Pemandangan alam amat langka. Tak jauh dari situ, Gunung Lakaan, menjulang nyaris setara punggung bukit yang memeluk meliuk melingkar pinggang padang sabana Fulan Fehan.
Catatan Pius Rengka
Dua bulan silam, Agustus 2022. Tim dampingan bentukan Pimpinan Cabang Bank NTT Atambua, Adi Pontus, bersama penulis bergegas menuju Fulan Fehan.
Tujuannya, melihat dari dekat satu dari lima Desa Binaan Bank NTT yang diikutkan dalam festival. Rombongan Bank NTT Belu, memperkuat tim juri.
Fulan Fehan, telah viral sejak empat tahun silam. Kisah Fulan Fehan kian bergelombang nun jauh ke seluruh pelosok tepi tanah air, ketika digelar Festival Fulan Fehan 3 Juli hingga Oktober 2018 yang diawali dengan Festival Foho Rai 3-16 Juli 2018.
Festival Fulan Fehan mengangkat spektrum imajinasi yang bermula dari mitos asal usul manusia di kawasan itu, dengan menampilkan seribu penari “Tari Likurai”.
Mitologi masyarakat Belu menyebutkan bahwa dahulu kala, dunia masih sempit. Lalu, terjadilah pertikaian manusia dengan monyet. Manusia berperang dengan monyet. Manusia menang.
Raja memerintahkan agar kemenangan ini disambut upacara akbar penyambutan para pasukan perang. Beralaskan titah raja itu, diciptakanlah “kolo kolo, bui muk” sebagai instrumen tarian. Para wanita menggunakan kolo kolo bui muk sebagai properti tarian.
Fulan Fehan adalah satu lokasi wisata padang sabana nan elok. Terletak di hamparan dataran tinggi, Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Timor, Nusa Tenggara Timur. Waktu tempuh dari Atambua ke Fulan Fehan, 1 jam kendaraan roda empat rerata 50 km/jam untuk jarak tempuh 26 km.
Meski ceritera Fulan Fehan beragam, tetapi satu hal telah jelas dengan sendirinya. Fulan Fehan adalah satu dari sedikit destinasi wisata yang menawarkan pesona alam nan sejuk, suhu 15 derajat pada takaran celsius.
Pemandangan alam amat langka. Tak jauh dari situ, Gunung Lakaan, menjulang nyaris setara punggung bukit yang memeluk meliuk melingkar pinggang padang sabana Fulan Fehan.
Di punggung bukit bak pelana kuda, beberapa bangunan kecil berarsitektur tradisional dibangun berkat kerja sama dengan Bank NTT.
Pondok hunian itu, dilengkapi kamar mandi. Tampak sana sini, kawanan kuda leluasa merumput di padang tanpa gangguan ditimpa angin bukit tinggi pembawa suhu udara dingin.
Ada yang menyebut, Fulan Fehan sebagai tempat paling eksotik sedaratan Timor. Eksotik, tak hanya karena letaknya berdampingan Gunung Lakaan, berbatasan dengan negara Timor Leste, tetapi Fulan Fehan juga adalah saksi bisu nan teguh dari untaian balada kisah sejarah panjang perang dunia kedua yang berkecamuk di daratan Timor ketika invasi Jepang 1942.
Puing-puing benteng peninggalan perang dunia kedua masih tersisa. Benteng sepuh itu menawarkan pesona histori tentang subetnik suku Belu pada umumnya.
Batu wadas tak pernah mengubah teguh dan tak akan lapuk meski diterpa badai zaman yang terus datang berganti. Darinya diperoleh kisah bisu tentang masa kelam di masa silam.
Fulan Fehan, konon, tempat paling langka di NTT. Kisah dari mulut ke mulut, menyebutkan Fulan Fehan seolah sebuah lokasi yang diletakkan sengaja dengan hasrat begitu saja oleh Allah di tanah Timor entah demi tujuan apa.
Tetapi, 2020, kepada Fulan Fehan, Anugerah Pesona Indonesia (API) memantapkan posisinya sebagai pemenang pertama kategori Destinasi Dataran Tinggi. Pevita Pearce memposting kekagumannya di Instagramnya. Aktris jelita nan gemulai ini datang ke Fulan Fehan syuting film Rumah Merah Putih garapan Alenia Pictures.
Padang sabana mempesona
Mengapa Fulan Fehan juara? Tim juri API 2020 memilih Fulan Fehan karena kemolekan hamparan padang sabana. Padang sabana itu berupa sebuah lembar lembah bak permadani hijau yang digelar membalur lekukan pinggang bukit dan pelana kuda alam.
Terletak tak jauh dari kaki Gunung Lakaan. Amat sangat langka pemandangan sejenis di daratan Pulau Timor.
Tercatat, ada lembah serupa di Desa Fatumonas, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, tempat dimana nantinya dibangun observatorium terbesar di Asia.
Fulan Fehan adalah padang rumput nan luas. Di sana kawanan kuda dan sapi merumput. Di sana sini tumbuhan kaktus pun tumbuh subur menghasilkan buah lezat.
Siapa pun yang pernah pergi ke Fulan Fehan pastilah terpesona. “Eksotis adalah kata terindah yang pantas melukiskan pesona sabana nan luas ini. Kecantikan misterius mengundang banyak teka-teki bagi pecinta lorong-lorong indah negeri ini,” tulis Siti Atika Haris di kumparan.com akhir 2019 lalu.
Siti Atika Haris melukiskan sabana Fulan Fehan bagai kembaran dari padang rumput di Swiss dan New Zealand yang entah alasan apa dititipkan Tuhan di bumi pertiwi.
Hanya butuh 15 menit dari bentangan padang rumput nan hijau, terdapat objek wisata sejarah menakjubkan, warisan suku Melus. Di ujung timur lembah, situs bersejarah Kikit Gewen, berupa kuburan tua sangat sakral berdiri tegak.
Ada pula objek wisata lama air terjun Sihata Mauhalek, Desa Aitoun, air terjun Lesu Til di pinggiran Weluli, pusat Kecamatan Lamaknen.
Di antara banyak objek wisata, satu terunik adalah benteng Kerajaan Dirun. Benteng Ranu Hitu dikenal Benteng 7 Lapis. Ini adalah benteng perang tradisional ketika dulu di Timor berkobar perang antarsuku. Benteng Ranu Hitu berbentuk lingkaran berlapis-lapis tersusun tembok bebatuan karang.
Di pintu masuk masing-masing lingkaran tak lurus amat, berkelok. Pengunjung berjalan mengikuti pola lingkaran. Mengitari beberapa kali sebelum tiba ke pusat benteng. Kesan tiap orang berbeda. Tetapi, kecuali indah dan kuno, juga misterius dan asyik mistis.
Di benteng terdapat lapisan pertahanan. Dimulai dari pintu masuk hingga ke lapisan terakhir terdapat area bulat dari batu tempat pertemuan, tempat para raja berkumpul.
Di pusaran benteng, ada dua batu besar. Di situlah, ratusan kepala musuh disimpan. Diupacarakan untuk kemuliaan para pemenang. Ada kursi batu. Satu kursi khas terletak di tempat lebih tinggi. Di itu tempat Rajadiraja bersinggasana. Dari situlah Sang Baginda bertitah untuk rakyat bertindak. Pasukannya pun siaga penuh dan teguh.
Menurut Johanes Seran, itu singgasana raja suku Uma Metan. Batu alas duduk sang raja disakralkan. Tidak boleh diduduki sembarang orang, termasuk pengunjung.
Dipercayai nasib buruk akan datang menghampiri manakala ada yang coba-coba duduk di situ. Di bagian belakang singgasana ada batu persegi panjang, makam raja pertama Kerajaan Dirun. Raja Dasi Manu Loeq.
Festival Fulan Fehan
Festival Fulan Fehan dilaksanakan di depan rumah adat. Tarian kemenangan disebut Likurai. Tarian Likurai dipentaskan dalam acara-acara resmi adat, atau penyambutan tamu di Belu.
Tahun 2016, Kemendikbud menetapkan Likurai sebagai tarian warisan budaya tak benda Indonesia. Dalam masyarakat di kawasan Belu dan sekitarnya, tarian ini tak hanya menjadi wahana penyambutan kepada mereka yang telah memenangkan pertarungan, tetapi juga menjadi wahana perwujudan, pemuliaan dan penyebaran ungkapan nilai-nilai kerja sama, gotong-royong, keramahtamahan, sikap saling menghargai dan toleransi.
Langkah strategis kemanusiaan Bupati Belu
Bupati Belu, dr Agus Taolin, ahli penyakit dalam. Dia, tidak pernah tinggal diam. Dia bergegas bergerak menelaah persoalan secara kritis etis dan mencermati potensi wilayah dan letak masalah pokok Kabupaten Belu. Dia tahu pasti realitas ontologis kabupaten yang dipimpinnya itu. Kabupaten Belu, kabupaten miskin, menderita. Apa sebab pokok.
Pertama, pihaknya fokus membereskan problem akut rakyat Belu yaitu di bidang kesehatan. Baginya, prinsip ini berlaku: “Segala sesuatu itu penting, tetapi segala sesuatu menjadi tidak penting ketika kesehatan manusia terganggu.”
Maka selain membenah kawasan wisata terberi di seluruh Kabupaten Belu, Bupati Belu dr Agus Taolin, fokus membereskan masalah kesehatan. Kesehatan mesti diurus tuntas agar manusia Belu boleh bergerak lebih cepat di semua lini kehidupan.
Diakuinya, tak ada urusan kesehatan bebas dari pengaruh sektor lain. Maka sektor kedua yang patut diurus tuntas adalah sektor pertanian. Program Gubernur NTT, Viktor Laiskodat terkait Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS), menjadi unsur rujukan signifikan untuk merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Belu (RPJMD). Kecuali kesehatan dan pertanian, sektor peternakan pun digalakkan.
Baca juga: Spirit Kepemimpinan Ahok dan Gerakan Sosial Bupati dr Agus Taolin
Maka bagi dr Agus Taolin, pilihan fokus pembangunan itu penting dan perlu agar pemerintah tidak mengerjakan semua hal dalam satu periode tertentu dengan anggaran terbatas.
Prinsip semua hal itu penting (everything is ok), tetapi yang lebih penting adalah memilih fokus itu penting untuk menggerakkan banyak hal karena hal yang fokus itu akan mengubah banyak hal (focusing is something).
Maka reformasi birokrasi merupakan ikutan niscaya yang sangat masuk akal untuk menjadi tim solid membenah seluruh persoalan pokok di tanah Belu.
“Saya memang pernah dikritik oleh kalangan terbatas, hanya karena saya memilih sektor pembangunan kesehatan sebagai fokus yang diurus. Demi urusan itu saya perlu merombak postur organisasi tim kerja birokrasi. Akibatnya, saya mesti mencari orang yang tepat di tim kerja birokrasi.
Prinsipnya, “Saya ingin menciptakan super team yang solid. Saya sama sekali tidak tertarik menciptakan superman di birokrasi Kabupaten Belu,” ujarnya serius.
Demi orientasi pembebasan rakyat Belu dari aneka lilitan kemiskinan, bupati nan cerdas ini, selalu bergerak melakukan konsolidasi kekuatan tim, tetapi bukan tanpa dihadang rintangan.
Rintangan pertama, sebagaimana biasa, selalu datang dari lingkungan politik. Rintangan kedua, adalah kultur kerja birokrasi dan masyarakat.
“Tetapi, semua jenis rintangan itu saya pandang sebagai ujian terbaik agar saya menjelaskan kepada rakyat tentang misi suci saya bagi kemuliaan kepentingan rakyat Belu. Saya kira, tujuan suci membangun manusia pembangunan ialah mengerjakan tugas kemanusiaan. Tugas kemanusiaan itu dikerjakan tanpa sedikit pun ditawan oleh nasib sejarah,” ujarnya yakin.
Ucapannya ini mengingatkan saya pada pepatah Latin yang diucapkan F. Roosevelt (1882-1945) yang menyatakan: Non sunt captivi fati, sed capti tantum mentis suae, artinya: manusia bukan tawanan nasib, tetapi hanyalah tawanan dari pikirannya sendiri.
Ucapan ini adalah sejenis kritikan dan mungkin juga semacam satire kepada para kritikus politik yang dibebani kepentingan masa depan dan jebakan hasrat di masa silam.
Bagi Bupati Belu dr Agus Taolin, waktu tak pernah dan tak bakal pernah berjalan surut. Ia senantiasa mengalir ke sana entah sampai di mana. Paling penting baginya, rakyat Belu boleh bugar mengurusi masalah hidupnya.