang mencacah batang pisang. Kemudian disebarkan di lokasi ayam KUB. “Ayam KUB makan batang pisang cacahan. Itu bahan bagus untuk pakan ayam, serba lokal,” ujar Ino menjawab pertanyaan detakpasifik.com.
Ino bermimpi, sekali kelak, tak begitu lama, pihaknya akan ikut dalam panggung permainan bisnis ayam di Kota Kupang dan NTT. “Saya belajar ilmu di universitas, tetapi ilmu itu hanya fungsional manakala konkret dalam praktik untuk memperbaiki hidup manusia. Sehingga teori dan praktik itu berkaitan atau relevan dalam kehidupan,” ujar Ino Assa yang sangat piawai menjelaskan tatacara memelihara ayam KUB dan mengikuti perkembangannya dengan baik.
Ayam KUB, telah mendapatkan pasar jelas. “Saya tidak menyebutnya konsumen, tetapi saya juga tidak menyebutnya pasar. Tetapi, saya menyebutnya sebagai jaringan bisnis ayam KUB,” ujarnya berdiplomasi sembari tersenyum.
Ketika ditanya apa pandangannya terkait banyak sarjana menganggur? Sambil tercenung sejenak, dia mengatakan: “Sesungguhnya menjadi kaya itu gampang, tetapi kan lebih banyak orang suka mengkhayal,” ujarnya serius.
Ucapan Ino itu pas. Tak ada mimpi yang terwujud jika tidak pernah ada langkah untuk memulai merintis jalan menuju impian itu. Hal itu seperti membenarkan pikiran Emile Durkheim seabad silam. Lebih dari seabad yang lalu, sosiolog kenamaan Emile Durkheim menolak gagasan bahwa pendidikan bisa menjadi kekuatan untuk mengubah masyarakat dan menyelesaikan penyakit sosial.
Sebaliknya, Durkheim menyimpulkan, pendidikan “dapat direformasi hanya jika masyarakat itu sendiri direformasi.” Pendidikan “hanyalah citra dan cerminan masyarakat. Ia meniru dan mereproduksi yang terakhir… ia tidak menciptakannya” (Durkheim, 1897/1951: 372-373).
Dari perspektif Durkheim ini, pria langka Ino Lassa tampaknya mendapat tempat istimewa. Sebagaimana pula dikutip Alan Singer Michael Pezone dalam Education for Social Change: From Theory to Practice (Singer, A. and Pezone, M., 2003. Education for social change: From theory to practice. Workplace: A Journal for Academic Labor, 5(2), pp.1-4), bahwa kebanyakan proposal arus utama untuk meningkatkan pendidikan di Amerika Serikat berasumsi, masyarakat kita pada dasarnya sehat, tetapi karena alasan tertentu, sekolah kita gagal.
Kritikus yang berbeda menargetkan penjahat yang berbeda: guru berkualitas buruk, siswa yang dimanjakan, mengganggu atau tidak siap, budaya keluarga mereka, serikat pekerja, birokrat, sekolah pendidikan universitas, ujian yang terlalu mudah, atau kurikulum yang tidak memadai. Tetapi jika Durkheim benar, suatu masyarakat memiliki sistem sekolah yang layak. Mencela kualitas pendidikan yang buruk seperti menyalahkan cermin karena Anda tidak menyukai bayangan Anda sendiri.
Kini, Ino Assa, pemuda Belu, sarjana peternakan keluaran Undana itu, tidak hendak mengurusi kelakuan buruk para keluaran perguruan tinggi yang hanya rela mengantre panjang di gerbang kantor-kantor pegawai negeri. Ino, adalah manusia serba sedikit, manusia langka. Tetapi, dia berani mengambil sikap. Setiap pemuda intelektual berani selalu di ujung sana ada cahaya kecil di tengah kegelapan limpahan sarjana kampus yang menganggur.
Baca juga: Viktor Manek: Membangun Bumdes, Tidak Sama dengan Membangun Kios
Dari perolehan usaha ayam itu, Ino Assa mengaku masih harus kerja sama dengan keluarga, sebagai pemodal. Tetapi, dirinya dibayar sebagai profesional. Dia memang tidak menyebut berapa dia dibayar, tetapi dari pancaran matanya tampak jelas Ino gembira.
Sebelum detakpasifik.com berpamit pulang dia berujar: “Saya kira kerja sama itu adalah biasa. Kolaborasi itu memang penting. Tetapi saya tetap ingin membuktikan kebenaran dari apa yang dikatakan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat itu. Bahwa sarjana memang harus merelevansikan ilmu yang dipelajarinya dengan aksi konkret di lapangan,” ujarnya menutup pembicaraan dengan detakpasifik.com.
(dp/pr)