Pemikiran alternatif demikian barangkali tidak langsung menyelesaikan masalah, tetapi paling kurang membuka ruang dialog yang lebih luas bagi berbagai pemangku kepentingan untuk mengurai masalah konservasi TNK ini ke arah penemuan solusi dengan pemikiran yang lebih jernih.
Oleh Yucundianus Lepa, Advisor pada Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI
Sebuah truk penuh muatan hampir saja melibas seekor buaya darat (reptil Komodo) yang tepat berada di depannya. Foto ini kemudian delengkapi dengan caption: “Sudah dua kartu kuning yang dilayangkan UNESCO untuk Indonesia.” Dalam penjelasan lebih lanjut, kedua kartu kuning dimaksud, adalah peringatan kepada Indonesia soal komitmen dan tanggung jawab akan kelestarian candi Borobudur dan Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai keajaiban dunia.
Menurut anggota Komite Eksekutif Asian Academy for Heritage Management Johannes Widodo, surat-surat itu merupakan peringatan bagi pemerintah Indonesia agar segera berbenah. Peringatan sangat mungkin diberikan dalam bentuk lain.
Itu adalah ‘kartu kuning’ dari UNESCO. Kita sudah dapat dua ‘kartu kuning’, yaitu Borobudur dan Taman Nasional Komodo. Jika tidak ditindaklanjuti, kita akan diberi kartu merah, yaitu dimasukkan ke daftar warisan budaya dalam bahaya, sama seperti hutan hujan tropis Sumatra.
Jika kartu merah diabaikan, status warisan dunia dapat dicabut, sama seperti pada Liverpool, Inggris. Pencabutan status dianggap sebagai tamparan bagi suatu negara karena melanggar janji untuk menjaga warisan dunia. Adapun warisan dunia dianggap sebagai milik bersama warga dunia.
Warisan dunia yang rusak atau hilang pada akhirnya merugikan generasi masa depan. Mereka akan kehilangan pengetahuan, sejarah, kebudayaan, hingga kearifan lokal. “Sama seperti perpustakaan yang dibakar,” tambah Johannes.
Khusus menyangkut TN Komodo, pernyataan Presiden Joko Widodo saat meresmikan fasilitas wisata di Pulau Rinca, 21 Juli 2022, memberi titik terang atas seluruh kesimpangsiuran informasi soal kebijakan pemerintah terkait konservasi dan pariwisata di Taman Nasional Komodo atau TNK.
Presiden menyampaikan dua informasi penting terkait perubahan besar pengelolaan TNK ke depan, yaitu desain Pulau Rinca dan perairan sekitarnya sebagai destinasi wisata massal, dan Pulau Komodo, Pulau Padar, serta kawasan perairan sekitarnya sebagai destinasi wisata eksklusif dengan tarif yang mahal.
Relevansi global
Mimpi kita akan ekowisata yang menjadi esensi dari bonus konservasi di TNK adalah kegiatan bermutu yang memerlukan ketekunan dan kesetiaan yang purna untuk menjaga dan mengembangkan unsur abiotic, biotic, dan culture yang asli, tiada duanya, endemik tidak terancam mengalami kepunahan. Hanya dengan keterbukaan batin dan cakrawala berpikir yang mendalam, wisatawan dapat menikmati buah-buah kegiatan konservasi yang rumit dan hebat ini.
Sama halnya wisata alam membutuhkan biaya, tenaga, dan konsistensi dalam perawatan untuk mempertahankan lanskap, menjaga keaslian dan nuansa ketakjuban yang tiada duanya. Udara bersih, ketenangan, suara alam, sentuhan alami melalui interaksi alam dengan pancaindra, meniscayakan kesiapan batin yang hening untuk secara sadar membawa dan membiarkan diri bersentuhan dengan semua unsur alam.
Pariwisata merupakan bonus dari lestarinya alam yang dijaga melalui konservasi. Abernethy (2001) menyatakan, daya dukung diartikan sebagai konsep ekologis yang mengungkapkan hubungan antara populasi dan alam di mana ia bergantung untuk kelangsungan hidup.
Kebijakan kenaikan harga tiket masuk ke TNK diyakini merupakan regulasi dan standar yang tepat untuk menentukan ambang batas atau daya dukung. Jika melampaui ambang batas lingkungan alam dan penerimaan lingkungan sosial, walaupun memberi manfaat secara ekonomis, harus dilakukan pengendalian wisatawan.
Penetapan harga tiket yang tinggi merupakan implementasi konsep demarketing yang diposisikan sebagai alat potensial untuk mengembangkan pariwisata dan meningkatkan keberlanjutannya secara keseluruhan, terutama sebagai akibat dari overtourism (Hall & Wood, 2021). Overtourism terjadi ketika permintaan melebihi tingkat di mana bisnis pariwisata mampu memenuhi permintaan wisatawan.
Demarketing dilakukan melalui penerapan harga, tiket berjangka waktu, dan perubahan strategi promosi untuk secara permanen atau sementara waktu, guna mencegah semua atau segmen pelanggan tertentu. Destinasi wisata berbasis konservasi, seperti TNK dan taman nasional lainnya di Indonesia, harus memprioritaskan daya dukung dan konservasi.
Responsible tourism
Relevansi dan urgensi konservasi bagi pariwisata di Tanah Air paralel dengan tren dan isu kepariwisataan global, di mana prinsip dan praktik responsible tourism sebagai bagian dari gelombang new tourism menjadi market leader, jadi salah satu pertimbangan penting manakala seseorang melakukan perjalanan wisata ke suatu daerah atau negara.
Dengan kata lain, berkah yang dimiliki bangsa Indonesia melalui pelaksanaan konservasi alam yang secara khusus dilakukan di taman nasional yang eksotik, unik, dan tiada duanya di dunia ini perlu dikelola sedemikian rupa untuk kepentingan pariwisata yang bertanggung jawab di satu sisi, dan di sisi lain juga berarti mengedepankan prinsip serta praktik konservasi di dalamnya.
Saatnya menggugah empati warga dan wisatawan akan adanya ancaman yang nyata dan serius akan keberlanjutan satwa dan ekosistem TNK yang membutuhkan keterlibatan positif dari pengunjung (wisatawan). Pada titik ini, menyelamatkan pariwisata Labuan Bajo dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan jadi kebutuhan mendesak, -Romanus Ndau dalam (Kompas, 1 Agustus 2022). Emil Salim mengatakan, pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memenuhi kebutuhan antargenerasi.
Kontinuitas pembangunan berkelanjutan ini dapat ditakar dari tiga hal: (1) tak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam, (2) tak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya, (3) kegiatannya harus dapat meningkatkan sumber daya yang bermanfaat (useable) dan tergantikan (replaceable)-(Supriatna, 2021: 27-28).
Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Valerina Daniel menambahkan, wisata konservasi sudah masuk dalam lingkupan wisata berkelanjutan. Keputusan ini diadopsi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) dari konsep wisata berkelanjutan yang dikeluarkan United Nations World Tourism Organization (UNWTO) ke Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016, di mana terdapat empat kategori di dalamnya. Sebagaimana diuraikan dalam konsep ini, 3P1M, yaitu planet, people, prosperity, dan management.
Lebih lanjut Valerina mengatakan, konsep inilah yang bakal jadi arah pembangunan pariwisata Indonesia sampai 2030. Dalam pelaksanaannya, Kemenpar berperan dalam memberi guidance, membangun pusat monitoring bekerja sama dengan universitas, serta memberi penghargaan untuk mendorong lebih banyak tempat wisata menerapkan konsep berkelanjutan.
Kondisi faktual
Kunjungan pelancong yang terus bertambah ke TN Komodo, juga dikhawatirkan mengganggu ekosistem komodo di Taman Nasional (TN) Komodo, Nusa Tenggara Timur. Tren peningkatan pengunjung terpantau sejak 2010. Sebelum pandemi Covid-19, pengunjung di TN Komodo mencapai 221.703 orang pada 2019, meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2018.
Pada sisi lain, komitmen konservasi sepertinya akan berbenturan dengan usaha pariwisata yang masif pada semua wilayah konservasi yang dimotori para konglomerat dan pemilik modal.
Menurut peneliti Venansius Haryanto, Peneliti Sunspirit for Justice and Peace-Labuan Bajo (Kompas, 3 Agustus 2022), hampir semua wilayah Padar bagian utara dikuasai PT Komodo Wildlife Ecotourism (274,13 hektar). Perusahaan yang sama juga menguasai lahan seluas 151,94 hektar di Pulau Komodo. PT Synergindo Niagatama mengantongi izin seluas 17 hektar di Pulau Tatawa, pulau kecil di perairan Komodo.
Sementara di Pulau Rinca ada PT Sagara Komodo Lestari yang mengantongi konsesi 22,1 hektar. Sebaliknya, penguasaan jaringan bisnis pariwisata dari hulu hingga hilir justru hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan pengelola. Ini adalah fakta lain yang dapat menjadi sumber kecurigaan dan memproduksi sikap penolakan warga atas kebijakan konservasi yang digulirkan pemerintah.
Kebijakan ini juga mengancam keberlangsungan usaha wisata warga lokal yang dominan berbasis usaha kecil dan menengah. Komodo dan Padar, tak terbantahkan, merupakan ikon pariwisata Flores, NTT. Sensasi wisata darat, terutama marine tourism, menjadi jaminan meroketnya kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo belakangan ini.
Dengan demikian, pembatasan kunjungan yang berefek pada menurunnya minat wisatawan berkunjung ke Labuan Bajo akan sangat merugikan para pelaku wisata lokal. Masih menurut Venansius Haryanto, sebelum TNK terbentuk tahun 1981, warga Komodo hidup dari bertani dan berburu.
Pembentukan TNK untuk tujuan konservasi membuat mereka kehilangan pengakuan agraria atas seluruh tanah warisan leluhur mereka. Kini, satu-satunya penyangga ekonomi mereka ialah sektor pariwisata dengan menjadi penjual suvenir. Kebijakan ini tentu menghilangkan sumber pendapatan mereka. Tanah yang mereka gunakan sebagai lokasi penjualan suvenir di area Loh Liang saat ini telah diserahkan ke PT Komodo Wildlife Ecotourism.
Jalan keluar
Pertama, dalam jangka pendek sebetulnya masih ada opsi selain mengenakan tiket masuk yang harganya dinilai terlalu mahal tersebut dengan cara menentukan kuota harian pengunjung. Hal yang sama dianjurkan juga oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Bahwa untuk kepentingan perlindungan yang integral dengan kebijakan konservasi, wisatawan dapat mengatur jadwal kedatangannya dari jauh-jauh hari sebagaimana membeli tiket kereta ataupun pesawat. Kalaupun tetap dikenai harga, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan harga yang masih terjangkau oleh masyarakat.
Pengelola kawasan wisata perlu merancang dan menerapkan beberapa strategi, seperti penyesuaian harga tiket untuk wisatawan domestik dan wisatawan asing. Selain itu, penerapan sistem visitor management dengan membatasi jumlah kunjungan wisatawan melalui sistem reservasi tiket elektronik (e-ticketing) dapat memberikan peringatan dini jika kunjungan wisatawan telah melebihi batas maksimal.
Kedua, dalam jangka panjang, sebaiknya berbagai pemangku kepentingan di setiap daerah wisata membuat early warning tools yang akan memudahkan upaya pencegahan jika terjadi overtourism. Alat ini akan mengukur ketiga aspek, yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial, di berbagai destinasi wisata. Untuk aspek lingkungan, misalnya, kita dapat mengukur dari kepadatan infrastruktur, kepadatan wisatawan di tempat wisata, polusi yang ditimbulkan, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.
Ketiga, upaya lain yang juga harus dilakukan pemerintah adalah mengubah orientasi bisnis dari sebelumnya yang berdasarkan kuantitas kunjungan menjadi kunjungan wisata berbasis kualitas. Hal ini dapat dilakukan dengan menentukan segmen wisatawan. Segmentasi ini dilakukan semata-mata untuk meminimalkan dampak negatif dan meningkatkan kualitas pariwisata di suatu daerah. Strategi ini diimplementasikan dengan gagasan length of stay management dengan memprioritaskan lama menginap wisatawan.
Pemikiran alternatif demikian barangkali tidak langsung menyelesaikan masalah, tetapi paling kurang membuka ruang dialog yang lebih luas bagi berbagai pemangku kepentingan untuk mengurai masalah konservasi TNK ini ke arah penemuan solusi dengan pemikiran yang lebih jernih.