Pertanyaan tersisa ialah ini: Apa kiranya yang diperoleh rakyat Manggarai Barat dari derap langkah perubahan Labuan Bajo?
Oleh Pius Rengka
Ada lelucon tua tentang seorang turis. Konon, seorang turis, sebut saja namanya, Tukangtako, mencoba pergi ke New York, Dublin Irlandia, atau kota pilihan lain yang dia suka seperti Porto Alegre, tempat di mana pemain fenomenal Ronaldinho berasal. Tukangtako berhenti di sebuah desa. Dia bertanya kepada penduduk setempat tentang arah tujuan yang hendak ditujunya. Setelah pertimbangan panjang, penduduk setempat menjawab, “Jika saya jadi Anda, saya tidak akan mulai dari sini”.
Lelucon ini, tentu saja, tentang sebuah jenis keindahan humor bahkan perihal keindahan konsep yang lebih multiside. Keindahan konsep, sebenarnya terletak di dalam paradoks. Ini menunjukkan bahwa tugas pertama para pengambil kebijakan perubahan (sebut saja begitu) bukanlah tentang perubahan sama sekali atau sama sekali tentang perubahan. Tidaklah mungkin seseorang bergerak jika tidak memulai dari posisi di mana dia (atau mereka) berada atau dia memiliki pemahaman yang jelas dan pijakan yang pasti. Pijakan pasti, sudah tentu, telah melampaui pencermatan amat detail, rigit dan komprehensif.
Ketika perubahan diperlukan, prosesnya sering dijelaskan melalui istilah di mana individu seharusnya berada daripada di mana dia (mereka) sedang berada saat ini. Kita dapat melihat pendekatan ini sebagaimana kasus kereta kuda. Dia mendedikasikan seluruh energinya ke titik akhir, tempat di mana arah hendak dituju, tetapi mengabaikan awalnya. Itulah kiranya makna jawaban, “Jika saya jadi Anda, saya tidak akan mulai dari sini”.
Perubahan adalah faktor yang selalu hadir di dunia modern. Teknologi, praktik kerja, metode komunikasi, dan dinamika tim berkembang sangat jauh lebih cepat dari sebelumnya. Menemukan stabilitas melalui pendekatan yang fleksibel dan dapat beradaptasi sangat penting untuk membantu orang berkembang dengan perubahan zaman dan teori perubahan paradoks dapat diterapkan dengan mudah untuk masyarakat seperti yang diterapkan pada karyawan individu atau warga negara yang membentuknya.
Sebagaimana umumnya paradoks, terminologi ini mengandung pertentangan, perbedaan, bahkan perlawanan. Pada medan sastra, paradoks termasuk ke dalam kategori ketidaklangsungan ekspresi yang berujud penyimpangan arti. Kamus Besar Bahasa Indonesia, memaknai paradoks sebagai pernyataan yang, seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran. Tetapi, kenyataannya memang mengandung kebenaran.
Tulisan ini, tentu saja, tidak tentang sastra. Juga tidak tentang pertentangan faksi politik di Labuan Bajo. Ini tulisan, semata-mata hendak melukiskan serba sedikit tentang pengamatan saya yang serba sepintas juga. Karena itu, ijinkan saya berusul agar membaca tulisan ini tidak dengan nada benar salah atau kalah menang, tetapi dengan suasana santai demi semua ekstasi kebenaran dan terutama kejujuran.
Saya selama ini diam-diam merekam opini berbagai pihak di Labuan Bajo. Mendengar keluh kesah berbagai kalangan. Mencermati kegeraman dan juga kegamangan. Kalangan luas yang berserak di arena tanpa batas, berpendapat amat jamak, juga berserakan. Memang.
Opini berbagai kalangan perihal pembangunan di Labuan Bajo, tampaknya paradoks. Bagaimana tidak. Gegap gempita pembangunan di kawasan itu tak cuman meruak sejenis kebisuan kultural, tetapi juga mencekamkan ruang pertarungan diam-diam. Tetapi, mengapa paradoks? Jika toh ada paradoks, lalu, siapa gerangan berhadapan dengan apa dan atau dengan siapa? Pertentangan, memang riil terjadi di permukaan, kata para pencermat di sana. Pertentangan dengan asumsi umum, tetapi juga dengan kenyataan yang ada di arus bawah atau sirkuit kemelut di sekitarnya.
Begitulah Labuan Bajo. Dia, bagai seorang gadis molek purna puber yang berdiri gelisah di tepi jalan, lalu berhasrat kuat naik panggung dunia empat tahun belakangan ini (2018-2022). Atau katakanlah, Labuan Bajo bagai seorang gadis rupawati yang dikepung pelukan tangan sejuta laki-laki lapar yang berhasrat. Labuan Bajo, padat pendapat, saring sharing persaingan. Tetapi juga gelisah (gelinya amat sah).
Di lingkungan organisasi publik seturut abstraksi gagasan Smith, W.K. and Lewis, M.W. (2011) dilukiskan bahwa ketika lingkungan organisasi menjadi lebih global, dinamis, dan kompetitif, maka kontradiktif kian meningkat. Untuk memahami dan menjelaskan ketegangan tersebut, akademisi dan praktisi umumnya mengadopsi lensa paradoks.
Smith dan Lewis, menyajikan model pengorganisasian ekuilibrium dinamis, yang menggambarkan respons siklus ketegangan paradoks yang memungkinkan keberlanjutan. Kinerja puncak di masa sekarang memungkinkan kesuksesan di masa depan.
Namun, pengamatan lapangan lain mendesain multi-sumber. Diprediksi, efek interaksi positif dari kepemimpinan visioner (entah ada di pusat, provinsi maupun kabupaten dan desa) akan mendorong pemberdayaan kinerja para pengikut. Berdasarkan perspektif paradoks, kepemimpinan visioner, tindakan pemberdayaan adalah sejenis sinergi dalam terang kombinasi yang memungkinkan para pemimpin mengatasi paradoks kunci yang melekat pada perilaku pemimpin yang diidentifikasi Waldman dan Bowen (2016): Mempertahankan kontrol sekaligus melepaskan kontrol.
Kepemimpinan visioner pertama membahas kepemimpinan yang memberdayakan kutub terakhir dari pasangan berlawanan. Karena itu, sejalan dengan pemikiran paradoks, diandaikan para pemimpin akan menimbulkan lebih banyak efek positif pada kinerja pengikutnya ketika mereka memberlakukan kepemimpinan visioner dan memberdayakan secara bersamaan pendekatan yang relatif baik (Waldman, D.A., Putnam, L.L., Miron-Spektor, E. and Siegel, D., 2019).
Catatan semua pihak
Semua pihak sama mencatat. Mencatat apa? Bahwa gegap gempita pembangunan infrastruktur di Labuan Bajo telah melimpah ruah sejak Biawak Komodo itu dinyatakan sebagai satu dari The New Seven Wonder in the World.
Menyusul announcement itu, banyak pihak bergeming. Kota Labuan Bajo pun renyah dibenah serentak terbelah. Mengapa? Karena Labuan Bajo menjadi sejenis center of gravity dari berbagai lapisan elit (politik dan modal), tetapi serentak dengan itu juga terbelah tanpa kendali sosial yang mumpuni. Dinamika gerakan sentripetal dan sentrifugal sekaligus. Ibu kota Kabupaten Manggarai Barat ini pun dirias seperti merias seorang anak perawan rupawati yang sedang bergegas ke puncak pubertasi hasrat menggelora naik ke panggung pelaminan sosial.
Aneka lampu jalan berpendar semburat cahaya marak tanpa kabel melintas di udara. Trotoar jalan pun lebar. Pohon-pohon arecaceae sejenis pohon palm, merias mempercantik wajah Labuan Bajo seperti balibelo yang melambai-lambai paksa diterpa tangan angin punggung buritan. Meski, semua orang di situ tahu, fungsi trotoar kerap berubah paradoksal. Trotoar dipakai masyarakat sebagai tempat memarkir motor mereka. Pemerintah lokal diharapkan segera bersikap tegas sebelum kelakuan buruk ini membiak menjamak tak terkendali regulasi.
Perhatian untuk Labuhan Bajo, diakui banyak kalangan telah super tinggi. Presiden Ir. Joko Widodo, dan para Menteri Kabinet Pembangunan II, mencurahkan hujan perhatian super serius. Pemerintah Pusat tak hanya menggelontorkan duit triliunan rupiah ke situ, yang membangun ruas jalan hotmix membentang dari Pelabuhan Wae Kelambu hingga Golo Mori, tetapi juga diimbangi serial kunjungan presiden nan baik budi itu. Para menteri pun menggelar pertemuan penting di Labuan Bajo sebagai buah koordinasi harmonis Gubernur NTT.
Gubernur NTT, Dr. Viktor Bungtilu Laiskodat, S.H., M.Si, nyaris persis bertindak serupa dengan Jokowi. Frekuensi kunjungan mantan Ketua Fraksi DPR RI dari Partai Nasdem ini ke Labuan Bajo telah tercatat jejak buku sejarah sebagai satu-satunya Gubernur NTT yang berkunjung kerja ke Labuan Bajo sangat tinggi jika dibanding 8 gubernur sebelumnya. Untuk hal ini, kita sama maklum. Sejak kepemimpinan Gubernur El Tari hingga Piet A Tallo, memang, isu Labuan Bajo belum semasif dan segempita sekarang.
Kunjungan kerja Gubernur NTT, Doktor Studi Pembangunan UKSW ini, ke Labuan Bajo tak hanya kuantitatif tinggi, tetapi kunjungannya diiringi aneka pernyataannya yang kerap memproduksi turbulensi sosial, paradoksal realitas, dan berekses multitafsir, menggatalkan batin khalayak ramai. Gelombang opini massa kontroversial viral. Refabrikasi ucapan Viktor Laiskodat terkait Labuan Bajo bukan saja tanpa soal dan nihil alasan, apalagi kosong argumentasi, tetapi juga kerap sulit dimengerti khalayak luas.
Sebagai sebuah misal. Pernyataan kontroversial viral Viktor Laiskodat meruak luas ke panggung publik tanah air ketika dia dengan tandas menyatakan, Pulau Komodo ditutup (2019). Dia perintahkan semua elemen kunci di NTT untuk mematuhi perintahnya itu. “Pulau Komodo ditutup”.
Pernyataan itu membuat semua orang geger dan gegar, marah dan bahkan sungguh terusik. Gusar campur aduk dengan grasa-grusu gosip tak sedap. Pernyataannya itu, tak hanya mengundang perhatian luas, tetapi juga itu pernyataannya menyiram bibit konflik multidimensi jika tidak dikatakan kaya ambivalensi dan atau bahkan multivalen. Pernyataan menutup Pulau Komodo, tak hanya menggetarkan nadi roda pemerintah pusat, tetapi juga pernyataan Viktor ditengarai menabrak berbagai regulasi negara. Pulau Komodo, lalu menjadi pusaran medan tempur kepentingan.
Maka, sebagaimana biasa, badai tudingan buruk terhadap Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat bermacam-macam. Ada yang mengatakan, ini gubernur paling tidak tahu aturan, ngawur dan sembrono. Tetapi, pernyataan kontroversial nan viral dari pria kelahiran Kampung Oenesu, Kupang, 17 Februari 1966 itu, kemudian membuahkan hasil manis nan taktis ketika Pulau Komodo akhirnya dinyatakan dikelola secara konkuren antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi.
Sebelumnya, pemerintah provinsi hanya berhak meraup 3 persen keuntungan yang diperoleh dari “bisnis” Pulau Komodo. Umumnya orang tidak tahu mengapa gerangan Gubernur Viktor mengucapkan perintah “Pulau Komodo ditutup?” Kelak hari diketahui, ucapan itu bukan tanpa hitungan, pernyataan itu tidak tanpa cakaran taktis dan strategis. Tetapi, ini pernyataan semacam rekonfirmasi kebenaran postulat diplomasi paradigmatik. Bahwa dunia memang tidak selalu sebagaimana tampaknya.
Apa implikasi dari pengelolaan konkuren Pulau Komodo? Pada konteks finansial, pengelolaan dan keuntungan dibagi rata pemerintah pusat dan provinsi. Implikasi lanjutannya, tentu saja, terkait penataan tatacara (merumuskan aturan main agar tidak main-main oleh aturan) dan membentuk formula pelembagaan terkait relasi konkurensi yang harus diatur rinci agar di kelak hari tidak menimbulkan kontroversi hukum. Hal itu niscaya diperlukan karena sejarah relasi power di negeri ini pernah mengalami sejarah kelam.
Sejarah kelam dialami bangsa ini tatkala rejim despotik Soeharto membuka lembaran sejarah Orde Baru post Soekarno. Tatkala Soekarno ditumbang paksa oleh komplotan Orde Baru, sejarah pun berbelok arah dengan komando satu arah dan diarahkan menjadi satu komando. Maka rejim sentralistik dimulai hingga tumbang oleh gerakan reformasi anak muda yang dipimpin para mahasiswa 1998. Tetapi, relasi power selalu dibentuk oleh dinamika ekonomi politik struktural serta konfigurasi atau koalisi kekuatan sosial di sekitar kepemimpinan politik.
Selain itu, para pihak memang perlu memastikan model pengelolaan lingkungan Pulau Komodo. Maksudnya, agar pulau tempat di mana biawak raksasa ini bersemayam dan seisinya itu, – haruslah tetap eksis dan lestari. Jangan memberi nuansa tanpa patuh pada hukum habitasi biawak raksasa ini. Para aktivis lingkungan ajukan protes. Dengan kata lain, pengelolaan Pulau Komodo secara konkuren mesti sensitif terhadap semangat tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Pembangunan Pulau Komodo pada galibnya berpulang pada kepentingan manusia, kepentingan rakyat Manggarai Barat dan tentu saja kepentingan manusia NTT.
Untuk kepentingan itulah, semestinya semua stakeholders wajib diajak untuk ikut urun rembuk. Para pihak mestinya berani menggelar tikar akbar kompromi agar semua hal dibahas terbuka dan berjalan terang benderang di bawah langit biru pulau penuh goda itu.
Hutan tembok
Belakangan ini, Labun Bajo dipadati hutan tembok. Pembangunan hotel dimulai di sepanjang pantai seolah-olah tidak membiarkan riak gelombang samudra membuih menjilat sendiri bibir pantai berlekuk. Tampak sangat jelas, seperti pagar raksasa menghadang pandangan serentak dengan itu membalut tebing-tebing pantai dengan tembok bangunan. Akibatnya, jelas. Ruang publik terbatas bahkan dibatasi. Ruang privat ketat ditata. Hotel kelas atas seperti menjamah cakrawala, sedangkan Hotel Melati, hotel bintang 3 seperti terseok-seok dibangun di kota, tetapi hutan tembok terus saja kian hari makin bertambah.
Akibat ikutannya sungguh fantastis. Harga tanah melonjak tajam sesuka hati seturut imajinasi pemilik tanah. Di antaranya tanah semeter dijual 3 bahkan 5 juta. Sepanjang tepi selatan barat laut, tanah telah dijual tuntas. Bahkan hingga ke kawasan nun jauh dekat kampung nelayan Warloka. Penduduk lokal nantinya hanya bertahan membentengi diri di tengah kepungan hotel dan gerai bisnis rumah makan.
Pemda setempat, maaf saja, terkesan agak kewalahan. Mereka sepertinya tidak cukup berdaya dan mungkin pula tak cukup punya imajinasi untuk mengatur arus lalu lintas padat modal di tengah kepungan parkiran motor dan mobil tepi jalan sepanjang pantai itu. Crowded.
Menilik siapa gerangan para pemilik hotel, dan siapa pula pembeli tanah di Labuan Bajo, terdaftar banyak pemilik lahan baru dari kalangan pengusaha papan atas Jakarta. Di antaranya para pemilik tanah itu adalah anggota DPR RI perwakilan Flores dan Timor Sumba. Daftar kepemilikan tanahnya lumayan tambun, moncer sepanjang usia representasi.
Para pemilik tanah melego tanah mereka dengan harga super tinggi. Hasil jualan tanah, digunakan untuk membangun rumah pribadi layak huni, sehat di mata dan indah di hati. Rumah pun dilengkapi fasilitas garasi transportasi memadai. Lainnya didepositokan di bank lokal dengan suku bunga normatif.
Seiring isu jual beli tanah itu, krisis duplikasi sertifikat tanah pun meruak ramai. Kasus duplikasi sertifikat tanah menjadi kasus jamak belakangan ini di Labuan Bajo. Para pemain duplikasi sertifikat tanah ditengarai dilakukan pihak petugas di badan pertanahan itu sendiri, aparatur negara, calo tanah dan para pemilik uang calon pembeli. Mereka inilah yang disebut-sebut warga setempat sebagai komplotan “mafia” tanah. Komplotan ini bermain-main dengan aturan main. Sindikasi tanah beririsan ketat dengan para calo amatir tanah yang menjanjikan kabar baik bagi semua calon pembeli.
Maka Kota Labuan Bajo ditaburi pendatang baru. Mereka datang dengan motif berbeda. Mereka datang selaku calon pembeli tanah, pedagang sayur, pemain travel agency. Sisanya yang lain datang entah untuk menjual jasa tubuh, membagi kehangatan badan dan jasa jenis lainnya yang mengeksploitasi tubuh sebagai komoditi dan properti paling murah.
Sementara itu, pasokan sayur mayur datang mengalir dari Ngada, Bima dan Bali. Orang Manggarai sendiri? Mereka lebih gemar memilih sebagai pengkonsumsi aktif dan juga naif. Sipri Hagung, pensiunan pegawai negeri sipil Jawa Timur asal Manggarai Barat mengeluhkan kondisi ini. Kata Sipri, pemerintah (kabupaten maupun provinsi) mesti lekas turun tangan. Katanya, masyarakat Manggarai Barat bakal hanya menjadi penonton pasar di tengah kepungan permainan para tengkulak sayur mayur, monopoli mafia ikan dan buah-buahan. Sipri menganjurkan agar pemerintah (entah kabupaten atau provinsi) perlu melakukan konsolidasi kekuatan rakyat untuk melawan serangan komplotan tengkulak, komprador bisnis dan provokator jalanan.
Dia menyarankan pemerintah segera membangun sentra pertanian di Manggarai Barat. Pemerintah, ujar Sipri agak geram, wajib mengendalikan harga ikan, sayur mayur dan buah-buahan. “Pasar tidak boleh dibiarkan tarung bebas di Manggarai Barat,” kata Sipri Hagung, satu dari pejuang politik pembentukan Provinsi Flores. Pasar kata Sipri, tidak lagi hanya dimaknai sebagai pertemuan antara permintaan dan penawaran, melainkan pertempuran antara kekuatan (power).
Dihujani perhatian
Pemda Manggarai Barat tak putus-putus dihujani aneka jenis perhatian. Perhatian, tidak saja datang dari pemerintah pusat dan provinsi. Tetapi, Pemda Mabar juga dicermati dan ditimbang serius oleh opini kalangan aktivis masyarakat sipil setempat. Mereka mencermati kebijakan bupati. Mereka mengoreksi keputusan politik Bupati Mabar, Edi Endi, terkait rasionalisasi tenaga kontrak daerah.
Bahkan, para aktivis menuding, konsolidasi kekuatan birokrasi yang dilakukan Bupati Mabar terkait langsung dengan imajinasi dan nuansa politik Pilkada entah yang sudah berlangsung atau untuk skema kemenangan politik yang akan datang. Mereka berdemonstrasi tentang banyak soal. Mereka juga menyoalkan banyak hal lain antara lain terkait dengan rencana pemboran sumber energi listrik di Sano Nggoang.
Para demonstran mengusung serumpun tuntutan, juga keluhan. Tuntutan paling keras ialah mendesak Bupati Mabar menghentikan seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber energi di Sano Nggoang. Tetapi, saya usul, apa yang kini sedang dialami Pemda Mabar adalah sejenis perhatian serius.
Perhatian rakyat itu patut diletakkan sebagai bagian dari aneka rupa jenis dan bentuk perhatian politik dan awasan kultural. Meski demikian, Pemda Mabar patut menyadari bahwa pihaknya sedang memimpin dan mengendalikan satu kabupaten gelisah (gelinya sah) “internasional”.
Tabiat kultural Labuan Bajo mulai melampaui tradisi kultural kabupaten lain di Flores. Di satu pihak telah terjadi perubahan rona fisik Labuan Bajo. Tetapi, di sisi lain perubahan spektakuler itu membawa serta krisis relasi antarmanusia dan entitas sosial politik di sana.
Wajah kumuh rumah-rumah gubuk di deretan tepi pantai yang pernah saya tulis dan lihat tahun 1989, kini telah total bersalin rupa. Pelabuhan laut Labuan Bajo dirombak total, ditata apik menjadi elok. Di tepi, pelabuhan berdiri kokoh Hotel Meruorah milik BUMN berderetan dengan sejumlah gerai bisnis yang memadati tepi pantai itu.
Dalam sejarahnya, rumah-rumah para penduduk di sepanjang pesisir pantai itu adalah pondok singgah atau naungan mengaso bagi para pelancong atau para nelayan. Awalnya, para nelayan atau pelancong ini hanya membangun lapak-lapak kecil berdaun lontar atau daun pohon aren. Lapak-lapak itu hanya berfungsi sebagai pelindung diri atau tempat bernaung agar terhindar dari serangan sengatan matahari.
Jika kini ibu kota Kabupaten Manggarai Barat itu bernama Labuan Bajo, tentulah tidak terlepas dari sejarah okupasi para pelancong dan nelayan. Di pesisir pantai, terutama di wilayah pelabuhan itu, dulunya hanya tempat para pelaut dan nelayan Bajo berlabuh dan mengaso. Mereka berlabuh untuk apa? Mereka berlabuh untuk mengambil air tawar di Pulau Flores. Orang Bajo datang dari mana? Orang Bajo datang dari pulau-pulau sekitar.
Mereka adalah para nelayan pencari ikan. Satu di antaranya, adalah manusia-manusia Bajo penghuni Pulau Mesa (mesa dalam bahasa lokal berarti hilang karena saat air laut pasang naik, pulau mungil itu tidak lagi tampak dari Pulau Flores). Orang Bajo mengaso rutin di pesisir tepi pantai itu. Lambat laun orang menyebut tempat di mana orang Bajo sering mengaso sebagai tempat orang Bajo berlabuh. Demi gampangnya, orang menyebut Labuan Bajo.
Penduduk asli Flores jarang tinggal di daerah pesisir. Perihal berlabuhnya manusia Bajo di situ, tidak ada seorang pun yang ribut kala itu. Maka okupansi nomaden pantai lambat laun menjadi menetap lalu diklaim sebagai milik pribadi. Klaim diperkuat dengan bukti-bukti hukum negara dengan selembar sertifikat.
Kini Labuan Bajo tak hanya menjadi pusat perhatian pemerintah pusat dan provinsi, tetapi juga telah menjadi pusat perhatian dunia. Bagaimana tidak. Dua pertemuan internasional bakal digelar di Labuan Bajo. Labuan Bajo membukukan dirinya sebagai tempat pertemuan ASEAN Summit dan G-20.
Artinya, Labuan Bajo kian dikukuhkan menjadi lokasi yang layak dan pantas untuk pertemuan sepenting ini di skala global. Pemerintah pusat, mengukuhkan Labuan Bajo sebagai destinasi superprioritas. Di Indonesia, destinasi jenis ini amatlah langka.
Pertanyaan tersisa ialah ini: Apa kiranya yang diperoleh rakyat Manggarai Barat dari derap langkah perubahan Labuan Bajo? Bagaimana elemen kekuatan sosial politik dan pembangunan di sana mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal? Siapakah gerangan kiranya yang pertama wajib memberikan perhatian serius? Sejumput pertanyaan itu tak sekadar dibaca sebagai teks, tetapi dilihat sebagai konteks.