Catatan berikut adalah sebuah laporan dari medan tempur lapangan terkait eksekusi program TJPS. Wilayah yang dicacat dalam tulisan ini adalah dua kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Catatan Pius Rengka
Salah satu program unggulan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT (Viktor-Jos) adalah program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS). Program TJPS itu dicanangkan pasangan Gubernur Viktor dan Wakil Gubernur Josef A Nae Soi sejak pasangan ini dilantik 5 September 2018.
Program TJPS bermaksud memerangi kemiskinan akut NTT, sekaligus mengatasi problem kekurangan pakan ternak. NTT membelanjakan sedikitnya Rp 1,1 triliun pakan ternak di Pulau Jawa saban tahun. Dua problem itu merupakan problem akut dari waktu ke waktu sejak lama.
Namun, banyak kalangan masih ragu. Dan, bertanya. Beberapa pertanyaan pokok ialah ini. Apa kiranya implikasi yang diperoleh para petani dari program TJPS? Berapakah kiranya luas lahan petani yang digarap untuk eksekusi TJPS? Di mana saja sebaran program TJPS tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu amat sangat wajar dan tentu saja masuk akal. Wajar karena sejak tahun 2018, program TJPS itu telah digelar Gubernur Viktor Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef A Nae Soi, tetapi informasi perkembangannya belum masif dikenal. Masuk akal karena program TJPS dibaca sebatas harfiah tanam jagung menghasilkan sapi. Artinya, ya tanam jagung produksi sapi.
Viktor Jos, tidak bosan-bosannya menggalang kekuatan partisipasi rakyat untuk memaksimalkan fungsi lahan para petani sendiri demi kepentingan perbaikan ekonomi dan terutama mendongkrak kehidupan para petani. Gerakan politik menggalang partisipasi rakyat dimaksudkan agar rakyat sanggup keluar dari lilitan kemiskinannya.
Catatan berikut adalah sebuah laporan dari medan tempur lapangan terkait eksekusi program TJPS. Wilayah yang dicacat dalam tulisan ini adalah dua kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Kecamatan Kodi Utara dan Kecamatan Kodi.
Baca juga: Kolaborasi Pentahelix dalam Program Tanam Jagung Panen Sapi Pola Kemitraan
Mengapa Kecamatan Kodi dan Kodi Utara patut dicatat di sini?
Pertama, karena rakyat di Kecamatan Kodi dan Kodi Utara dikenal sebagai kawasan yang memiliki hamparan lahan sangat luas. Total lahan potensial pertanian di dua kawasan 35.000 ha.
Kedua, hamparan lahan petani selama ini hanya dipakai sebagai padang penggembalaan ternak, sapi dan kerbau. Kepemilikan hamparan 35.000 ha itu secara komunal. Hanya sebagian kecil milik perseorangan. Tetapi tanahnya subur. Petani menanam padi dan jagung dengan luas sangat terbatas.
Masyarakat Kodi, umumnya dikenal sebagai masyarakat pemalas. Masyarakat memproduksi masalah sosial. Kasus pencurian ternak marak terjadi di wilayah ini sangat fenomenal. Kasus kriminal seperti pembunuhan pun begitu juga.
Akibatnya, citra atau stereotip masyarakat Kodi sebagai masyarakat pemalas, gemar mabuk, tukang curi dan tukang bunuh orang. Pensiunan intel Brimob Petrus Jehadut yang pernah bertugas cukup lama di Sumba Barat Daya mengakui hal itu. Dikatakan, orang Kodi disegani masyarakat di sana karena mereka berani, gampang bunuh orang, jago mencuri ternak, dan umumnya hanya perempuan yang bekerja di kebun.
Saban tahun, Mei hingga Juli, warga dari dua kecamatan ini pasti pergi merantau ke Provinsi Nusa Tengara Barat, karena pada bulan Mei hingga Juli ada musim panen di NTB. Para pemilik kebun di NTB membutuhkan banyak pemanen jagung dan padi.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, sedikitnya 2.000an warga masyarakat Kodi, umumnya kaum pria, merantau ke NTB menjadi buruh tani. Mereka mendapatkan upah buruh untuk kepentingan domestik mereka. Tetapi, diakui bahwa pada Mei hingga Juli penduduk di dua kecamatan di Kodi sendiri tidak banyak kesibukan lain, kecuali menghalau kawanan ternak ke padang penggembalaan. Aktivitas pertanian, nyaris kosong.
Meski demikian, menurut Petrus Jehadut, lahan di Kodi subur. Umumnya petani pendatang yang beristrikan orang Kodi, hidup makmur. Mereka rajin mengolah tanah. Halnya sangat berbeda dengan masyarakat di Kecamatan Wajewa (Barat Tengah dan Timur). Umumnya mereka rajin. Ulet bekerja dan menjadi pedagang. Tetapi, mereka pun segan dengan orang Kodi, terutama karena orang Kodi berani, mudah bunuh orang, dan gemar mencuri.
Masyarakat Kodi pun dikenal sebagai masyarakat yang sulit diatur. Mereka memilih jalan hidupnya sendiri melalui cara-cara antisosial, antihukum dan sejenisnya.
Akibatnya, masalah sosial di Kodi tidak sedikit. Selain kasus kriminal (kasus pembunuhan dan pencurian), masyarakat Kodi pun bandel, kepala batu. Suka memilih jalan pintas seperti mencuri ternak untuk mengatasi problem domestik keluarganya. Tetapi, sejak 2018, tampaknya masyarakat Kodi berubah.
Perubahan itu datang seiring sejalan dengan peristiwa yang menghenyakkan. Mereka terhenyak dengan gempuran narasi, pidato, hardikan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Masih kuat dalam ingatan mereka, ketika Gubernur Viktor Laiskodat mengucapkan pernyataan bahwa masyarakat Sumba adalah masyarakat pemalas. Masyarakat Sumba adalah penyumbang kemiskinan dan kebodohan terbesar di Nusa Tenggara Timur.
Ujaran Gubernur Viktor itu sungguh membekas, melukai batin masyarakat Sumba. Tetapi serentak dengan itu, timbul kesadaran yang menyadarkan masyarakat Kodi akan pentingnya cadar harga diri.
Andreas Ranga Dowa (70 th), Ketua Kelompok Tani Wolondeto Kejar Bahagia, mengakui, dirinya pernah sangat tersinggung dengan ucapan Gubernur Viktor yang sangat viral di media sosial itu.
“Tetapi, kami sadar. Apa yang dikatakan Viktor itu benar. Kini, kami telah menggalang kekuatan 26 anggota kelompok tani menggarap lahan untuk TJPS 54 ha,” ujarnya.
Dia kini menggarap 4 ha lahan untuk TJPS. Rencananya tahun depan tanah garapan akan diperluas sampai 10 ha nantinya. Ayah tiga anak ini, dalam usianya kian senja, kian menyadari arti penting program TJPS.
Apalagi jagung telah membawa perubahan penting dalam kehidupan keluarganya. “Saya bahagia karena harga pasar jagung jelas. Kami membutuhkan bantuan pupuk, bibit, dan peralatan olah lahan dari pemerintah,” ujar orangtua bertubuh ringkih ini.
Hal senada diucapkan Wilfidus Malo (38 th). Dia mengatakan, masyarakat Kodi, sesungguhnya menyimpan dendam. Mereka tidak menerima ucapan Gubernur NTT yang menyatakan masyarakat Sumba malas dan bodoh itu.
Mereka geram sekali. Apalagi sejak Pemilu Gubernur tahun 2018, masyarakat Kodi khususnya dan masyarakat Sumba Barat Daya umumnya, nyaris 100 persen tidak memilih Viktor Jos. Mereka tidak memilih Viktor Jos karena sebaran berita tentang dua tokoh ini tidak menyenangkan. Narasi politik para lawan politik berhasil mengkanalisasi opini, bahwa Viktor Jos, bukanlah orang yang tepat memimpin NTT. Tetapi, sejak Viktor Jos terpilih, perspektif dan cara pandang masyarakat Kodi berubah.
Wilfridus Malo mengatakan, ucapan Gubernur Viktor Laiskodat itu mungkin memang melukai batin masyarakat Sumba, tetapi ucapan itu sekaligus telah menjadi cemeti cambuk positif yang menyadarkan masyarakat Sumba, khususnya manusia Kodi.
Pemuda yang giat melakukan pemusnahan hama belalang kembara itu menyebutkan, dirinya bersama para pemuda lain aktif menghalau dan membasmi belalang kembara agar tanaman jagung luput dari serbuan belalang kembara. “Hama belalang kembara itu tantangan konkret hari ini,” ujarnya.
Dia mencermati gejala bahwa masyarakat Kodi perlahan tidak lagi merantau ke Bima atau Provinsi Nusa Tenggara Barat. Para petani asyik sibuk mengurus lahan sendiri. Kecuali itu, Wilfrid menambahkan, pada tiap musim tanam para petani tidak lagi hanya menanam sekali dalam tiap tahun, tetapi kebun petani ditanami dua kali bahkan ada yang sudah bergerak tanam tiga kali per tahun.
Tampak dalam perjalanan Sabtu (25/6/2022) itu, menghampar luas padang jagung kiri kanan jalan. Menurut Wilfridus Malo, apa yang dapat diakses wartawan detakpasifik.com hanyalah sebagian kecil dari seluruh hamparan jagung program TJPS.
Ada 870 ha lahan yang kini digarap di kawasan akses pemantauan. Tetapi total luas lahan yang disentuh program TJPS targetnya 14.000 ha. Yang kini telah tersentuh program TJPS barulah mencapai 11.000 ha. Sisanya akan dilanjutkan akhir tahun anggaran 2022.
Meski demikian, akibat gempuran program TJPS di Sumba Barat Daya, rakyat kian bersemangat menanam jagung. Sebagai akibat lanjutannya ialah gelombang warga Kodi menuju Provinsi Nusa Tenggara Barat kian redup. “Petani tidak lagi tertarik menjadi buruh tani di NTB. Mereka memilih menggarap lahan pertanian milik mereka sendiri, karena harga telah jelas,” ujarnya.
Hal senada dikemukakan Bupati Sumba Barat Daya, dr Cornelis Kodi Mete. Dalam sambutan pengantarnya, Bupati SBD mengatakan, alasan pokok petani di SBD umumnya dan Kodi khususnya giat menanam jagung ialah karena pasar jagung telah jelas, harga jelas. Karena masing-masing penggarap dapat menghitung jelas pula akibatnya.
Akibatnya konkretnya ialah, tak hanya petani yang bergerak menanam jagung, tetapi bupati, para anggota DPRD, para pebisnis pun terlibat. “Kami terlibat karena pasarnya sangat jelas,” ujar mantan Kepala Dinas Kesehatan NTT ini.
Demi mengatasi problem petani, pemerintah Sumba Barat Daya menggalang kekuatan penuh seluruh masyarakat. Total areal potensial seluruh Sumba Barat Daya 50.000 hektar. Tetapi yang berhasil digarap petani bersama program sentuhan TJPS 35.000 ha yang terdiri dari TJPS kemitraan dan TJPS mandiri.
Agustinus Wakurkaka (52 th) Pengurus Poktan dan Pengurus KTNA Kabupaten Sumba Barat Daya mengkoordinasi 2.312 kelompok tani. Dia menyebutkan, sejak introdusir TJPS oleh Gubernur Viktor, mobilisasi dan gerakan petani menanam jagung kian meluas. Akibatnya, produksi jagung bertambah. Pasar jagung pun jelas karena ada off taker yang bersedia membeli jagung dengan harga yang pantas. “Salah satu tantangan yang kini sedang dihadapi petani jagung di Kodi ialah gempuran hama belalang kembara,” ujarnya.
Tak ada manusia tanpa masalah
Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, dalam sambutannya di depan para petani dan para ketua kelompok tani di Desa Kori, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya, Sabtu (25/6/2022) dengan tegas mengatakan, tidak ada manusia tanpa masalah. Semua manusia pasti menghadapi masalah. Tetapi semua masalah dapat diatasi jika manusia serius bekerja dan bekerja sama. Meski demikian, Gubernur NTT Viktor Laiskodat memuji kerja keras Bupati Sumba Barat Daya dr Cornelis Kodi Mete.
“Saya sangat berbangga dengan kerja keras Pak Bupati. Saya senang karena Bupati Cornelis menangkap substansi ideologis pentingnya program TJPS. Beliau berhasil menggerakkan petani dan seluruh elemen terkait untuk terlibat dalam program TJPS ini,” ujar Gubernur Viktor yang disambut tepuk tangan para petani dan para pejabat.
Meski demikian, Gubernur Viktor mengakui, pembangunan memang tidak seperti bermain sulap. Omong hari ini, hari ini pula hasil diperoleh. Pembangunan itu adalah proses bertahap, proses pertumbuhan, proses perubahan ke arah yang lebih baik.
Tantangan memang pasti selalu ada. Tantangan itu berupa pupuk belum tersedia tepat waktu, dan bibit unggul belum tersedia tepat waktu, serta alat olah tanah dan mesin panen belum cukup tersedia. Karena itu, semua tantangan di luar kemampuan rakyat ini akan menjadi tanggung jawab wajib pemerintah.
“Pemerintah wajib menjawab semua tantangan itu agar petani mendapatkan harapan dan keberhasilan,” kata Gubernur Viktor. Viktor di depan para petani dan ketua kelompok tani sekecamatan Kodi dan Kodi Utara melukiskan, ada gejala yang kian tampak terjadi di seluruh dunia.
Bahwa ke depan lapar akan terjadi di seluruh dunia. Sumba Barat Daya diharapkan ke depan tidak akan mengalami kelaparan karena jagung berlimpah. Syaratnya adalah ini. Kerja keras, kerja gotong royong, garap lahan dan berhenti semua jenis hal buruk.
“Saya mendorong rakyat Kodi kian sejahtera. Pemerintah NTT mendorong semua elemen di seluruh NTT untuk tidak hanya tanam jagung, tetapi juga tanam kelor. Kelor lebih baik dari susu,” ujar Viktor.
Gubernur menyarankan agar para perempuan muda mengkonsumsi kelor karena kelor terbukti penyumbang sangat ajaib untuk kesehatan reproduksi. Terkait dengan TJPS, Gubernur Viktor menekankan hal penting agar seluruh lahan petani dimaksimalkan fungsinya untuk pertanian.
Sedangkan terkait harga jagung, pemerintah berjanji ikut serta mengendalikan harga jagung agar tidak merugikan para petani. Kini jagung rerata dijual dengan harga Rp 3.500/kg.
Polisi wajib tertibkan penembak dan penjual burung
Sementara itu, Gubernur Viktor dengan tegas mewajibkan polisi dan petugas hukum untuk menertibkan dan menangkap semua penembak dan penjual burung di seluruh Pulau Sumba. Hal itu ditegaskannya karena burung endemik di Pulau Sumba yang berfungsi sebagai predator belalang kian punah.
Gubernur menegaskan, hama belalang kembara kian meluas. Hama ini menyerang tanaman petani. Hal itu terjadi karena burung-burung endemik pemangsa belalang telah mulai punah. Burung endemik punah karena ada manusia yang memusnahkan burung-burung endemik itu. Itulah lingkaran penyebab gejala masifnya hama belalang kembara di Pulau Sumba.
“Saya minta Kapolres menangkap semua penembak burung, para penjual burung dan para pembeli burung di Sumba. Mereka itu penjahat ekosistem. Mereka adalah hama yang sama ganasnya dengan belalang kembara. Ekosistem rusak karena ulah manusia sendiri. Karena itu saya serukan agar petani harus mengontrol semua para penjahat ini. Kita petani adalah juga makhluk alam. Karena itu petani wajib menjaga alam. Petani adalah pelindung alam,” ujar Gubernur Viktor.